Cari Blog Ini

Jumat, 13 Oktober 2017

[Resensi] Dunia Anak dalam Kacamata Sastra

Oleh : Gita Fetty Utami

Judul buku                : Kupu-Kupu Kematian
Penulis                       : Ade Ubaidil, dkk
Penerbit                     : UNSA Press
Cetakan Pertama     : Oktober 2016
Tebal buku                : vi + 194 hlm ; 13,5 cm x 20 cm
ISBN                           : 978-602-74393-2-0

Terlihat polos, ceria, berwarna-warni. Begitulah dunia anak-anak di mata orang dewasa pada umumnya. Namun tentu saja tidak selalu demikian.  Selalu ada sisi unik kehidupan yang hanya mampu dipindai mata anak-anak. Maka menuliskan cerita sastra dengan tokoh anak-anak, sama sekali berbeda dengan menulis cerita anak.

UNSA Press sebagai penyelenggara, memberikan tema tersebut untuk lomba cerita pilihan tahun 2016. Hasilnya adalah sebelas cerita terpilih  yang kaya nuansa, terhimpun dalam buku ini. Membacanya dapat membuat siapa pun kembali diingatkan masalah-masalah yang melingkupi anak di masa kini.

Fina Lanahdiana menuliskan cerpen berjudul Angkasa halaman 19-36. Menyaruk tema sains sebagai benang merah, ia mengungkapkan dengan amat mengesankan sudut pandang seorang bocah yang ingin tahu, tanpa mengotori psikisnya dengan masalah kanak-kanak. "Perpustakaan serupa tiba-tiba kosong dan buku di dalam rak-rak menjulang itu runtuh menimbun tubuhku. Seolah aku tengah berlayar di atas perahu, kemudian ada gelombang besar yang mengombang-ambingkan keseimbangan hingga aku jatuh dan tenggelam".

Cara pandang anak terkadang aneh, dan susah dicampuri orang dewasa. Hal ini bisa kita baca pada cerpen Insomnia halaman 47-57, karya seorang dokter muda Andaru Intan. Tari seorang bocah kelas satu SD, terpaksa hidup berdua ibunya setelah sang sang ayah meninggalkan mereka demi wanita lain. Sejak itu ia selalu merasa terganggu melihat benda-benda yang tak berpasangan. Sebuah cerpen yang meninggalkan kesan psikis mendalam.

Dongeng pengantar tidur selalu disukai sebagian besar anak-anak. Pun demikian halnya Maria. Akibatnya dunianya seolah terguncang ketika Mama sang pendongeng andal, dipanggil Yang Maha Kuasa. Ia menjadi uring-uringan dan mengeluarkan segala ancaman. Permintaannya hanyalah dongeng seperti yang biasa Mama ceritakan. Hal ini memaksa Papa bertindak agar Maria tak semakin terpuruk. Kisah yang ditulis oleh Ken Hanggara ini terdapat pada halaman 37-46 berjudul Singa Laut Pendongeng. "Suatu malam, dengan penuh keyakinan dan tekad menolong sang anak, Papa pergi ke kamar Maria dan memakai kostum singa laut. Kostum inilah yang akan menjadi obat bagi Maria".

Disfungsi keluarga dapat mempengaruhi benak anak. Seperti adanya ambisi berlebihan untuk membentuk keluarga sempurna, materi maupun immateri, tanpa mempertimbangkan penanganan yang tepat bagi psikis anak. Terlebih lagi bila si anak ternyata berkebutuhan khusus. Kita bisa menemukannya dalam cerpen Buku Gambar Imo karya Ken Hanggara, halaman 98-110.

Masih menyoal anak berkebutuhan khusus, cerpen Kupu-Kupu Kematian karya Ade Ubaidil (halaman 1-18), berbicara soal kekelaman yang dimiliki keluarga Anita. "Sekarang, ibunya sedang menggali tanah, di sebelah kuburan Lestari dan suaminya. Kupu-kupu yang semalam membangunkan Anita kembali bertandang; juga seekor kupu-kupu yang sewaktu pemakaman ayahnya juga muncul begitu saja. Dari arah timur, seekor kupu-kupu bersayap besar pun turut singgah. Kini ada tiga kupu-kupu, berputar di makam yang baru saja selesai digali, dan didiami penghuni baru".

