Cari Blog Ini

Senin, 31 Desember 2018

[Ragam] Taman Rumah Kreatif Cilacap, Ruang Rekreasi Terbuka yang Tanggung



Oleh : Gita FU



Satu lagi area terbuka sebagai ruang rekreasi keluarga hadir di kota Cilacap. Berlokasi tak jauh dari IGD RSUD Cilacap, tepatnya di sebelah PLUT UMKM Rumah Kreatif (Jl. Dr. Sutomo). Nama tak resmi ruang terbuka ini adalah Taman Rumah Kreatif. Seperti apa penampakannya? Terus simak artikel ini.



Tampak depan.

Beberapa totem bermotif batik terlihat mencolok mata pengunjung, begitu masuk dari arah depan. Di latar belakang tampak  gedung Rumah Kreatif Cilacap. Lajur jalan setapak cukup lega dan terkesan bersih. Lebarnya memadai untuk tiga orang dewasa berjalan beriringan.




Selayaknya taman, tempat ini ditanami deretan palem hias, rumput dan tanaman bunga lainnya. Memang belum menghijau, karena petak-petak tersebut belum lama ditanami. Selain itu demi kenyamanan pengunjung disediakan  blok bangku di beberapa titik, serta arena bermain anak-anak.




Mengingat kebiasaan berswafoto yang seakan sudah mendarahdaging di masyarakat kita, pengelola taman pun menyediakan pojok khusus yang cantik. Meskipun saat saya berkunjung, terlihat banyak pengunjung lain yang asik berfoto dengan di luar pojok tersebut.




Namun saya mencatat beberapa kekurangan pada taman ini. Yang pertama, tidak tersedia tempat sampah. Ini cukup fatal karena saya melihat sendiri sampah-sampah makanan yang ditinggalkan pengunjung di rerumputan. Bukankah hal ini merusak keindahan?
Yang kedua, belum berfungsinya toilet umum. Entah mungkin karena taman ini masih benar-benar baru dibuka atau ada penyebab lain. Tapi menurut hemat saya, apa salahnya bila pengelola membuka gembok toilet, dan mengalirkan air keran demi kenyamanan pengunjung. Yang ketiga, taman ini masih terasa datar. Mungkin jika ditambah fasilitas olahraga, misal lapangan basket atau voli, akan menambah nilai guna taman. Sebab saya lihat masih tersedia cukup lahan yang belum dimanfaatkan, di dekat areal parkir.

Kesimpulan saya, konsep taman ini masih agak tanggung mengingat kekurangan yang saya sebutkan di atas. Semoga ke depannya ada peningkatan fasilitas agar Taman Rumah Kreatif ini menjadi salah satu tujuan rekreasi keluarga di kota Cilacap. (*)

Cilacap, 311218

Sabtu, 29 Desember 2018

[Memoar] Kuku Simbah



Oleh: Gita FU

Februari 2001

Kabar meninggalnya Mbah Putri disampaikan Papa via telepon. Om Adi dan keluarganya langsung bersiap-siap meluncur ke Purbalingga dengan  sepeda motor. Aku sendiri akan menyusul via bus.

Saat berjalan menuju jalan raya, aku sempat berhenti sejenak di rumah tetangga. Hanya gara-gara menceritakan tujuan kepergianku pada si ibu tetangga, mataku mendadak banjir. Aku terduduk lemas di teras tersebut, tersengguk-sengguk oleh air mata. Si ibu tetangga menatapku prihatin penuh simpati. Setelah  berhasil mengatur napas, tangisku reda, dan kulanjutkan perjalanan.

Di dalam bus kenangan berlesatan muncul. Aku diasuh Mbah saat berusia kurang lebih dua tahun. Kemudian tepat setelah ulang tahun keempat, kedua orang tuaku datang dan membawaku ke Pontianak. Tak banyak kenangan yang berhasil kuingat di rentang waktu itu, hanya berdasarkan cerita Bulik serta beberapa lembar foto kenangan yang menangkap momen-momen tertentu.

Aku kembali tinggal bersama Mbah pada masa kenaikan kelas 6 SD hingga kelas satu SMA. Mbah semakin tua, sedangkan aku beranjak remaja. Itu adalah masa-masa di mana aku merasa sulit. Aku dengan energi yang berlebih, sering bentrok dengan kekolotan Mbah. Aku merasa terkekang, sementara Mbah dibebani tanggung jawab untuk menjagaku. Ah...

Mozaik kenangan makin berjejalan. 

Mbah Putri membekali jiwel, timus, atau mata roda untukku di sekolah. Mbah Kakung yang galak, tapi membukakan jendela kamar di pagi hari agar udara segar masuk, ketika aku terbaring karena tifus. Mbah Putri membuatkan kue lumpur kesukaanku saat aku ulang tahun. Aku dimarahi Mbah gara-gara membeli rok pendek sedikit di atas lutut. Bulikku rela berpanas-panas ke pasar demi membelikan rok panjang semata kaki sebagai gantinya. Aku dan Mbah Kakung terbahak bersama menonton lawak Ngelaba di tivi hitam putih kami. Aku mulai membohongi Mbah demi bisa ikut acara kemah Sabtu-Minggu, hanya karena Mbah mulai merasa aku terlalu banyak ikut kemah....

Mataku panas dan mulai meleleh. Terlalu banyak kenangan. 

Kemudian selepas SMA aku kembali lagi ke rumah Mbah. Dan saat itu pertengkaran mulai sering mewarnai hubunganku dengan beliau berdua. Mendadak aku kesal dengan cara Mbah Putri masak; kuno, tidak higienis. Mendadak aku ingin mengungkit masa lalu orangtuaku lalu menyalahkan Mbah Putri. Mendadak aku merasa lebih superior dari kedua orang sepuh ini. Sedangkan Mbah Putri mulai sakit-sakitan. 

Aku merutuki banyaknya egoisme yang muncul seiring bertambahnya usia seseorang. Dan ternyata itu pun terjadi padaku. Aku kerap menafikan kasih sayang tanpa syarat yang telah diterima semenjak kecil. Setelah dewasa pikiranku hanya tersedot pada  ketidakpuasan; seharusnya dulu jangan begini-begitu. Aku bahkan berani membentak Mbah Putri dalam suatu puncak pertengkaran kami.

Dan sekarang aku sudah sampai. Di depanku ada jenazah Mbah Putri. Dikelilingi para paklik dan Bulik, serta Papa. Mbah Kakung terlihat 'nrimo'. Kutatap wajah sepuh yang telah menutup mata itu. Betapa waktu yang terlewati terasa bagai mimpi. 

Aku ikut memandikan jenazah. Siraman air menyucikan tubuh Mbah untuk terakhir kalinya. Lalu pandanganku tertumbuk pada kuku tangan mbah Putri. Kuku itu panjang-panjang semua. Ya Allah, padahal aku pernah berjanji akan memotong kuku Simbah, saat beliau masih terbaring sakit. Janji yang sudah terlambat ditepati. Dan aku hanya bisa menyesal sedalam-dalamnya.(*)

Cilacap, 281218

(Mengenang alm. Mbah Putri dan Mbah Kakung. Semoga Allah melapangkan kubur mereka berdua).

Sumber gambar : pinterest.id


Jumat, 28 Desember 2018

[Ragam] Geliat Pegiat Literasi Cilacap


Oleh: Gita FU

Pada hari Kamis, 27 Desember 2018 saya mendapat undangan acara temu pegiat literasi, dari Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Cilacap. Pertemuan berlangsung di ruang audio-visual dan dibuka oleh Kepala Dinas, Bapak Supriyanto.
Tamu undangan yang hadir berasal dari perwakilan beberapa komunitas literasi di lingkar Cilacap, pustakawan dari beberapa sekolah (SDN 01 Sidareja, SMPN 2 Cilacap, SMAN 1 Cilacap, dan SMAN 2 Kroya), perseorangan seperti saya, instansi (Diskominfo, Depdikbud) dan perwakilan media yakni Yes Radio  dan Satelit Post.

Saya pribadi baru tahu keberadaan komunitas-komunitas tersebut. Ya, anggap saja akibat kekuperan saya pribadi. Antara lain Sangkanparan, Bale Sinaoe, Pojok Pustaka, Institut Ibu Profesional, Gembus, DKC, dan Sagu Sabu. Masing-masing komunitas bergerak di lingkaran wilayah masing-masing, semisal Bale Sinaoe di Cilacap wilayah Barat. Kegiatan yang mereka lakukan antara lain: mendirikan taman baca masyarakat, bedah buku, pemutaran film, membuka kelas menulis, dan membuka lapak baca di alun-alun kota.

Saya menarik kesimpulan dari apa yang masing-masing komunitas paparkan di forum, yaitu:
1. Keprihatinan yang sama, mengenai masih rendahnya minat dan budaya baca masyarakat;
2. Perlunya variasi kegiatan yang menumbuhkan minat baca, karena zaman sekarang orang lebih senang bermain gawai;
3. Butuh wadah yang bisa menyatukan semua komunitas literasi, mengingat luasnya wilayah Cilacap.
Menindaklanjuti poin ketiga, pihak Perpustakaan Daerah Cilacap telah menyatakan kesiapannya menjadi jembatan penghubung antar komunitas, sekaligus wadah pemersatu. Sehingga pada akhir acara disepakati bersama terbentuknya Forum Literasi Cilacap.



Saya pribadi mengamini rendahnya minat baca tersebut. Belanja buku bacaan pun belum menjadi kebiasaan yang umum di masyarakat. Saya bisa menulis lalu menerbitkan buku, tapi menjual buku? Itu tidak gampang. Mungkin dengan banyaknya kegiatan dari komunitas literasi semacam ini, bisa menyadarkan masyarakat akan perlunya membaca, kemudian menjadikan belanja buku sebagai investasi ilmu. Itu harapan positif yang harus terus dinyalakan.


Salam literasi! (*)

Cilacap, 281218


Rabu, 26 Desember 2018

[Review] Akibat Perjanjian Sesat


Oleh: Gita FU

Judul.       : Rumah Sakit
Penulis     : Ari Keling
Penerbit.  : Laksana (Diva Press Grup)
Cetakan.  : Pertama, 2018
Tebal.       : 184 hlm
ISBN         : 978-602-407-314-5

"Ketika mereka yang sudah lama mendiami, mulai menunjukkan eksistensi di tempat ini."

Tagline di atas  merupakan premis dari novel horor ini.  Sebuah gedung kuno peninggalan zaman Belanda  sejak dahulu dinamai Rumah Sakit. Meski penampakan luarnya mengesankan keangkeran, hal tersebut tidak menjadi persoalan bagi masyarakat sekitar. Lagipula tak pernah terdengar cerita ganjil  dari orang-orang yang pernah dirawat  di situ.  Hingga pada suatu Senin malam, rangkaian kejadian aneh dan tak masuk nalar terjadi di dalam gedung tersebut.

Reno, seorang pasien rawat inap, diteror oleh suara tanpa wujud sejak di ruangan IGD (hal. 18). Apalagi  hanya dia seorang yang mendengar suara-suara itu. Lalu ketika dia sudah dipindahkan ke kamar perawatan, Reno diusik oleh seorang pasien Kakek tua yang berada di ranjang sebelah. Pasien itu muncul hanya ketika para suster telah meninggalkan ruangan (hal. 46). Anehnya, saat dia melaporkan keberadaan suara-suara dan pasien tua itu pada para suster, keadaan ruangannya kembali normal dan sepi.

Lain lagi dengan kejadian yang menimpa Laras, Monica, dan Rere, tiga orang suster jaga malam. Rere melihat penampakan lelaki berkulit hitam, tinggi besar di sudut depan kamar perawatan pasien. Lelaki itu terus-menerus menatap  Rere. Sementara Laras melihat hantu nenek tua di  dekat IGD.  Kemudian mereka bertiga menyaksikan sebuah kursi roda  yang bergerak sendiri seperti ada yang menumpanginya (hal. 65). Tentu saja ketiga suster itu  ketakutan hebat. 

Hal menyeramkan pun dialami seorang pengunjung bernama Reza. Saat hendak mengambil motornya  di area parkir, dia tak menemukan kendaraan tersebut di tempat semula. Tiga petugas parkir yang membantunya pun tak menemukan motor tersebut di seluruh penjuru area parkir. Namun saat mereka kembali mencari di titik semula, tiba-tiba motor yang dicari telah berada di tempatnya. Tentu saja keheranan melanda mereka semua (hal. 94).

Bahkan sekelompok petugas kebersihan  yang tengah berkumpul di ruangan Office Boy, tak luput dari gangguan. Mereka melihat sosok kuntilanak berbaju merah di ruangan mereka. Makhluk itu tertawa-tawa menyeramkan. "Tiba-tiba lampu menyala kembali. Bersamaan dengan itu mereka semua membelalakkan mata. Sebab, mereka melihat sesosok perempuan yang berdiri di atas meja dengan rambut panjang terurai sampai menyentuh lantai." (Hal. 107).

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak para korban gangguan hantu ini akhirnya memunculkan jawaban tak terduga. Rupanya ada sejarah gelap yang selama ini rapi disembunyikan para petinggi Rumah Sakit. Sebuah perjanjian dengan setan telah diikrarkan sejak lama. Ketika ada yang salah dalam pelaksanaannya, maka setan atau hantu tersebut  berulah lagi dan menebar ketakutan.

Alur kisahnya sederhana. Cara penulis menarasikan keseraman di dalamnya ibarat   adegan film. Semua tokoh mendapat porsi  masing-masing. Sedikit bertele-tele menurut saya. Tapi kembali lagi pada selera pembaca. Pesan moral yang bisa diambil dari kisah horor ini ialah: manusia sebagai makhluk mulia, janganlah sudi diperbudak oleh setan apapun dalihnya. Karena lebih banyak kerugian daripada kebahagiannya.(*)

Cilacap, 251018

Senin, 24 Desember 2018

[Cerita Mini] Remah-remah Keju



Oleh: Gita FU

Hujan  menderas. Belasan kali Gea menyibak korden jendela, memindai kemunculan Ayah di pelataran kompleks rumah kos ini. Sudah  lewat satu jam dari azan ashar. Entah kemana perginya Ayah.

Gadis cilik sebelas tahun itu menekap perutnya, mencoba menghentikan genderang marching band di dalam sana. Makanan terakhir yang masuk  adalah dua potong bakwan, berjam-jam lalu di kantin sekolahnya. Kini Gea bergulingan di kasur. Perih. Lapar.

Nyalang matanya mengukuri empat dinding kamarnya. Gea mengingat-ingat waktu. Rasanya sudah berabad-abad ia dan Ayah meninggali tempat ini. Kalau tak salah hitung, empat bulan ia terpisah dari Ibu dan dua adiknya. Benar, empat bulan.

Ah, kenapa sih, orang-orang dewasa itu begitu rumit? Kenapa mereka yang katanya lebih pintar, tak bisa memecahkan masalah? Gara-gara mereka, ia dan adik-adiknya dipaksa menerima kosakata baru: cerai. Cerai adalah berpisah; Ayah dan Ibu tak satu rumah lagi; ia dibawa pergi Ayah, sedangkan Rea dan Aga tinggal bersama Ibu. Menyebalkan! Gea mengusap matanya yang mendadak banjir.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Gea berderap membuka kuncinya, berharap itu Ayah yang datang.

"Gea, sendirian, ya?" Bukan, bukan Ayah. Itu Pak Isa tetangga sebelah kamar. "Ah, ini ada sedikit roti dan keju buat Gea dan Ayah. Dimakan, ya?"

Gea menerima bungkusan, "Terima kasih, Pak!" Untung Gea belum lupa kesopanan. Pak Isa tersenyum sebelum kembali ke kamarnya.

Duduk menghadap meja satu-satunya di kamar, Gea mengeluarkan isi bungkusan. Dahinya mengernyit, ada empat lembar roti tawar persegi, dan empat lembar ... Keju?

Ia tahu tentang keju dari iklan-iklan di televisi dan majalah. Konon keju dibuat dari susu, bergizi, dan lezat pula. Benarkah? Ia belum pernah melihat  secara langsung. Jadi begini bentuknya? Tipis, persegi empat, berwarna kekuningan. Ia usap permukaan selembar keju. Lalu Gea mengendus-endus, mirip kucing membaui ikan. Seperti apa rasanya?

Gea mencuil salah satu ujungnya, membawanya ke mulut. Oh, asin! Dicuilnya lagi ujung yang lain, dan mengunyahnya. Eh, gurih!
Cuilan demi cuilan berubah menjadi suapan yang lebih besar. Terus kunyah, dan telan. Lidah Gea berdansa. Cacing-cacing di perutnya bersuka ria. Gea lupa menyisihkan bagian untuk Ayah. Yang ada hanya ia dan keju. Terus hingga tandas. Namun Gea masih mencari remahan, barangkali terjatuh  di permukaan meja. Ia masih belum puas. Rasa keju itu membuatnya ketagihan.

Mendadak pintu dibuka seseorang. "Gea, Ayah pulang!" Wajah Ayah terlihat lelah. Rambut dan jaketnya basah. Ia menenteng bungkusan plastik di kedua tangannya.

"Maafkan Ayah yang pulang terlambat, ya, Nak. Tadi Ayah ada urusan penting. Ini Ayah bawa makanan," ucapan Ayah terputus, "kamu sedang apa, Nak?"

Gea mendongak, sesaat berhenti dari kesibukannya menjilati plastik pembungkus keju. "Ngg, Ayah? Ini Gea lagi makan keju. Enak banget! Tapi maaf, ya, bagian Ayah juga Gea makan. Habis Ayah lama, sih. Gea 'kan lapar!" Gadis cilik itu kembali pada kesibukannya.

Ayah termangu, sisa air hujan menetes ke pelipisnya. Dia baru sadar telah menelantarkan putrinya seharian ini. (*)

Cilacap, 241218

Jumat, 21 Desember 2018

[Review] Ove, si Pria Hitam Putih



Oleh: Gita FU

"Ove memahami hal-hal yang bisa dilihat dan disentuhnya. Semen dan beton. Kaca dan baja. Perkakas. Hal-hal yang bisa dicari jawabannya. Dia memahami sudut tegak lurus dan manual instruksi yang jelas. Model dan gambar rakitan. Hal-hal yang bisa digambarkan di kertas. 
Ove adalah lelaki hitam-putih." (Hal. 50)

Secara umum, pria seperti Ove bukanlah jenis orang populer yang ingin kita jadikan teman mengobrol akrab. Dia kaku, pemberang, dan sulit. Dia amat saklek pada aturan. Jika kamu melihat plang dilarang berkendara di atas 40 km/jam, ada kemungkinan kamu akan sedikit melanggarnya. Terutama saat sedang buru-buru. Tapi Ove tidak. Jika dia mempunyai kupon bertuliskan "50 krona 2 tanaman", besar kemungkinan dia siap adu mulut dengan penjaga gerai agar dia hanya membayar 25 krona saja karena hanya butuh satu tanaman. Seperti itu.

Ove sama sekali tidak menaruh simpati pada orang yang tidak bisa membetulkan papan lantainya sendiri, atau kasau rumah yang lepas. Karena dia selalu melakukan semua hal itu dengan amat baik. Ove juga tak bisa mengerti mengapa zaman sekarang orang tergila-gila pada mobil otomatis, berteknologi canggih, yang mengandalkan bantuan radar mundur untuk memundurkan mobil. Menurut Ove orang seperti bitu tak pantas punya SIM. Ove tak menyukai mobil buatan luar. Baginya Saab yang terbaik. Hanya Saab, sebelum diambil alih General Motor.


"Kau merindukan hal-hal teraneh ketika kehilangan seseorang. Hal-hal sepele. Senyuman. Cara perempuan itu berbalik ketika sedang tidur. Kau bahkan rindu mengecat ulang ruangan untuknya." (Hal. 76)

Dan Ove amat merindukan Sonja. Bahkan setelah 6 bulan kepergiannya, Ove masih berkeliling rumah setiap pagi, mengecek apakah Sonja menaikkan suhu radiator diam-diam. Bagi Ove, dia tidak hidup sebelum bertemu dan sesudah ditinggal Sonja. Karena dia memandang semua warna melalui Sonja, istrinya. 

Sungguh novel ini berulang kali berhasil membuat saya tertawa dan menangis bergantian. Cara Fredrik Backman menarasikan kisah sang tokoh utama beserta tokoh-tokoh lainnya, amat membetot hati. Saya bersimpati pada dukacita dan kehilangan yang dirasakan Ove. Saya bisa mengerti kenapa dia ingin menyusul Sonja saja. Karena hidupnya tak sama tanpa wanita itu. Saya tersenyum-senyum bahkan tertawa sendiri ketika perlahan-lahan Ove ditarik keluar dari kesendiriannya oleh kehadiran tokoh lain. Sebut saja: Parvaneh, Patrick, dan dua anak mereka; Anders, Ilalang Pirang dan anjingnya; Jimmy si pemuda obesitas; Adrian si pelayan kafe; Mirsad si gay yang bertengkar dengan ayahnya; Anita dan Rune; Lena si jurnalis; pria berkemeja putih; dan jangan lupakan si kucing setengah botak.

Pada akhirnya Ove yang serba teratur dan taat aturan tak bisa tak peduli pada para tetangga yang melanggar aturan. Dia terlibat begitu saja dengan kehidupan orang lain. Uniknya, semua dia lakukan karena tak mau Sonja marah atau tak ingin ayahnya kecewa; keduanya orang-orang yang amat berpengaruh dalam hidup Ove.

Melalui novel ini saya bukan saja amat sangat terhibur, tetapi juga mendapat banyak perspektif baru tentang kehidupan dan kematian. "Sesuatu dalam diri seseorang akan hancur berkeping-keping jika dia harus menguburkan satu-satunya orang yang selalu memahaminya." (Hal. 426).

Kredit buat mbak Shabrina WS yang telah berbaik hati meminjamkan Ove, hingga saya bisa ikut berkenalan dengannya. Sungguh luar biasa. (*)

Cilacap, 211218

Keterangan foto: 
1. Dok. Pribadi
2. Mobil Saab 9000, sumber Google.



Kamis, 20 Desember 2018

[Ragam] Taman Cantik di DPR



Oleh: Gita FU


DPR yang saya maksud adalah Daerah Pinggir Rel. Daerah ini pada umumnya merupakan area gersang dan kosong yang tidak menarik hati. Warga yang tinggal di dekatnya pun harus berhati-hati tidak boleh lengah karena kereta bisa melintas sewaktu-waktu. Itulah sebabnya daerah pinggir rel biasanya diberi semacam tanggul sebagai pembatas. Namun kesan itu patah saat kita melihat DPR di suatu RT yang masuk  wilayah kelurahan Tegalreja, kecamatan Cilacap Selatan ini. Tepatnya areal pinggir rel di belakang Jalan Perkutut Timur- Jalan Beo Timur.




Sejak kurang lebih setahun yang lalu, warga setempat berswadaya membangun konsep taman, yang mereka namai Taman Kampung KB. Aneka tanaman hias, lengkap dengan beberapa gazebo, bangku, serta ayunan untuk bermain, menjadi kesatuan  yang berpadu indah. Bahkan di beberapa titik terlihat kreasi dari bahan limbah plastik. Unik, dan cantik. Saat malam tiba, taman ini diterangi aneka lampu hias.