Selain cerpen-cerpen tersebut di atas, masih ada lagi cerpen menarik lainnya: Bau Mayat, Istana Boneka, Sihir Meja Makan, Lembaran-Lembaran Doa Apak, Helminthophobia, Ibu dan Kue Kutu. Melalui sastra kita digiring memahami anak-anak dengan cara berbeda dan tidak selalu apa adanya.

Nyaris tidak ditemukan kekurangan dalam buku ini baik dari segi teknis maupun penulisan. Sungguh patut menjadi referensi bacaan bagi kalangan umum, yang tertarik memahami anak-anak dengan segala 'kegaiban dunianya'. (*)

Cilacap, 090117-0917

(Terbit di Harian Satelit Post edisi Minggu, 7 Oktober 2017

[Resensi] Merangkum Kenangan Kisah Supernova


Oleh: Gita Fetty Utami

Judul Buku     : Kepingan Supernova
Penulis           : Dee Lestari
Penerbit         : Bentang
Cetakan         : Pertama, April 2017
Tebal              : viii + 164 hlm
ISBN               : 978-602-291-270-5

"Cinta tidak membebaskan. Konsep itu memang utopis. Cinta itu tirani. Ia membelenggu. Menggiringnya ke lorong panjang pengorbanan" (hal. 35).

Dalam kurun waktu lima belas tahun, Dee Lestari telah menulis enam buah episode serial Supernova. Dimulai dari episode Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh pada 2001. Disusul Akar pada 2002, Petir pada 2004, Partikel pada 2012, Gelombang pada 2014, dan ditutup dengan Intelegensi Embun Pagi pada 2016. Kesemuanya itu tentulah meninggalkan kesan mendalam di hati para pembacanya.  Maka kehadiran buku ini bagaikan mesin waktu. Karena melalui sejumlah kutipan-kutipan kalimat yang dituliskan di dalamnya, pembaca diajak mengingat kembali  jalan cerita di tiap episode.

Di dalam episode awal: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh, ada tokoh Diva yang misterius. Ia digambarkan sebagai karakter yang kontradiktif, cerdas, jelita, namun berjarak dari siapa pun. Semua karakternya tersebut terangkum dalam ucapannya, "Saya percaya setiap manusia dapat mewujudkan surga, neraka, berlaku seperti malaikat, dan menjadi iblis itu sendiri." (Hal. 56).

Pada episode Akar, ada tokoh Bodhi yang dilanda kebingungan akan identitas dirinya. Ia merasa dilahirkan berbeda dengan orang lain. Namun jawaban yang dicarinya melalui tokoh-tokoh lain seperti guru Liong atau Kell selalu membuahkan pertanyaan baru. "Semua pertanyaan dan keingintahuannya datang bersamaan dengan jawaban. Dan, jaraknya cuma setipis kulit bawang." (Hal. 72).

Riset yang mendalam selalu dilakukan Dee. Pembaca akan teringat perkara alam mimpi yang dibahas dari sisi ilmiah dalam episode Gelombang. Tokoh Alfa memiliki kekuatan mimpi, di mana hal tersebut berkaitan erat dengan identitasnya sebagai peretas mimpi. "Kekuatan alam bawah sadar jauh lebih besar daripada yang bisa manusia bayangkan. Mimpi adalah jalan cepat untuk memasuki dan mengenalnya." (Hal. 137).

Kutipan-kutipan kalimat yang puitis sekaligus reflektif, mampu membuat pembaca merenungi makna di sebaliknya. Didukung oleh layout yang cantik di mana terdapat bingkai simbol-simbol dari tiap episode sebagai penanda bab--dalam buku ini disebut sebagai kepingan, mendukung momen bernostalgia.