Warga setempat bergiliran merawat taman tersebut. Saat saya berkunjung kemarin sore (19/12), beberapa warga terlihat menyirami tanaman dengan selang air, serta memperbarui cat yang memudar pada ornamen bebatuan.

Keindahan taman ini tak pelak menjadi pusat perhatian pelintas maupun warga dari kelurahan tetangga, seperti saya. Cukup berjalan kaki dari rumah sekira 30 menit, saya dan anak-anak sampai di taman. Apalagi kalau sambil bawa bekal makanan, terasa sedang piknik jadinya. Murah, meriah, sehat, dan menyenangkan.



Kekurangannya adalah tidak tersedia tempat parkir. Dikarenakan sempitnya jalan aspal yang melewati area ini. Pinggir jalan langsung berbatasan dengan rumah warga, dan sebagian besar tidak punya pekarangan. Akibatnya  pengunjung taman yang membawa kendaraan roda dua, harus rela parkir cukup jauh, yaitu di ujung jalan masuk ke area DPR ini.

Bagaimana, tertarik berkunjung? (*)

Cilacap, 201218

Rabu, 19 Desember 2018

[Cernak] Rola Kena Batunya


Oleh: Gita FU

Di rumah Marsya, anak kelas empat sebuah SD di Banyumas, ada sebuah rak sepatu dari kayu. Semua sepatu, sandal, maupun selop milik Papa, Mama, dan Marsya, diletakkan dengan rapi di dalamnya. Ada satu rahasia yang tidak diketahui Mama, Papa, dan Marsya. Yaitu, setiap malam saat  penghuni rumah sudah tidur, semua alas kaki itu mengobrol! Ya, mereka bercakap-cakap seperti manusia.

"Aku tadi sore diajak mamanya Marsya mengunjungi toko tas, lho! Tokonya sejuk, lantainya mengkilap, dan harum!" celoteh Bali si selop bertali hitam.

"Kalau aku, seharian menemani papanya Marsya di kantor," balas Jo sepatu pantofel hitam.

"Senang ya, kita selalu bergantian diajak pergi Mama, Papa, dan Marsya!" Soli si sepatu bersol karet ikut menimpali obrolan. Mereka semua gembira. Bagi mereka, adalah suatu kebahagiaan bila dipakai oleh sang pemilik.  Itu tandanya  mereka berguna.

"Teman-teman, menurut kalian siapa yang paling cantik di antara aku dan Mela?" celetuk Rola, sandal ungu milik Marsya.

Teman-temannya terkejut. "Kenapa kamu bertanya begitu, Rola?"

"Huh! Tinggal bilang lebih cantik aku saja, susah amat!" Rola mendengus sombong.  Ya, tentu saja dari segi penampilan Rola lebih manis. Ada manik-manik serta hiasan bunga berwarna-warni pada talinya. Berbeda dengan Mela si sandal merah, yang polos tanpa hiasan. Teman-temannya saling lirik, kurang suka pada sikap Rola.

"Terus apa maumu, Rola?" Sera si selop cokelat menanggapi dengan gusar.

Si sandal ungu tertawa keras. "Aku mau kalian semua tahu, bahwa aku adalah sandal kesayangan Marsya. Aku yang selalu jadi pilihan utama untuk dipakai Marsya! Tidak seperti Mela. Dia itu sandal yang tidak berguna!"

"Rola! Omonganmu jahat sekali," ucap Mela sedih.

"Ya, benar. Kamu tak boleh bicara seperti itu, Rola!"

"Ayo, minta maaf sama Mela!"

"Untuk apa minta maaf? Kalian ingat-ingat saja yang terjadi selama ini," bantah Rola angkuh.

"Walau demikian, kamu tak berhak sombong," ucap Soli bijak. "Kita sama-sama alas kaki yang telah dipilih dari toko oleh pemilik kita dengan hati senang. Jadi kedudukan kita sama."

Namun Rola memang keras kepala. Dia tetap memandang rendah Mela. Suasana di dalam rak pun menjadi tidak menyenangkan. Mela yang menjadi rendah diri, ditenangkan oleh teman-temannya.

**

"Ma, Marsya jadi dijemput sama Tante Wina, kan?" tanya Marsya sepulang sekolah.

"Jadi, Sayang," senyum Mama.

"Asyik! Terimakasih ya, Ma, sudah mengijinkan Marsya ikut Tante."

"Iya, Sayang. Lagipula ini hari Sabtu, kamu nggak ada jadwal les," jawab Mama.

Tak berapa lama terdengar derum mobil memasuki halaman. Disusul suara-suara riang dari Denis dan Lala, para sepupu Marsya. Usai menyiapkan baju ganti dan perlengkapan lain ke dalam tas ransel, Marsya berpamitan pada Mama. Tak lupa dia kenakan pula sandal ungu favoritnya. Dia siap ikut berwisata bersama keluarga Tante Wina ke Purwokerto.

**

Malamnya keluarga Marsya berkumpul di ruang tengah. Marsya terlihat agak lelah. Dia sampai kembali di rumah menjelang magrib.

"Nah, Marsya. Bagaimana tadi di Baturraden?" tanya Papa.

"Wah, seru, Pa! Tadi Marsya mandi air panas di Pancuran Tiga. Dinding tebingnya tinggi dan terjal, lho! Benar-benar suasana hutan asli!"

"Kalian ke Pancuran Pitu tidak?" Mama ikut bertanya. Seingat Mama, letak Pancuran Pitu--atau Pancuran Tujuh-- itu di sebelah atas Pancuran Tiga. Di situ kadar belerangnya lebih tinggi.

"Kami memang naik ke atas lewat jalan mobil, Ma. Tapi Marsya nggak ikut jalan ke Pancuran Pitu. Marsya  tinggal di mobil."

"Lho, kenapa?" Papa dan Mama serempak bertanya.

"Marsya sedih, karena manik-manik di sandal ungu putus." Lalu Marsya menceritakan apa yang terjadi. Rupanya saat keluar dari area Pancuran Tiga, Marsya terpeleset dan jatuh terjerembab. Saat itulah hiasan di sandalnya terlepas.

"Kasihan... Tapi syukurlah kamu nggak kenapa-kenapa," ungkap Papa prihatin.
Marsya beranjak ke rak sepatu. Dia menunjukkan kondisi sandal ungunya pada papa dan mama.

"Nggak apa-apa, Sya. Walau hiasannya lepas, sandal ini masih bisa kamu pakai," hibur Mama. Marsya mengangguk pelan.

**

Setelah keluarga Marsya tidur, terdengar isakan  Rola di dalam rak sepatu. "Hiks hiks hiks, sekarang aku jadi jelek...."

"Huh! Itu namanya kamu kena kualat!" ketus Sera. Tangisan Rola semakin keras.

"Sudahlah, Sera. Jangan mengungkit peristiwa yang lalu," lerai Bali.
"Rola, meskipun hiasanmu hilang kamu tetap sandal yang masih berguna." Soli menasihati  lembut. Semua alas kaki mengangguk sepakat.

Rola terdiam mendengar nasihat itu. Diliriknya Mela yang telah dia ejek. Sekarang penampilan mereka sama, polos tanpa hiasan. Rola merasa malu.

"Rola, kamu nggak ingin bilang sesuatu pada Mela?" tegur Jo mengingatkan.

"Eh, i-iya... Mela, maukah kamu memaafkan aku?"

"Iya, Rola. Aku bersedia memaafkanmu," jawab Mela tenang.

Setelah Rola menyadari kesalahannya, suasana di dalam  rak sepatu kembali damai. Memang tak ada manfaatnya menyombongkan diri, hanya karena penampilan lebih bagus dari orang lain.(*)

Cilacap, 191218

(Ilustrasi: pinterest.id)

Selasa, 18 Desember 2018

(Memoar) Cinta Bersemi di Mading


Oleh: Gita FU


Purbalingga, tahun 1994

"Asyik!" Saking senangnya aku berjingkrak-jingkrak tanpa sadar.

"Apa, sih, Git? Heboh amat?" Vita menegur. Ikut penasaran, mata bulatnya menekuri isi mading.

"Hah? Klub drama?"

"Iya! Asyik, kan? Aku mau ikut!"

Tatapan 'ih-masa-nggak-banget-deh' ala Vita langsung menyorot. Aku terbahak, memaklumi ketidaksukaannya pada pelajaran bahasa dan sastra. 

"Sudah, yuk! Kita pulang sekarang. Si Fitri nungguin di gerbang, tuh!" Vita menarik lenganku.

"Eh, tunggu sebentar! Aku hapalin dulu jadwal klub!"

Selanjutnya setiap hari Rabu usai sekolah, aku ikut berkumpul di perpustakaan. Tak banyak yang mendaftar, hanya enam siswa;  dua anak kelas satu, dua anak kelas dua--termasuk aku, dan dua kakak kelas tiga. Namun Pak Rahman tak  berkecil hati. Beliau tetap bersemangat tinggi hingga kami tertular antusiasmenya. Kualitas itulah yang kusukai dari guru bahasa Indonesia kami ini. Selain berwawasan luas, beliau juga penuh dedikasi, serta mengemong pada kami. Minatku pada bahasa dan sastra tumbuh berkat beliau.

Suatu saat beliau meminta kami berakting berdasarkan secuplik naskah sederhana. Suasana yang digambarkan oleh naskah itu adalah obrolan  santai sore hari antara dua teman.

"Gita, postur tubuhmu masih terlalu kaku. Anis, cara berdialogmu terlalu lurus kurang intonasi. Coba sekarang giliran Septi dan Sugi." Pak Rahman menunjukkan kekurangan kami. Dua kakak kelas yang ditunjuk segera berakting.

"Nah, mari kita bandingkan," ucap Pak Rahman mengevaluasi. "Septi dan Sugi membawakan  adegan mengobrol dengan lebih rileks. Memang seperti itulah seharusnya. Beraktinglah  sewajar mungkin, bayangkan jika kamu sedang bercakap-cakap dengan temanmu. Mengerti, ya?" Kami mengangguk paham.

Kegiatan ekskul di klub drama   menjadi candu bagiku. Pak Rahman tak hanya mengajarkan seni peran, tapi juga pengayaan pelajaran bahasa Indonesia. Bergantian dengan Bu Makarti, guru bahasa Indonesia kelas tiga, kami diajarkan pula menulis cerita dan puisi. Hal-hal yang menjadi minatku sejak SD.

Selain itu aku pun jadi tahu bagaimana proses pemuatan karya di mading--majalah dinding. Siswa yang ingin mengirim karya--entah  puisi, artikel pengetahuan umum, maupun gambar--bisa memasukkan hasil karya itu ke kotak khusus. Kotak tersebut berupa kotak kayu dengan lubang seukuran amplop di atasnya. Isi kotak akan disortir setiap Sabtu siang, oleh pustakawan, dan dipantau guru bahasa serta guru kesenian. Karya yang terpilih ditayangkan tiap hari Senin hingga Sabtu. Karya yang dianggap tak layak adalah yang tidak rapi, atau bahasanya tidak sopan.

Animo para siswa cukup besar terhadap isi mading. Dan tentu saja, jika ada karya yang mengundang kehebohan hampir bisa dipastikan adalah puisi cinta. Seakan sudah jadi kesepakatan, puisi cinta adalah alat untuk menyatakan perasaan antar siswa secara terselubung. Ditandai adanya catatan kecil di bagian bawah: dari 'a' kepada 'b'.

"Vit, ini gambarmu, kan?" Fitri menjawil pipi Vita. Terlihat gambar seorang gadis berambut ikal yang ekspresif di lembar kertas HVS. Khas coretan tangannya yang berbakat, terlihat komikal, dengan bubuhan warna cat minyak yang semarak.

Wajah Vita berseri-seri. "Ahay! Gambarku wagu, ya?" Serentak kami menggeleng. Wagu--jelek atau janggal--jelas bukan kata yang tepat untuk hasil gambar yang terlihat hidup seperti itu. Tapi begitulah cara Vita merendah.

"Eh, Git. Ini bukannya puisi si Rudi?" Gantian Vita mencolek lenganku. Seketika sebutir tomat matang di pipiku.

"Eciee, ini kenapa bagian akhirnya ada tulisan 'buat G di 2B'?" Fitri tambah membuat dadaku berdebar tak karuan. Dua sahabatku ini meledek habis-habisan. Mereka tahu aku sedang jatuh hati pada cowok kelas 3 itu. Menurutku, gayanya cool  dan wajahnya menarik. Nilai plus lain, cowok itu suka menulis puisi. Jadi aku coba-coba mengiriminya puisi terlebih dahulu lewat mading. Tak kusangka dia mau membalasnya.

"Ih, sudah, dong! Coba baca puisinya. Isinya, kan, biasa saja. Nggak ada bilang suka-sukaan." Aku berusaha mengalihkan perhatian Fitri dan Vita. Untunglah bel tanda istirahat berakhir segera berdering, memutus pembahasan tentang Rudi dan puisi.

Sejak Rudi membalas puisiku, kami jadi sering bertukar sapa tiap bertemu. Ternyata dia  ramah, tak seperti persangkaanku semula. Hingga beberapa kali edisi mading kami masih saling berbalas puisi. Sungguh menyenangkan rasanya. Tapi aku harus puas sampai di situ saja.

"Gimana, sih? Kok, nggak berlanjut?" protes Vita dan Fitri berbarengan.

Aku nyaris tersedak es kelapa yang tengah kuminum. "Ya, nggak apa-apa, tho?"

Dua gadis itu bersungut-sungut. Mereka bilang aku aneh. Punya rasa suka tapi tak mau berlanjut, jadi pacar misalnya. Padahal kesempatan sudah terbuka. Lama-lama keki juga aku dipojokkan begitu oleh sahabat sendiri.

"Sudah, pokoknya aku nggak mau berlanjut. Enakan jadi teman aja. Titik! Awas kalo masih ngeledek aja, aku pergi, nih!" pungkasku. Vita dan Fitri saling bertukar pandangan, lalu tergelak.

"Woo, jengkel, nih!" sorak Fitri

"Ya udah, sama si Supri aja, Git!" Vita dengan seenaknya menyebut nama seorang adik kelas.

"Enak aja!"

Ah, andaikan dua sahabatku tahu. Sebetulnya ada alasan lain mengapa hubunganku dan Rudi tak beranjak dari sekadar teman. Suatu hari sepulang sekolah, aku melihat cowok itu berjalan bersama cewek dari SMP lain. Mereka  sangat akrab. Selain itu, ternyata Rudi seorang perokok. Aku pernah memergokinya di gerbang belakang sekolah saat hendak mengeluarkan sepeda. Jadi, dua fakta tersebut membuatku pilih mundur teratur. (*)

Cilacap, 250317-181218


(Ilustrasi: pinterest)

Senin, 17 Desember 2018

[Review] Keluhuran Budi Seorang Anak Yatim


Oleh : Gita FU

Judul Buku            : Mukena untuk Ibu
Penulis.                  : Prajawan, S.Pd
Penerbit                 : JWriting Soul Publishing
Cetakan.                 : Pertama, Agustus 2018
Halaman                : 95 hlm, 14x20 cm
ISBN.                       : 978-602-5918-60-5


Mengajarkan anak-anak untuk berempati pada sesama antara lain bisa dilakukan melalui cerita. Ya, cerita anak yang sarat nilai edukasi, tapi dengan bahasa ringan supaya mudah dicerna. Buku ini salah satunya, novel anak yang ditulis seorang guru di sela-sela kesibukan mengajarnya.

Dikisahkan seorang anak yatim kelas 6 SD bernama Bayu, hidup dalam kondisi serba kekurangan bersama ibunya. Ibu Bayu bekerja keras sebagai buruh cuci piring di sebuah rumah makan yang cukup terkenal. Bayu sendiri bekerja paruh waktu selepas pulang sekolah, sebagai pencetak batu bata di ladang tetangga. Sungguh pun demikian, kemiskinan tidak mengurangi nilai positif dalam diri Bayu. Dia dikenal sebagai juara kelas, bersifat santun, dan baik hatinya (hal.3).

Namun malang tak dapat ditolak. Akibat terlalu memaksakan diri, ibu Bayu jatuh sakit. Sakit keras yang dialaminya  membuat roda perekonomian makin tersendat, karena ibu Bayu mesti absen bekerja. Tentu saja hal ini mengusik Bayu.  Sebagai anak yang bertanggung jawab, Bayu tergerak menggantikan pekerjaan ibunya di rumah makan itu. Bagaimana reaksi ibu Bayu? Tentu saja beliau berkeberatan. Namun Bayu gigih meyakinkan ibunya, sehingga wanita tersebut mau juga mengijinkan. Setelah itu Bayu menghubungi sang pemilik rumah makan. Awalnya dia ditolak dengan alasan belum cukup umur. Syukurlah berkat rekomendasi salah satu pegawai, sang pemilik akhirnya menerima Bayu bekerja paruh waktu (hal. 29).

Pada dasarnya Bayu mudah menyesuaikan diri. Dia rajin dan ramah. Hal ini menjadikan Bayu disukai majikannya. Sayangnya, putri sang majikan yang bernama Devi justru memusuhi Bayu. Rupanya mereka sekelas. Di sekolah Bayu adalah juara kelas, sehingga Devi menyimpan dendam dan iri hati pada prestasinya.
Berbagai hal Devi lakukan untuk menyakiti Bayu di rumah makan ayahnya tersebut. Namun Bayu bertahan dan menahan diri.

"Bayu teringat pesan Ibu untuk selalu bersabar dalam menghadapi segala cobaan. Ia juga sudah mengira Devi akan berbuat semena-mena terhadapnya. Di sekolah Devi juga menggunakan segala cara untuk menjatuhkan prestasi Bayu." (Hal. 32).

Puncak balas dendamnya, Devi melakukan fitnah keji pada Bayu. Akibatnya Bayu diusir dari rumah makan. Akankah kali ini Bayu berhasil keluar dari kematangannya?

Alur cerita dalam novel ini lurus dan sedikit mirip sinetron  di layar televisi. Terutama di bagian konflik yang dialami Bayu. Mungkin hal ini disebabkan sasaran utama pembaca adalah anak-anak.  Pesan yang ingin disampaikan penulis antara lain kejujuran dan sikap pantang menyerah. Dengan bersikap jujur niscaya mendatangkan kemujuran, dan meskipun dalam kondisi kekurangan hendaklah kita tetap berjuang meraih prestasi. Di luar kekurangannya buku ini  layak dibaca,  khususnya bagi anak-anak sekolah dasar. (*)

Cilacap, 171218

Selasa, 11 Desember 2018

[Cernak] Kemenangan Palsu



Oleh: Gita FU

Sore ini Dida yang baru pulang dari rumah sakit, dikunjungi Doni teman sekelasnya. Sambil berbaring Dida mendengarkan cerita temannya itu.

"Wah, jadi sekarang sekolah kita sedang ramai ya, Don?"

"Tentu. Parade lomba-lomba saja berjalan seminggu penuh. Ada lomba  cerdas cermat antar kelas, cipta puisi dan cerita pendek, serta pidato. Belum lagi  lomba-lomba yang mirip acara tujuh belasan," celoteh Doni berapi-api. Lalu tangan kanannya mencomot biskuit cokelat dari stoples.

Dida termenung. Betapa inginnya dia segera masuk sekolah. Tanpa sadar tangan kirinya meraba perban di puncak kepala.

"Berapa lama lagi baru kamu bisa masuk, Da?" prihatin Doni.

"Hmm, kata ibuku paling cepat minggu depan. Aku masih harus periksa jahitan lagi," sahut Dida pelan. Kepalanya  belum lama ini dioperasi akibat kecelakaan tiga minggu lalu. Saat itu dia bersepeda sepulang sekolah, lalu ditabrak pengendara motor dari belakang.

Doni menepuk-nepuk bahu temannya. "Sabar, ya. Pasti kamu cepat pulih, kok."

Doni melihat ke jam dinding, sudah pukul lima. "Aku mau pamit dulu, Da," ucapnya. "Oh iya, bolehkah aku meminjam beberapa majalah anak-anak ini? Aku ingin mencari inspirasi untuk ikut lomba cipta puisi."

Dida menoleh pada rak berisi koleksi majalah miliknya. "Boleh saja. Asal ingat, jaga baik-baik majalahku, ya!"

"Siap!" Tak lama Doni pun berpamitan pada Dida dan ibunya. Tinggallah Dida seorang diri di kamarnya.  Dida tak sabar ingin masuk sekolah kembali.

***

Seminggu kemudian, Dida kembali ke sekolah. Bu Erna dan teman-temannya menyambut meriah. Dida merasa terharu sekaligus gembira atas perhatian mereka.

Saat jam istirahat tiba, Dida bertanya pada kawan-kawannya. "Hei, bagaimana perlombaan minggu lalu? Apa sudah ada pengumuman pemenang?"

"Tentu saja sudah! Kelas kita juara pertama lomba cerdas cermat, mengalahkan kelas 5A dan 5C! Dan Doni jadi juara satu cipta puisi, lho!" seru Tatang, dan Wawan.

"Syukurlah! Mana Doni? Aku ingin kasih selamat," tanya Dida.

"Paling ke kantin," jawab Dina.
"Omong-omong hasil karya juara cipta puisi dan cerita pendek, dipajang di Mading, Da."

"Wah,  aku mau lihat, ah!"

"Yuk, kuantar," sambut Dina.
Dida merasa ada yang aneh, usai membaca puisi berjudul 'Istana Paling Indah'. "I-ini puisinya Doni?" tanyanya pada Dina.

"Iya. Bagus, kan?"

Dida menggeleng bingung. "Entahlah, tapi rasanya..."

Tiba-tiba dari belakang Doni mengagetkan mereka. "Hai! Sedang membaca karyaku?"
Dida tersentak. Dia ingat sesuatu. "Eh, Doni. Emm, selamat, ya. Oh iya, bisakah kamu kembalikan majalah-majalahku sore ini?"

Mendadak  Doni  gugup. "Oh, majalahmu? Ngg, ya-ya. Nanti kalau sempat, ya. Sudah dulu, ya. Aku mau ke kelas!"

Dina heran, "Kenapa dia?"

Dida menarik Dina menepi ke dekat perpustakaan. "Aku mencurigai sesuatu, Din. Begini, puisi yang jadi juara itu aku yakin dijiplak dari salah satu majalah anak-anak!" Lalu Dida menceritakan soal beberapa majalah miliknya yang telah dipinjam Doni. Karena Dida gemar membaca, tentu saja dia masih hafal isi dari majalah-majalah kesukaannya itu.

Dina terbelalak kaget. "Begini saja,  nanti sepulang sekolah kamu menghadap Bu Erna saja, Da. Ceritakan semuanya. Selanjutnya biar Bu Erna yang memutuskan.  Bagaimana?"

Dida mengangguk setuju.  Tak lama terdengar bel masuk berbunyi.