Sedikit kekurangan pada buku ini adalah adanya typo pada kata 'Hidup' tetapi tertulis 'Bidup' (hal. 55). Selain itu, bagi pembaca yang tidak mengikuti semua episode Supernova tentu akan dibuat bertanya-tanya. Namun sekalipun demikian isi buku ini tetap dapat dinikmati kalangan umum yang mencari referensi kumpulan kutipan puitis. Sebuah karya yang indah dari seorang Dee Lestari. (*)

Cilacap, 020917

(Terbit di Harian Kedaulatan Rakyat edisi Senin, 11 September 2017)

[Resensi] Kisah-kisah dari Dunia Remaja


Oleh : Gita Fetty Utami

Judul Buku                        : Menghimpun Butir Waktu dan Sehimpun Cerita Lainnya
Penulis                               : Pangerang P. Muda
Penerbit                             : LovRinz Publishing
ISBN                                   : 978-602-6652-26-3
Cetakan                             : I. Mei 2017
Tebal                                  : vi + 248 halaman

Dunia remaja ibarat saatnya peralihan musim, atau lazim disebut pancaroba. Karena di masa ini para remaja mengalami transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Namanya pancaroba, banyak gejolak yang terjadi; mulai dari pubertas, pencarian sosok idola, pemahaman akan identitas diri sendiri dalam menghadapi lingkungan, hingga penyaluran energi nan melimpah. Sungguh kompleks.

Di dalam buku berkaver hijau toska ini, sang penulis yang merupakan sosok senior dalam dunia literasi Indonesia, menghimpun cerita-cerita pendek khas remaja. Berisi delapan belas cerpen yang kesemuanya pernah diterbitkan di sebuah majalah remaja. Kita akan hanyut dalam setiap kisah, dikarenakan gaya penuturannya yang renyah, mengasyikkan, dan segar. Buku ini bukan hanya ditujukan untuk pembaca remaja, tapi juga mereka yang ingin mengenang kembali masa remajanya.

Apa jadinya jika sepasang saudara perempuan menyukai laki-laki yang sama? Biasanya salah satu akan mengalah. Seperti dalam cerita 'Selamat Datang Cinta', Ena jatuh suka pada kekasih kakaknya, Ela. Bagi siswi SMA tersebut, sosok cowok tersebut amat memukau dan menawan hati. Bahkan Ela pun mengakui hal tersebut dan ingin serius dengan pacar barunya itu. Padahal selama ini di kampusnya Ela terkenal sebagai tukang pelonco cowok (hal. 8). Namun ternyata cowok yang satu ini membawa kejutan bagi Ena dan Ela.

Persahabatan memang indah. Rasanya menyenangkan berbagi cerita sehari-hari dengan teman satu geng. Hal itulah yang melingkupi enam sekawan: Elita, Ismi, Asti, Syesil, Vivi, dan Hindun. Masalah muncul ketika Elita ditaksir lima cowok teman sekolah mereka. Elita merasa terganggu dengan segala perhatian berlebih tersebut, karena ia berprinsip hubungan asmara akan mengganggu kekompakan persahabatan. Maka dengan dibantu lima sahabatnya, Elita membuat permainan demi menolak pernyataan cinta dari para pengagumnya. Kisah penuh humor ini bisa dibaca pada 'Teka-Teki Cinta Elita' (hal. 66).

Kehidupan ini adakalanya menyimpan misteri yang bisa menimpa siapa saja, termasuk remaja. Pembaca bisa membaca kebingungan yang dialami Rijal, saat ia sedang berlibur di Donggala, tanah kelahirannya. Ia ditemui oleh seorang gadis asing yang mencari dirinya. Di sisi lain sahabat karib yang amat ingin ditemuinya ternyata telah meninggal dunia. Kenyataan tersebut amat memilukan hati Rijal. Dan di saat gadis asing tersebut kembali menemuinya, Rijal terhenyak oleh suatu kebenaran yang semakin membawa pada kesedihan (Tembang Lara Tanah Kelahiran, hal. 98).