***

Berkat laporan Dida, Bu Erna dan guru lainnya segera menyelidiki puisi milik Doni.  Doni  pun tak bisa mengelak lagi saat disodori barang bukti. Yaitu  puisi versi aslinya, di majalah anak-anak milik Dida. Pengumuman dari pihak sekolah menyusul dua hari kemudian, berupa pembatalan kemenangan Doni.

Bu Erna bicara di depan kelas 5B mengenai peristiwa tersebut. "Tahukah kalian, anak-anak? Menjiplak suatu karya cipta, sama dengan perbuatan mencuri. Dan mencuri adalah tindakan tercela yang dibenci Allah. Jujurlah kalian dalam berkarya. Tidak ada gunanya kemenangan yang palsu. Doni kemarilah. Mintalah maaf pada teman-teman sekelas yang telah kamu kecewakan."

Dida menatap Doni yang berdiri di samping Bu Erna. Sebenarnya dia kasihan pada temannya itu. Namun perbuatan salah tak boleh ditutupi atau dibela. Itulah pesan ibu dan ayah padanya. (*)

Cilacap, 280318

(Pernah dimuat di Harian Fajar Makassar)

Senin, 10 Desember 2018

[Review] Mengapresiasi Parodi dalam Puisi


Oleh: Gita FU

Judul        : Tuhan Tidak Tidur Atas Doa Hamba-Nya yang Begadang
Penulis.    : Maulidan Rahman Siregar
Cetakan.   : Pertama, 2018
Hlm           : x + 90
ISBN.         : 978-602-6506-85-6

"Aku mencintaimu, dan berpikir keras
bagaimana puisi menyelesaikan ini." (Hal. 3).

Seringkali saya mengerutkan dahi ketika membaca kebanyakan puisi. Mencoba memaknai apa yang dimaui sang penyair. Hal itu diakibatkan metafora alias bahasa kiasan tingkat tinggi yang kerap bertebaran di tubuh puisi. Dan katanya itu lumrah. Sebab puisi tak sama dengan cerita pendek. Puisi harus puitis, diksinya pilihan, ada kaidah yang (wajib) diikuti.
Setidaknya itu pelajaran yang saya dapat semasa sekolah. 

Kembali pada persoalan memahami bahasa puisi, dalam buku kumpulan puisi ini saya temukan perbedaan. Alih-alih berdiksi rumit, Maulidan malah menuliskan apa adanya, tanpa kehilangan watak puisi. Meskipun di beberapa tempat cenderung banal. Tema yang diambilnya pun cukup beragam. Mulai dari persoalan cinta, hingga aneka persoalan sosial.

Selain terkesan apa adanya dalam memilih kata, Maulidan pun kerap menggunakan peristiwa Kekinian sebagai pembanding. Sehingga pembaca dapat ikut memaknai pesannya. Misalnya  puisi berjudul 'Rindu Melulu' (hal. 38) ini:

Mencintaimu, kekasih,
lebih pedih dari cerpen
yang tokoh utamanya,
bunuh diri karena tak mampu beli rokok.

Mencintaimu, kekasih,
Lebih baik puisi, dari sajak segala pilu
Lebih sendiri dari malam pekat
Seringkali tak mampu tertulis
Keluar-berlari dari sajak-sajak ini.

 Mencintaimu bahkan
lebih ngilu dari goyangan biduan dangdut semok 
tak ada pilihan bagiku 
selain mabuk dan pulang. 

Hal menarik lainnya adalah unsur parodi pada sebagian besar puisi Maulidan. Dengan teknik interteks penulis menyandingkan puisinya dengan puisi Sapardi Djoko Damono. Misal puisi 'Maaf Sapardi' (hal. 14), di mana dia menukil bait terkenal dari puisi 'Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana', menjadi puisi cinta yang sama sekali berbeda.

Aku ingin mencintaimu dengan ribet
Dengan cerita yang tak sempat dikisahkan air kepada toilet yang menjadikannya mencret.
Aku ingin mencintaimu dengan ribet
Dengan mata pencopet yang tak sempat diceritakan Bayu kepada Slamet yang menjadikannya kepepet.

Mencintaimu bukan soal bagaimana cara bertahan,
Mencintaimu adalah seberapa kuat merawat kehilangan.

Tentunya masih banyak judul lain dalam kumpulan puisi ini yang layak diapresiasi. Maulidan sebagai penyair muda asal Padang telah ikut memberi warna dalam ranah sastra kita.(*)

Cilacap, 101218








Jumat, 07 Desember 2018

[Review] Kisah yang Membuatmu Makin Percaya Tuhan

Oleh: Gita FU

Saya yakin sudah banyak ulasan mengenai novel fenomenal ini di internet. Karena itu saya tidak akan mengulas plot, kelebihan atau kekurangan cerita seperti biasanya.
Lalu apa yang mau saya angkat dari novel ini? Jawabannya: ide tentang kesadaran adanya kuasa Tuhan dalam medium apapun.

Begini, dalam hidup kita pasti ada yang namanya titik rendah. Yaitu semua sikap negatif saat menghadapi problematika kehidupan. Bahkan mungkin yang paling buruk ialah mempertanyakan di mana Tuhan saat saya butuh? Begitu, bukan? Nah, bagian terpanjang dari kisah Pi Patel ini ada pada bagian itu. Titik terendah hadir dalam bentuk dia kehilangan seluruh anggota keluarga, tercabut dari rumah, lalu terombang-ambing di tengah samudera Pasifik berminggu-minggu, ditemani seekor harimau Bengal--dan ajaibnya tidak memakan Pi. Siapa yang bisa dia andalkan? Tak ada. Hanya kewarasan dirinya sendirilah yang bisa menolong. Dan untuk tetap waras dia butuh keyakinan kuat pada Tuhan.

Pi merangkai seluruh kejadian yang menimpanya sebagai takdir Tuhan. Termasuk keberadaan Richard Parker sang harimau pun sudah diatur Tuhan. Segala keajaiban hidup di tengah laut beserta makhluk-makhluk yang muncul di hadapannya, dia maknai sebagai pertolongan Tuhan. Setiap dia merasa frustasi dengan nasibnya hingga terpikir mengakhiri hidup, kembali dia ingat Tuhan.

Karena imannya yang kuat pada konsep Tuhan sebagai Mahasegala, Pi menganut nyaris semua agama. Dia menjalankan ibadah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Sikh. Karena bagi Pi semua cuma soal tata cara. Intinya adalah penghambaan pada Tuhan. Begitulah cara Pi bertahan hidup.

Sungguh buku ini membawa saya pada petualangan yang seru, menghibur, dan kontemplatif. Layak dibaca. (*)

Cilacap, 071218

Kamis, 06 Desember 2018

[Review] Penyimpangan Seks Ibarat Penyakit Menular

Oleh: Gita FU

Judul.         : Pelisaurus dan Cerita Lainnya
Penulis       : Gunawan Tri Atmodjo
Penerbit     : BASABASI
Cetakan.     : Pertama, September 2017
Tebal.          : 200 hlm
ISBN.           : 978-602-6651-32-7


Gunawan Tri Atmodjo penulis buku 'Tuhan Tidak Makan Ikan'--masuk dalam kategori buku prosa terbaik tahun 2016 oleh Kusala Sastra Khatulistiwa dan Majalah Rolling Stone Indonesia--sudah terbukti piawai mengalirkan cerita. Dalam buku kumpulan cerpennya kali ini ia menghadirkan dua puluh dua cerita pendek. Dengan judul yang sedikit kontroversial, ia terang-terangan menjadikan 'ngeloco' atau onani sebagai benang merah di nyaris seluruh cerita. Meskipun demikian, nyatanya Gunawan sama sekali tidak  sedang menulis cerita cabul. Melainkan ia tengah merangkum sejumlah persoalan sosial dalam masyarakat kita.

Dalam cerita berjudul 'Banci Gento', penulis mengungkapkan betapa perilaku gay yang menyimpang itu, serupa penyakit menular. Seseorang yang sebelumnya memiliki orientasi seksual normal, bisa berbelok pada percintaan sesama jenis, jika mendapat pemicu yang terus-menerus. Hal ini terjadi pada tokoh aku dan Ali Gempil. "Ia menjelaskan bahwa ada sisi cinta kepada sejenis di dalam dirinya yang tak bisa dikendalikannya. Ia menguraikan bahwa sejak peristiwa di gedung bioskop di masa remaja dulu, ia menjadi ketagihan. Ia sudah berkali-kali jajan waria sejak STM. Dan, ketika ia menjadi waria dan menjajakan jasa seks, ia merasa dirinya telah lengkap." (Hal. 72).

Gunawan pun tak lupa menyelipkan kritik sosial, perihal  ancaman kapitalisme terhadap keberlangsungan hidup rakyat kecil. Pembangunan toko-toko modern yang mengabaikan hak pedagang tradisional, masif terjadi hingga ke pelosok desa. Hal ini diangkat dalam cerita berjudul 'Siti Semak-semak'. Seorang wanita perkasa, menjadi simbol perlawanan warga kampung Punung terhadap  pengusaha dari kota. "Mereka hendak membangun sejumlah minimarket di daerah kita ini. Para pedagang kecil di kampung tentu saja menolaknya dan Siti Semak-semak menjadi corong suara mereka.

"Di pasar sempat terjadi perkelahian di siang bolong dan banyak saksi mata yang melihat Siti Semak-semak menghajar tiga begundal dari kota itu. Kelakuan Siti Semak-semak  itu sudah seperti pahlawan, setidaknya bagi para pedagang kecil. Sejak itu berita tentang minimarket menguap dari kampung ini." (Hal. 84).

Ada lagi cerita 'Franky Idu' yang  menyinggung maraknya  pornografi pada  generasi muda kita. Penyebabnya sudah bukan rahasia lagi. Yaitu akibat derasnya arus informasi dan hiburan yang tidak dibarengi pengawasan dari orang dewasa, ditunjang oleh besarnya rasa ingin tahu remaja terhadap hal-hal yang dianggap tabu.  Dikisahkan saat Franky duduk di kelas 2 SMP, ia pertama kalinya mengenal film porno dari sang kakak yang duduk di kelas 2 SMA. Sang kakak memiliki geng mesum di kelasnya. Mereka membeli sebuah VCD player portabel dengan jalan patungan. Kemudian VCD player itu dibawa pulang ke rumah masing-masing anggota geng secara bergiliran. Selanjutnya mereka leluasa menonton film, yang disewa dari suatu tempat penyewaan film porno ilegal, di rumah tanpa ketahuan orang tua (hal. 97).

Bagi saya pribadi, setiap usai membaca satu cerita dalam buku ini, terpatri kesan yang mendalam bahwa inilah realitas sosial yang perlu menjadi perhatian bersama-sama. Karena itulah tugas sastra; sarana menyampaikan realitas melalui medium fiksi. Ia tetap membumi dengan tema-tema keseharian. Adapun penggunaan kosakata yang banal maupun vulgar, tidak mengapa asal sesuai konteks. Dalam kerangka itulah buku ini hadir. (*)
Cilacap, 141017-161118

[Cerita Mini] Cicak dari Langit



Oleh: Gita FU

Belum pernah aku selunglai ini. Tabunganku nyaris tandas, dimakan hari-hari tanpa penghasilan. Semenjak aku keluar dari toko kain Wak Sigi dua minggu lalu, belum ada tempat lain menerima tawaran tenagaku. Tidak toko kelontong Yu Sarmi, laundry Bu Juju, atau warteg Mas Agus; semua  menolakku dengan alasan sudah cukup pegawai. Pilihan terakhir tinggal membabu di rumah orang. Dan itu sedang kupertimbangkan serius.

Omong-omong soal asap dapur, rupanya beras kami sisa dua kaleng saja. Dua kaleng ini akan kumasak separuhnya. Sisanya untuk esok. Yang penting perut anak-anak, aku bisa berpuasa. Urusan lauk, masih ada kecap manis kemasan saset, dan  mendoan di warung Lastri.

"Bu, aku lapar." Hanna mendekat, seragam TK-nya sudah berganti oblong merah dan celana pendek.

"Iya, Na. Ini sedang dimasak. Sebentar lagi matang," tunjukku ke penanak nasi listrik. "Kamu main di depan dulu, ya?" Hanna menurut.

Kulirik jam dinding, menunjuk angka  sepuluh. Dua jam lagi si kakak Fiyan pulang sekolah. Di luar mendung sudah tersibak. Lebih baik kulanjutkan menjemur cucian basah sisa kemarin.
Setengah jam berlalu. Kumatikan penanak nasi dan membuka tutupnya. Aku ingin menggelar nasi di piring untuk Hanna. Baru saja hendak berbalik, tiba-tiba seekor cicak dewasa jatuh tepat di atas nasi panas. Cicak itu segera belingsatan ke sana ke mari. Ya ampun! Sialan betul! 

"Bu, nasinya sudah matang?"

Suara Hanna menyadarkanku. Cepat-cepat kuambil sendok nasi. Lalu kuraup si cicak sial  keluar dari penanak nasi. Seharusnya kubunuh saja hewan itu, tapi urusan perut lebih utama. Anggaplah si cicak masih beruntung kali ini. Selanjutnya kubuang beberapa bagian nasi yang sempat jadi arena berlari cicak.  Akibatnya  jumlah nasi  berkurang lagi. Sudahlah masak sedikit, kini jadi makin sedikit. Namun apa boleh buat, bukan? Kemudian dengan sendok lainnya, kuambilkan Hanna sepiring nasi yang masih beruap, sekalian menutup penanak nasi. Cukup sekali saja kecolongan.

"Sini, Na. Nasi hangat plus kecap dan mendoan sudah siap!"

Putriku makan lahap.  Kuperhatikan tiap kunyahannya yang nikmat, laparku terobati. Tahu-tahu nasinya habis, Hanna mendongak. "Ibu sudah makan?"

"Oh, sudah kenyang, Na. Nah, taruh piringmu di tempat cuci piring, ya?"

"Sudah, Bu," lapor putriku. "Aku mau mengerjakan PR ya, Bu!"

"Ya, Sayang." Aku tetap duduk di dapur. Pikiran melayang pada suamiku. Sebentar lagi akhir tahun. Mas Wardi belum juga mengabari kapan akan pulang dari Kalimantan. Apakah pekerjaannya di proyek perumahan belum selesai? Tak ada yang bisa kutanyai. Padahal suami Wanti sudah kembali seminggu lalu.  Semoga tak ada kejadian luar biasa menimpanya. Semoga.

"Bu, ada tamu!" Seruan Hanna memutus lamunan. Gegas kubuka pintu depan. Oh, rupanya Darmi.

"Ada apa, Mi?"

"Aku punya kabar bagus buatmu," celoteh tetanggaku ini. "Kamu belum dapat pekerjaan, kan?" Aku menggeleng cepat.

"Bagus! Bu Bidan Ratmi sedang membutuhkan orang yang bisa dititipi anaknya selama dia dinas di rumah sakit. Berarti dari pagi sampai jam empat sore. Nanti bayarannya mingguan. Hanna boleh ikut. Terus, ya, makan siangmu ditanggung. Bagaimana? Mau, ya? Kalau mau nanti sore ikut aku ke sana."

Berondongan informasi Darmi sesaat membuatku lupa bernapas. Dia menanti jawabanku dengan ekspresi yakin. Setelah menimbang-nimbang ini memang bagaikan tumbu ketemu tutup, alias pas sekali dengan yang aku butuhkan. Aku pun mengiyakan.

"Eh, tunggu. Tukang momong sebelumnya kemana, Mi?"

"Pindah rumah. Udah, ya, aku pulang. Jangan lupa nanti sore!" Darmi segera berlalu.

"Maturnuwun, Mi!" seruku terlambat. Aku merasa lega penuh syukur. Gusti Allah memang tidak tidur. Di langit-langit seekor cicak berdecak.  Mungkin ia ikut bergembira denganku? Bisa jadi. (*)

Cilacap, 051218

(Ilustrasi: pinterest.id)







Kamis, 08 November 2018

[Resensi] Perempuan dan Masalah yang Dihadapinya



(Dimuat  di Harian Jateng Pos edisi Minggu, 4 November 2018)

Oleh : Gita FU

Judul Buku             : Sesuatu di Kota Kemustahilan
Penulis.                  : Rosi Ochiemuh
Penerbit                  : LovRinz Publishing
Cetakan.                 : Pertama, Februari 2018
Halaman                 : 208 hlm, 14x20 cms
ISBN.                       : 978-602-5684-46-3


Cerita yang ditulis oleh penulis perempuan, konon selalu melibatkan emosi dan perasaan yang dalam. Pendapat itu bisa dibenarkan manakala pembaca membuka lembaran-lembaran kisah dalam buku kumpulan cerpen ini. Dari dua puluh satu cerita ada benang merah yang bisa ditarik, yakni sudut pandang perempuan saat menghadapi permasalahan.

Cerita  getir disajikan dalam judul Firasat Hujan. Seorang Paman yang kesehariannya telah lelah oleh beban pekerjaan sebagai kurir di perusahaan penyuplai spareparts, berusaha menyisihkan secuil perhatian untuk keponakan perempuannya. Sang keponakan beranjak remaja, mulai tertarik pada lawan jenis. Sayang, orang tuanya sendiri kurang mengamati perubahan perilaku tersebut. Hingga ketika suatu peristiwa fatal menimpa si gadis, sang Paman yang sebelumnya telah berfirasat jelek, hanya mampu tergugu akibat keterlambatannya memberi peringatan pada orang tua si gadis (hal. 24). Kesan getir itu saya tangkap dari latar cerita ini: kota industri yang ruwet. Bagaimana kehidupan menuntut pergerakan serba cepat dan terburu-buru, agar roda ekonomi terus berputar. Hal itu menjadikan terciptanya kesenjangan bahkan di dalam satu keluarga. Suatu masalah yang semakin marak terjadi kini.

Masih dengan warna kelam dan getir, penulis mengangkat soalan ketimpangan peran dalam rumah tangga melalui cerita 'Hujan Batu di Kepala'.  Vina, seorang pegawai toko kain di Palembang, ia menjadi tulang punggung utama rumah tangga. Suaminya tak pernah menjalankan peran selaku pencari nafkah dan pengayom keluarga, bukan karena cacat fisik melainkan akibat cacat moral. Si suami terus menerus merongrong Vina untuk selalu sedia bekerja demi perekonomian mereka bahkan disaat kondisi kehamilan anak keduanya makin membesar. "Lelakimu bahkan tidak tahu bagaimana cara menafkahi lahir batin. Semua seakan timpang. Belum lagi ibunya itu, hanya membicarakan aib rumah tangga anaknya ketimbang memperbaiki. "Dia bilang, kamu adalah menantu tidak sempurna. Hanya bisa bekerja cari uang tanpa bisa menjadi istri dan ibu yang benar. Omongan yang tidak logis dan tidak berhati. Harusnya anak laki-lakinya mencari uang sejak menikahimu. Bukan menjadikanmu tulang punggung rumah tangga."  (Hal. 49). Ending yang tragis sekaligus membebaskan menanti tokoh Vina di akhir narasi cerpen ini.

Apa yang menimpa tokoh Vina di atas jamak ditemukan pada masyarakat kita. Menyisakan rasa penasaran di benak saya, apakah saat mengawali rumah tangga, sepasang laki-laki dan perempuan tersebut tidak menyamakan visi dan misi? Lalu apa sebenarnya yang terjadi pada pola pikir kaum lelaki, yang dengan seenaknya memperlakukan pasangan hidupnya bak sapi perah? Penulis buku ini memang tidak menyajikan jawaban pertanyaan saya, karena ia semata menyodorkan realitas dibalut fiksi.

Beranjak pada tokoh Mursalina dalam 'Oh, Mursalina' (hal. 95), seorang karyawati di perusahaan penyuplai spareparts. Setiap hari ia berjibaku dengan jalanan yang macet pada jam berangkat-pulang kerja, omelan dari atasan yang tak pandang bulu, hingga pemotongan gaji semena-mena. Mursalina terjebak dalam lingkaran setan, karena meskipun ia tak betah di tempat kerja tapi ia tak bisa keluar begitu saja. Sebab penghasilan suaminya belum mencukupi keperluan rumah tangga mereka. Mursalina mengangankan perlakuan manusiawi serta pemenuhan hak   pekerja perempuan dari perusahaannya.

"Kemacetan masih belum terurai. Dia memandangi wajah orang-orang yang kusut. Tak bisa turun dan tak berdaya di dalam. Tangisan klakson selalu melengking di telinga. Mursalina merasa tubuhnya lungkrah, kakinya pegal, teringat suami yang menunggu bersama buah hati. Mursalina kembali memejamkan mata. Andai saja takdir bisa kutulis sendiri seperti lamunanku tadi dalam mimpi sebentar, gumamnya." (Hal. 102).

Suara hati Mursalina di atas  ibarat suara lirih yang terus mendengung, pelan tetapi nyata adanya. Pusaran problematika sosial di sekitar kita yang kerap kali belum didapatkan solusinya. Melalui sastra si penulis berusaha mengungkapkan keprihatinannya pada pembaca. Pesan yang saya tangkap adalah  agar kita jangan berhenti peduli pada sekeliling. Karena kepedulian pada sesama dapat meringankan beban hati. Tentu saja buku ini tak luput dari kekurangan.  Hal klasik seperti masalah editorial dan EBI adalah minus yang saya temukan. Namun keduapuluh satu cerita di dalamnya tetap layak diapresiasi khalayak pembaca umum. (*)

Cilacap, 150818


[Resensi] Mendengar Suara Lirih Perempuan


(Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 2 September 2018)

 Oleh: Gita FU


Judul       : Sesuatu di Kota Kemustahilan
Penulis.             : Rosi Ochiemuh
Penerbit            : LovRinz Publishing
Cetakan.            : Pertama, Februari 2018
Halaman           : 208 hlm, 14x20 cm


"Lelakimu bahkan tidak tahu bagaimana cara menafkahi lahir batin. Semua seakan timpang. Belum lagi ibunya itu, hanya membicarakan aib rumah tangga anaknya ketimbang memperbaiki. Dia bilang, kamu adalah menantu tidak sempurna. Hanya bisa bekerja cari uang tanpa bisa menjadi istri dan ibu yang benar. Omongan yang tidak logis dan tidak berhati. Harusnya anak laki-lakinya mencari uang sejak menikahimu. Bukan menjadikanmu tulang punggung rumah tangga." (Hujan Batu di Kepala, hal. 49).

Kumpulan cerita dalam buku ini sebagian besar mengangkat masalah domestik rumah tangga, di mana perempuan menjadi tokoh utamanya. Sebagaimana banyak terjadi di zaman sekarang, perempuan pun ikut turun tangan mencari penghasilan baik sukarela ataupun terpaksa, agar perekonomian rumah tangga dapat berjalan. Selain menyandang peran pokok sebagai istri dan ibu. Dalam menjalankan peran ganda semacam inilah terjadi banyak gesekan baik di dalam rumah maupun dengan lingkungan sekitarnya.