Penulis juga menyisipkan pesan moral mengenai usaha pelestarian satwa langka, di dalam cerpen yang berjudul 'Anak Rusa Berbulu Emas'. Tokoh aku diajak oleh pamannya untuk berburu di hutan. Didorong oleh rasa tidak enak menolak ajakan sang Paman serta keinginan pamer pada pacarnya, membuat si aku memenuhi keinginan tersebut. Di dalam hutan belantara si aku dilepas berburu sendiri oleh sang Paman. Di tempat itu ia mengalami kejadian ganjil. "Tubuhku kurasa mendadak kaku. Mataku terus bersitatap dengan redup matanya. Saat berikutnya, aku kira masih dalam pengaruh takjubku sehingga aku kehilangan kewaspadaan, sehingga lalai memperhitungkan serangannya. Entahlah, apakah ia memang bermaksud menyerang: tubuhnya melesat ke arahku, sampai aku dibuat terpelanting oleh hantaman gerak tubuhnya. Aku terlempar dan merasa segera akan pingsan" (hal. 115).

Cinta dalam dunia remaja pun tak lepas dari bingkai keluarga. Syafa semenjak kecil sama sekali tak tahu riwayat orang tuanya. Itu karena neneknya selalu menutupi hal yang sebenarnya. Suatu hari ia melihat seorang pria paruh baya, membangun gubuk yang ia sebut istana di atas bukit yang agak menjorok ke pantai. Karena penasaran gadis remaja SMP itu pun mendekat lalu berkenalan dengan pria yang ternyata seorang pelukis. Betapa heran Syafa, karena pria tersebut mengetahui mamanya yang telah meninggal. Apalagi sikap keras Nenek saat melarang Syafa menemui pria tersebut, memantik rasa penasarannya. Siapakah pria bernama Om Bas itu? (Istana di Atas Bukit, hal. 148).

Hati seorang gadis remaja terkadang labil, menyikapi rumitnya hubungan kekeluargaan. Wiwit kini tinggal berdua dengan adik dan ibu tirinya, setelah kematian sang Papa. Mama kandungnya sendiri meninggal saat ia masih kecil. Prasangka buruk yang telah dikedepankan Wiwit sejak kali pertama Papa menikahi Ibu sebagai pengganti Mama, menyulitkan dirinya sendiri. Sehingga ia abai terhadap kasih sayang ibu tirinya itu. Ditambah kehadiran seorang mahasiswa baik hati dan penuh perhatian, malah memperkeruh sikap Wiwit terhadap Ibu. Benarkah Ibu akan melukai Wiwit? (Purnama Malam Ini, hal. 176).

Selain cerita-cerita di atas, masih banyak kisah lain yang tak kalah menariknya. Misalkan: Sandiwara di Hari Kamis, Misteri Cowok Berkumis, Tembang Padang Tulip, Wajah yang Hilang, Bunga-bunga Ayela, Menghimpun Butir Waktu, dan lain-lain. Kesemua kisah dituliskan secara runut, dan selalu menyimpan kejutan. Meskipun masih dijumpai beberapa salah ketik, namun tidak mengurangi kenikmatan membacanya. Buku ini layak dikoleksi kalangan penyuka cerita.(*)

Cilacap, 23 Juli 2017

(Terbit di Harian Satelit Post edisi Minggu, 13 Agustus 2017

Kamis, 12 Oktober 2017

[Resensi] Peliknya Dunia Hantu


Oleh: Gita  Fetty Utami

Judul                     : Museum Anomali
Penulis                  : Ken Hanggara
Penerbit                 : UNSA Press
Cetakan pertama  : September 2016
Tebal buku             : viii + 171 hal. , 13 cm x 19 cm
ISBN                        : 978-602-74393-1-3


Ken Hanggara, salah seorang penulis muda berbakat tanah air. Karya-karya pemuda kelahiran tahun 1991 ini telah terbit di berbagai media cetak dan online. Ia juga menulis skenario untuk FTV. Saking produktifnya, ia mendapat julukan sebagai pemilik pabrik cerpen di kepala.

Tentu menjadi amat menarik ketika pembaca diberi kesempatan menikmati sebagian karyanya yang bertebaran tersebut. Maka hadirlah buku ini yang memuat 17 cerita Ken Hanggara, dimana 12 diantaranya dalam status pernah terbit dan 5 cerita baru.

Dalam buku  ini ia mengupas dunia hantu. Dunia yang mengesankan kehororan yang membuat sebagian besar orang enggan membicarakan.
Namun bagi seorang penulis seperti Ken, hantu adalah objek yang memiliki kehidupan mirip manusia. Hantu bisa melakukan pembenaran diri atas tindakan merusak yang dilakukannya.

Misalnya dapat kita baca dalam cerpen "Para Perasuk" halaman 11-20. "Sejarahku kupahami; dari benih siapa aku lahir, bagaimana Ibu mati, dan kenapa aku dibenci orang. Raja tahu aku cucu yang dulu tidak jadi mati. Dan ia masih berkuasa saat itu, sampai tubuh remaja yang kubawa hilang oleh penculikan dan jiwaku terbang mencari tubuh lain, untuk kemudian menghabisi setiap orang yang membuatku susah". Si hantu merasa sah-sah saja merasuk ke dalam tubuh banyak manusia.

Kehadiran hantu pun tak melulu berwujud seperti manusia. Dalam cerpen "Kunjungan Seekor Kucing di Hari yang Aneh" halaman 61-69, seekor kucing tiba-tiba saja menyambangi kamar "aku".  "Aku merasa hawa aneh nenyelimuti kamarku, setelah menyadari bahwa tidak ada satu pun kunci yang rusak. Kamarku benar-benar tertutup, dan seekor kucing liar dapat masuk sembarangan. Bagaimana mungkin?" Menjelang akhir cerita tokoh "aku" akhirnya tahu bahwa si pemilik kucing adalah teman kantor yang ia benci. Lalu ketika ia berniat mengembalikan hewan tersebut, ia mendapat kejutan horor.

Cara Ken membawakan ceritanya terasa amat mengalir. Unsur-unsur  pembentuk cerpen ia ramu dengan baik. Walaupun mengisahkan dunia horor dengan gaya absurd sekali pun, pembaca tetap mampu mengikutinya.

Contoh keabsurdan itu bisa kita baca pada cerpen berjudul "Dilarang Mencuri di Alam Mimpi" halaman 21-29. Tokoh "aku" bermimpi melihat jurang yang bibirnya dirimbuni pohon aneh dengan langit berwarna ungu. Pohon-pohon itu berwajah dan bisa bicara laiknya manusia, dan mereka tak tahu cara membagi giliran, sehingga yang terjadi ialah ucapan saling tumpang tindih yang bikin kepala pusing. Dalam dunia yang aneh itu "aku" bertemu dengan dua matahari kembar bernama Je dan Ko, dan sebatang pohon kaktus bernama Po. Mereka memberi tahu "aku" yang skeptis, bahwa mereka terjebak  karena berani mencuri di alam mimpi.

Untuk memperkuat kesan horor, buku ini memiliki tampilan yang sekilas menipu pembaca. Awal mula membuka lembaran demi lembaran, saya mengira kualitas cetakannya rendah. Karena saya melihat huruf-huruf yang sedikit 'blur', terutama pada judul tiap cerita. Belum lagi munculnya noktah-noktah hitam di tiap halaman. Unik, sebagai bentuk penegasan identitas bahwa buku ini memuat kumpulan cerpen horor kontemporer. Beresiko, karena pembaca yang awam akan memandang sebelah mata.

Bagaimanapun, buku ini membawa angin segar dalam khasanah sastra kita. Ternyata yang horor pun bisa dikemas dengan menarik dan kekinian. Sementara bagi penikmat sastra, buku ini layak mendapat tempat di dalam koleksi pribadi Anda.