Cerpen 'Hujan Batu di Kepala'  (hal. 36) mengangkat persoalan Vina, seorang pegawai toko kain di Palembang. Ia menjadi tulang punggung utama rumah tangga, akibat kemalasan sang suami. Saat tengah hamil tua anak kedua, ia didera sakit keras yang mengharuskannya beristirahat total. Sayang, ia tak mungkin berhenti dari pekerjaannya. Sementara sang suami malah semakin menjadi-jadi kelakuan buruknya: menghamburkan uang istri guna berjudi dan mabuk-mabukan. Puncaknya Vina mengalami sakit kepala hebat bagai hujan batu di dalam kepalanya.

Beranjak pada tokoh Mursalina dalam 'Oh, Mursalina' (hal. 95), seorang karyawati di perusahaan penyuplai spareparts. Setiap hari ia berjibaku dengan jalanan yang macet pada jam berangkat-pulang kerja, omelan dari atasan yang tak pandang bulu, hingga pemotongan gaji semena-mena. Mursalina terjebak dalam lingkaran setan, karena meskipun ia tak betah di tempat kerja tapi ia tak bisa keluar begitu saja. Sebab penghasilan suaminya belum mencukupi keperluan rumah tangga mereka. Pembaca diajak berempati pada Mursalina, ketika ia mengangankan perlakuan manusiawi serta pemenuhan hak   pekerja perempuan dari perusahaannya.

Melalui sastra seorang penulis memiliki kemampuan menggugah kepedulian pembaca, pada realita di sekitar yang bisa jadi luput dari perhatian. Seperti suara lirih yang terus mendengung, pelan tetapi nyata adanya. Buku ini tak luput dari kekurangan yaitu masalah editorial dan EBI. Namun keduapuluh satu cerita di dalamnya tetap layak diapresiasi khalayak pembaca umum. (*)

Cilacap, 080818

Jumat, 31 Agustus 2018

[Cerma] Biang Kerok



Terbit di Harian Rakyat Sumbar edisi Sabtu-Minggu, 25-26 Agustus 2018

Oleh: Gita FU



Hana menghempaskan badan ke bangku. Dadanya naik turun tanda menahan emosi. Kelakuannya memancing perhatian Lisa, kawan sebangku Hana.

"Eh, kamu kenapa, Na?"

"Cowok nyebelin itu lagi!" geram Hana.

"Ngapain lagi si Rio?" kejar Lina penasaran.

Hana menunjukkan kedua telapak tangannya yang kotor. "Bayangin, Lin! Tadi aku keluar dari perpus dan sedang jalan ke sini, ada si biang kerok itu lagi ngobrol sama temannya. Sengaja kucepetin jalanku, eh, tiba-tiba dia bilang, 'Awas, Na!' lalu tahu-tahu aku jatuh kepleset kulit pisangnya dia!"

Lina menutup mulutnya, "Ya ampun! Eh, tapi darimana kamu tahu kulit pisang itu punya Rio?"

"Ya dari ketawa jahatnya, lah!" seru Hana berapi-api. "Mau kutonjok dia langsung lari."

Lina menghela napas prihatin. "Sshh, sudah... Mendingan kamu cuci tanganmu, bentar lagi jam istirahat habis. Yuk, kuantar!"

Masih dengan perasaan kesal, Hana mau juga menuruti saran Lina. Tak lama kemudian jam pelajaran terakhir dimulai.

**

Awalnya Hana mengira kehidupan baru keluarganya di kota Purwokerto akan baik-baik saja. Demi mengikuti pekerjaan Papa sebagai kepala cabang sebuah dealer motor, dia rela meninggalkan Bekasi, kota kelahirannya. Saat dia memasuki gedung   SMU Panglima pun rasa optimis masih melingkupinya. Teman-teman barunya di XI-A juga menyambut Hana dengan baik.
Sampai  ketika dia tengah duduk menikmati jajan di depan kelas bersama Lina, muncullah cowok berambut ikal itu bersama dua temannya.

"Wah, anak baru, ya?" sapanya. Hana mendongak lalu mengangguk.

"Iya, dia pindahan dari Bekasi. Kamu kemana aja, kok, baru tahu?" sahut Lina. Cowok itu cengar-cengir, kemudian menyodorkan tangan.

"Kenalin, aku Rio, cowok paling keren dari XI-B," ucapnya.

"Hana." Saat menerima jabatan tangan cowok itu, Hana merasakan sesuatu yang lengket di telapak tangannya sendiri. Cepat-cepat dia menarik tangan dan matanya melotot mendapati segumpal permen karet di situ.

"Ups! Maaf, anak baru. Sekalian tolong buangin sampah, ya?" cetus Rio dengan roman jahil. Dia  kemudian berlalu bersama kelompoknya.

"Riooo!" teriak Lina. Di sebelahnya, wajah ayu Hana terlihat pias menahan marah.

**

Itulah awal mula kejahilan yang dilancarkan Rio. Sejak itu setiap ada kesempatan berpapasan di luar kelas, ada saja cara Rio mengusili Hana. Mulai dari panggilan 'Hansip', menabrak dengan sengaja, hingga yang terjadi kemarin: membuat Hana terpeleset. Hana sungguh tak mengerti apa mau cowok itu. Kata Lina, sepengetahuannya Rio bukan anak jahil.

"Atau jangan-jangan sebenarnya dia naksir kamu, Na?" duga Lina  yakin.

Tentu saja Hana menolak mentah-mentah pikiran itu. Enak saja, gerutunya. Pokoknya Hana merasa sudah waktunya dia melakukan sesuatu. Agar si biang kerok itu berhenti mengganggunya. Apalagi sekarang genap sebulan dia bersekolah di sana. Masalahnya, Hana belum punya ide mengatasi cowok jahil itu.

Tengah asyik melamun, Hana tak mendengar kedatangan Mama di kamarnya. "Hana... Mama panggil dari tadi, lho?"

"Eh, maaf, Ma," sahut Hana kaget. "Ada apa?"

"Mumpung hari Minggu, temani Mama ke pasar, yuk? Kita belanja mingguan. Kamu belum pernah lihat Pasar Wage, kan?" tawar Mama, dijawab anggukan Hana.

Setelah bertukar baju, Hana dan mamanya bermotor menuju pasar.
Pasar Wage adalah pasar tradisional terbesar di Purwokerto. Hari-hari biasa saja kondisinya selalu ramai, apalagi di hari Minggu seperti sekarang. Beberapa kali Hana terpaksa bersenggolan dengan pengunjung lain, padahal jarak antar gang sudah lumayan lebar.

"Ma, beli jajan juga, ya?"

"Boleh. Itu ada penjual pukis, kita ke sana saja, yuk!"

Mereka berjalan ke arah timur. Terlihat sejumlah pembeli mengelilingi gerobak pukis. Lelaki muda bertopi  biru tampak sibuk menuang adonan ke dalam cetakan,  membungkus pukis-pukis matang, lalu menyerahkan ke si pemesan. Mata Hana membulat saat dia mengenali lelaki itu.

"Itu 'kan si biang kerok!" desisnya.

Mama melengak kaget, "Siapa yang biang kerok?"

"Eh, anu. Maksud Hana, itu teman sekolah Hana. Udah, ah, Ma. Batal aja belinya," ralat Hana. Dia  tak sudi bertemu Rio. Cukup sudah kejahilan cowok itu dia rasakan di sekolah.

Mama tentu saja bingung.
"Lho, kenapa batal? Kalau itu teman kamu justru bagus, kan? Kita ikut melarisi dagangannya. Lagipula Mama senang sama anak muda yang kreatif usaha."

Belum sempat Hana menyanggah, Rio telah melihat kehadirannya dan spontan menyapa. "Halo Hana! Kejutan manis jumpa kamu di Pasar Wage! Ayo sini, apa kamu mau beli pukis juga?"

Hana langsung masam. Namun  Mama malah mendekati Rio. "Kamu teman sekolahnya, ya? Duh, salut Tante. Masih remaja sudah mau belajar cari uang."

Rio tertawa sopan. Kemudian di sela melayani pembeli, dia menjelaskan pada Mama bahwa ini adalah kali pertama dia berjualan sendiri. Karena sebelumnya dia hanya membantu kakaknya saja. Kini setelah menguasai cara membuat pukis, dia bertekad rutin berjualan di saat hari libur.

"Belajar wirausaha kecil-kecilan, Tante," pungkas Rio. Mama mengacungkan dua jempol padanya.

Diam-diam Hana menyimak. Diperhatikannya  Rio yang gesit, cekatan, dan ramah. Hilang sudah kesan jahil yang selama ini dia ingat. Rupanya Rio menangkap pandangan mata Hana.

"Tante, maafkan saya, ya. Di sekolah saya sering mengusili Hana. Habis penasaran, ada anak baru cantik, tapi kok, pendiam?" Celetukan Rio sontak memerahkan wajah Hana.

Mama malah tertawa, "Ya ampun! Itu tandanya tak kenal maka tak sayang! Kamu minta maaf sendiri, Nak Rio."

Sembari menyerahkan pukis pesanan Mama, Rio berucap lagi, "Hana maafkan aku, ya. Aku janji nggak jahil lagi sama kamu."

Hana tak menjawab, namun seulas senyum mekar di wajahnya. Mungkin si biang kerok ini pantas diberi kesempatan kedua. (*)

Cilacap, 180718

Minggu, 22 Juli 2018

[Cernak] Rahasia Riku


(Terbit di Harian SoloPos edisi Minggu, 15 Juli 2018)

Oleh: Gita FU


  Kelas bunga Violet  akan menampilkan drama berjudul 'Kehidupan di Lembah Bunga'. Drama itu dalam rangka meramaikan  pentas seni Sekolah Peri Floralia.  Bu Gora sebagai wali kelas, membagi-bagi peran untuk murid sekelas. Riku, Elkei, Rossa, dan Karra menjadi para gadis penjual bunga. Sementara  yang lain  berperan  jadi petani, pejabat desa, pembeli, dan penduduk biasa.

"Kalian harus berlatih menari dan berdialog sesuai naskah ini," perintah Bu Gora sambil melambaikan lembaran naskah. Murid-muridnya mengangguk antusias.

"Bu Gora, bagaimana dengan kostum?" Elkei si peri bersayap hijau bertanya mewakili teman-temannya.

"Oh, untuk penjual bunga, pakai tunik  berwarna cerah dan  stoking hitam," jawab Bu Gora. "Petani pakai tunik berwarna cokelat dan stoking kuning. Untuk pembeli dan penduduk biasa, pakai tunik bermotif dan stoking merah. Khusus pejabat mengenakan tunik dan stoking warna putih. Mengerti semua?"

"Mengerti, Bu!"

"Sip! Aku punya stoking hitam!" seru Karra si peri  ungu.

"Aku juga!" timpal Rossa dan Elkei.

"Kenapa harus stoking hitam, sih?" keluh Riku si sayap merah.

"Kalau kamu tidak punya, boleh pinjam punyaku," balas Karra lembut.

Riku menggeleng kuat-kuat, "Diberi gratis pun aku tak mau!"

Tiga temannya heran, tapi mereka berusaha membujuk Riku. Sayangnya Riku malah semakin marah. "Pokoknya aku nggak mau pakai stoking hitam!"

Bu Gora mendengar keributan di kelompok itu, begitu pun murid-murid lainnya. "Ada masalah, anak-anak?" tanya Bu Gora.

"Riku tidak mau pakai stoking warna hitam, Bu!" lapor Rossa si peri  kuning.

Bu Gora menatap si peri merah, "Benar begitu, Nak?"

"I-iya, Bu," sahut Riku pelan.

"Sayangnya sudah tidak ada waktu lagi untuk mengubah ketentuan. Pentas seninya akhir bulan ini," sesal guru mereka. "Atau begini saja. Coba Riku diskusi dengan teman-teman di kelompok lain. Mana tahu ada yang mau  bertukar peran denganmu.  Ibu pikir itu jalan keluar paling baik."