"Bagaimana? Anda tertarik? Ada satu slot untuk penjaga gerbang depan, tapi dengan syarat: jangan banyak tanya. Rahasia adalah rahasia. Kerja adalah kerja. Nyawa adalah nyawa". (*)



Cilacap, 071216

*****

[Resensi] Memutus Warisan Keburukan


Oleh: Gita Fetty Utami

Judul          : Menjadi Generasi Pemutus
Penulis       : Neny Suswati, dkk.
Penerbit      : Aura Publishing
Cetakan      : Pertama, Agustus 2016
Halaman     : viii + 205 halaman
ISBN            : 978-602-6238-35-1

"Jadilah generasi pemutus rantai kemalasan, keraguan, dan kelemahan. Agar generasi ke depan lebih baik dari sebelumnya" (halaman 1-2).

Demikianlah premis yang disampaikan oleh Neny Suswati, seorang penulis buku parenting asal Lampung.
Saat seseorang menjadi pemarah, penakut, penyabar, atau penyayang, bisa jadi dipengaruhi oleh pola asuh dari orang tua mereka. Buku ini memuat berbagai kisah nyata dari 29 orang penulis pada sebuah komunitas menulis online. Masing-masing menuangkan pengalaman sebagai anak yang membekas hingga dewasa, kala menerima perlakuan dari orangtua mereka.

Dalam kisah berjudul "Social Phobia" (hal 25), Mas Wib  menarasikan masa lalunya yang banyak mengalami pelecehan fisik dan mental. "Sekali lagi saya tak ingat, kapan menyadari situasi khusus ini, kekerasan fisik dan pencederaan mental yang terus berulang hingga duduk di bangku SMU, menjadikan saya menderita phobia ... social phobia. Tidak mudah untuk bergaul dengan sesama, ada kecemasan dan ketakutan berlebihan setiap kali harus terlibat interaksi atau komunikasi dengan seseorang."

Masalah pelecehan dari teman sekolah juga dialami seorang penulis lain. Dalam kisah Teh Enah "Jangan Jadi Pelari" (hal 36), diceritakan semasa SD dirinya telah terbiasa membantu ayahnya, sang juragan minyak tanah. Ketika hal itu diketahui teman-temannya, dia menjadi bahan olok-olok. Ejekan yang menjurus pelecehan psikis membuatnya ingin keluar dari sekolah. Namun ibunya malah memberi wejangan unik. "Masalah itu dihadapi, bukan dihindari. Jika kamu lari dari masalah, dia akan mengejarmu dengan masalah yang beranak pinak, semakin sulit, mengakar kuat hingga mengambil ketenangan batin. Masalah itu dihadapi, bukan ditinggalkan. Setakut apapun kamu menghadapi masalah, hadapi saja. Jangan lari!"

Ada kalanya cara orangtua memperlakukan anak perempuan bagai menimang porselen mahal. Tanpa sadar orang tua akan mengekang ruang gerak si anak, dengan berbagai alasan.
Perlakuan  ini malah memicu masalah psikologis dalam diri anak tersebut. Simak pada kisah berjudul "Anoreksia" karya Bunda Firdaus (hal 101). "Tubuhku semakin lama semakin kurus. Terakhir berat yang paling rendah adalah 29 kg dengan tinggi sekitar 145 m. Aku diajak ke psikiater. Awalnya aku menolak tetapi melihat ibu yang memohon akhirnya aku mau pergi. Di tempat psikiater, aku disuruh menggambar rumah. Setelah itu, ayah dan ibu berkonsultasi dengan psikiater."

Kekurangan dalam buku ini tentu saja ada. Terutama masalah typo yang terdapat pada beberapa kisah. Namun secara keseluruhan, tidak mengurangi kedalaman makna yang ingin disuguhkan pada pembaca. Buku ini layak Anda miliki.
**
Cilacap, 141016

Bukan Puisi Cinta




Terkadang kupikir kaulah tetesan itu, kala hujan mengguyur dan atap kamarku bocor

Terkadang kurasa kaulah uap yang mengepul dari nasi tanak di dandang

Terkadang kulihat kaulah sang api dari pemantik kala padam lampu

Terkadang kudengar desahmu kala malam menggulita dan gemintang tertabir awan

Entah sampai kapan perkabungan ini terus merenggutku.

Cilacap, 121017