Riku menyetujui saran Bu Gora. Namun dia terpaksa kecewa, ternyata tak ada yang ingin bertukar peran dengannya. Mengetahui itu, Rossa, Elkei, dan Karra berdiskusi diam-diam.

**

Sore hari  Bu Raya, ibunya Riku, asyik berkebun di halaman rumah. Terkadang Riku pun menemani.  Namun ketika Rossa, Elkei, dan Karra datang berkunjung mereka hanya melihat Bu Raya.

"Sore Bu Raya, Riku ada?" sapa tiga peri itu.

"Sore juga. Aduh, dari tadi siang anak itu mengurung diri di kamar. Entah kenapa. Apa perlu Ibu panggilkan?"

Tiga peri saling bertukar pandangan. Lewat isyarat mata, Elkei ditunjuk mewakili  bicara. "Oh, nanti saja, Bu. Sebenarnya kami ingin menanyakan sesuatu pada Ibu."

"Boleh saja. Mari sambil duduk di pondok," ajak Bu Raya ramah. Mereka menuju gazebo di dekat petak bunga anyelir. Setelah itu Elkei menceritakan tugas latihan drama yang kelas mereka dapatkan. Termasuk soal kostum yang kelak mereka pakai.

"Begini, anak-anak. Riku itu trauma sama stoking warna hitam," jawab Bu Raya.

"Dulu saat Riku tiga tahun, dia pernah dijahili dua kakak sepupunya. Riku dikunci di  lemari baju yang kebetulan di dalamnya tergantung  sebuah stoking hitam. Lalu dua anak nakal itu  bilang stokingnya  hidup. Tentu saja Riku ketakutan."

"Begitulah peristiwanya," tutup Bu Raya. Tiga peri merasa iba pada Riku.

"Berarti kita harus membantu Riku agar keluar dari rasa takutnya," cetus Karra. "Ayo kita pikir bersama, teman-teman!"

Bu Raya senang melihat kesetiakawanan tiga peri tersebut. Dia lalu masuk ke rumah hendak menyuguhkan minuman. Saat kembali lagi dengan tiga gelas es sirsak, para peri itu sudah bersiap mau pulang.

"Ayo diminum dahulu esnya," cegah Bu Raya.

"Terima kasih, Bu. Maaf kami harus segera pulang untuk menjalankan rencana kami," ucap Rossa sopan.

**

Keesokan pagi di sekolah. Elkei, Rossa, dan Karra mengajak Riku ke taman sekolah. Mereka tersenyum-senyum penuh arti.

"Ini bingkisan spesial dari kami untukmu, Ri. Bukalah," ucap Karra sambil menyodorkan sebuah kotak kado. Riku menerimanya dengan bingung.

"Dan jangan marah, ya? Sebab kami sudah diberitahu ibumu, rahasia di waktu kamu kecil," timpal Elkei.

Riku terbelalak  melihat isi kotak. Ternyata itu adalah ... stoking  hitam yang indah. Di seluruh bagiannya dililiti sulur-sulur portulaca¹ yang dikeringkan, lengkap dengan bunga  merahnya. Semua dijahit  amat rapi.

"Cantik, ya? Sekarang kamu bisa pakai stoking hitam tanpa takut lagi," senyum Rossa.

"Ini bagus sekali! Terima kasih kawan-kawan!" seru Riku terharu. "Dengan ini aku akan belajar melawan rasa takutku."

Keempat peri itu kembali tertawa riang. Rasa kesetiakawanan yang kuat mampu memecahkan masalah, yang mereka hadapi. (*)

Cilacap, 060718

Keterangan:
¹ Portulaca: nama latin tanaman krokot

Selasa, 17 Juli 2018

[Cerma] Jangan Jadi Pelari, Erina


(Terbit di Harian Rakyat Sumbar edisi Minggu, 15 Juli 2018)

Oleh: Gita FU

Cewek SMA berambut ikal sebahu masuk ke kios penyewaan bukuku. Aneh, seharusnya pada jam delapan seperti ini cewek itu sedang di kelas, bukan? Kupikir dia pasti tengah bolos.

"Mas, kalau mau sewa di sini syaratnya apa?" tanyanya tanpa sungkan.

"Jadi anggota dulu, Dik," jawabku pendek. Cewek itu manggut-manggut lalu sibuk menekuri judul-judul buku.

"Mas, aku numpang baca di sini, ya?" Tak lama  dia kembali bersuara. Di tangannya sudah tergenggam Breaking Dawn-nya Stephanie Meyer.

"Wah, maaf, Dik. Aturan mainnya nggak begitu. Kalau ingin baca  kamu harus sewa. Dan untuk menyewa, ya daftar dulu," cerocosku.  Aku tak ingin memberi toleransi karena  tak baik buat bisnis.

"Apa syarat pendaftarannya?"

"Cukup isi formulir ini, kasih  fotokopi kartu identitas, bayar uang pendaftaran. Nanti kamu dapat kartu anggota Kios Baca Doraemon, dan  bisa sewa buku  dengan jangka waktu empat hari."

"Duh, ribet!" keluhnya.

"Kalau mau baca di tempat dan gratis, ya  ke perpustakaan sekolah atau daerah," balasku pedas.

Dia terdiam. Setelah itu aku  tidak lagi mempedulikannya. Dan sekira jam sembilan para pelangganku berdatangan. Kebanyakan adalah mahasiswa Unsoed, karena lokasi lapakku memang berdekatan dengan  kampus. Kesibukanku  berlanjut hingga dua jam. Begitu sepi, kuregangkan tubuh. Biasanya lepas tengah hari nanti kios ramai kembali. Sekarang waktunya aku membeli nasi bungkus untuk makan siang.

"Lho! Kamu masih di situ?" Kaget, kudapati cewek SMA tadi sedang berjongkok di pojok sebelah  luar. Apalagi dia tengah asyik membaca novel Twilight. Cewek itu buru-buru berdiri.

"Maaf, Mas! Habis aku penasaran sama endingnya Bella dan Edward."

Aku gemas sekali hingga hilang akal, harus kuapakan kelancangannya? Tiba-tiba dia mengeluarkan dompet, lalu menyodorkan selembar uang lima ribu.

"Ini, Mas. Mohon diterima. Anggap saja aku sudah menyewa novel ini. Tapi tolong biarkan aku selesaikan bacanya di sini, ya. Plis!" Kali ini dia menangkupkan tangan dan memelas.
Setelah pikir-pikir kuterima uangnya, karena  tak mau jadi tontonan orang lewat.

"Oke, aku terima dan catat ini sebagai sewa tak resmi. Siapa namamu?"

"Terima kasih, Mas! Aku Erina," balasnya semringah.

Selanjutnya kubiarkan Erina tetap membaca di kios, bahkan kuberi dia sebuah bangku plastik. Dia terus membaca hingga tamat, bersamaan dengan waktu tutup kios jam empat sore.

Besok paginya, Erina kembali datang. Dia tak mempan dengan pengusiranku. Mau tak mau dari obrolan yang tercipta, sedikit demi sedikit muncul keakraban di antara kami. Aku jadi tahu bahwa dia duduk di kelas XII sebuah SMK, yang letaknya tidak berapa jauh dari kawasan Unsoed. Erina bercita-cita menjadi akuntan seperti jurusan yang diambilnya.

"Tapi kenapa kamu membolos terus, Erin? Bagaimana kalau kamu kena skorsing dari sekolah? Dan orangtuamu pasti sedih kalau tahu kelakuanmu," tegurku di hari ketiga dia datang.

"Ah, Mas Pandu nggak tahu masalahku, sih," sahutnya sengit. "Orang dewasa cuma bisa ngomong tapi nggak bisa ngertiin!"

"Lho, kamu nggak cerita apa-apa, kok!" Setelah kukorek-korek, mau juga cewek itu bercerita. Ternyata dia hanya tinggal dengan ibunya, yang bekerja sebagai penjahit.  Bapaknya sudah meninggal sejak Erina masih SMP. Karena itulah ibunya bersikap amat keras. Bahkan cenderung memaksakan kemauan. Termasuk menginginkan Erina langsung menikah setamat sekolah.

"Lho, kok begitu?" heranku.

"Iya, Mas. Rupanya Ibu punya hutang pada seseorang. Dan sebagai balasan setimpal Ibu berniat menjodohkanku dengan orang yang seumuran bapakku itu," cewek itu bergidik ngeri.
"Makanya aku bingung. Cerita sama teman, eh malah disuruh nurut saja."

Aku termenung sesaat. "Mas Pandu pikir langkahmu ini tetap salah. Jangan jadi pelari, Erina, tapi berhenti dan hadapi."

"Tapi aku harus bagaimana, Mas?"

"Begini, mintalah bantuan mediasi dari guru BK dan kerabat dekatmu. Kamu masih punya kakek-nenek atau paman-bibi bukan? Orang dewasa seperti mereka tentu bisa bicara pada ibumu. Asal kamu bersikap jujur, dan terbuka."

Erina  tercenung lama. Tak lama dia pamit meskipun jam dinding baru menunjuk pukul satu. Saat kutanya, katanya dia mau pergi ke suatu tempat. Aku hanya bisa menghela napas
menatap punggungnya yang menjauh.

Esoknya,  hingga tengah hari pun Erina tak muncul di kios. Aku setengah bersyukur karena ada kemungkinan nasihatku kemarin mengena. Namun sisi hatiku yang lain pun merasa sedikit kehilangan. Mungkin karena aku mulai terbiasa mengobrol dengan Erina? Entahlah.

"Mas, dari tadi lihat jam sama nengok-nengok ke pintu. Lagi nunggu siapa?" tegur seorang pelanggan. Di tangan mahasiswa itu sudah tergenggam dua buah komik yang hendak diserahkan padaku.

"Eh, nggak nunggu siapa-siapa. Maaf, ya. Ini mau dipinjam?" Pertanyaanku dibalas anggukan. Aku berusaha kembali berkonsentrasi pada pekerjaanku.  Sementara pikiran tentang Erina harus disingkirkan dahulu.

**

Dua minggu kemudian barulah aku mendapatkan jawabannya.

 Seorang cewek berkacamata mendatangiku di kios sore hari. Tepat menjelang waktu tutup kios. Sebelum aku bertanya, dia berkata bahwa dia adalah teman sekolah Erina.

"Mas Pandu, saya dititipi surat. Sama permintaan maaf karena Erina nggak bisa datang langsung ke sini," cerocosnya menyodorkan sepucuk amplop.


Dalam hati aku sempat merasa geli sendiri. Surat di zaman ini? Oh iya, memang antara aku dan Erina belum pernah saling bertukar nomor ponsel. Di bagian muka amplop tertera tulisan 'Untuk Mas Pandu'.

"Sama satu lagi, Mas. Kata Erina terima kasih atas bantuan Mas Pandu," tambah cewek itu lagi. "Saya permisi, ya."

Aku menggumamkan ucapan terima kasih kembali yang tak ditanggapi teman Erina itu. Keinginanku menutup kios segera kutunda. Aku lebih penasaran pada isi suratnya.  Usai membaca tulisan tangan Erina hingga akhir, hatiku diliputi kelegaan. Erina telah mengikuti saranku, dan dia berhasil. Masalahnya selesai. Keluarga dari pihak  Erina bersedia membantu ibunya melunasi hutang. Sedangkan pihak sekolah yang diwakili guru BK, telah berbicara pada ibunya  tentang keinginan Erina meraih cita-cita.
Aku tercenung. Berapa banyak remaja di luar Erina yang juga memendam masalah namun memutuskan lari? Sungguh kasihan mereka.(*)

Cilacap, 0503-110718