Cari Blog Ini

Jumat, 23 Februari 2018

[Cerpen] Kisah Uang Kertas


(Dimuat di Tabloid Genie, Edisi 16/Th XIII 5-11 Januari 2017)




Pukul 19. 45 WIB.

Gen menghela napas panjang. Ia duduk di sebuah gazebo restoran Sunda. Di atas mejanya tergeletak dua buah gelas dengan air mineral. Pesanan sementara saja selagi menunggu. Masih ada sisa lima belas menit lagi dari waktu pertemuan. Ia memang sengaja datang lebih awal. Gen butuh memantapkan hatinya sendiri.
Ia teringat percakapan dengan saudara kembarnya, sepekan lalu.

"Jo, ini kesempatannya. Takkan lagi ada yang setepat sekarang," Gen membujuk kesekian kali. Sudah ia terangkan, bahwa ayah meminta kantor manajemen EO miliknya, mengatur acara gathering Komunitas Cinta Damai--sebuah ormas pendukung partai politik. Bukankah itu suatu pertanda baik?

"Kau masih saja naif, Gen!" cela adiknya, "bisa jadi karena dia tahu kau pasti takkan memasang tarif, malah bisa jadi kau gratisi dia!"

"Demi Tuhan Jo, berhentilah bersikap sinis! Dia masih ayah kita. Apapun hubungannya dengan ibu kini, bagi kita tak ada bekas ayah!" sentak Gen, adiknya terdiam.

"Sorry Gen, mungkin kau benar. Namun bagiku dia tetaplah seorang hipokrit menjijikkan, mudah-mudahan kau ingat dan waspada," pelan Joya bersuara.

Oh, tentu saja Gen ingat. Kala ia dan Joya masih bocah berseragam putih-merah,  ayah memutuskan menceraikan ibu. Demi menikahi putri dari Mr. Tan, donatur bagi karir politiknya.

Akibat perceraian itu, ibu menanggung luka hati yang mendalam. Untunglah ada dukungan usaha katering milik eyang putri, hingga secara finansial mereka tak limbung.
Tahun-tahun yang melesat, memperlihatkan sosok ayah ambisius, sukses menduduki jabatan prestisius di sebuah parpol. Lelaki itu demikian glamor dalam dunianya. Pemberitaannya selalu berbau sensasi bak selebritas. Ya, sosok pria yang berhasil bersenang-senang, di atas luka yang ditorehkan pada anak dan mantan istrinya.

"Dek...," panggilnya.

"Begini saja Gen. Kau buktikan padaku dia sudah berubah, mungkin aku mau pulang. Sudah ya, aku ada kerjaan lain." Begitulah cara Joya menyudahi sambungan telepon.

Gen membuang pandang pada kesibukan di restoran itu. Tertampak sebuah keluarga kecil, duduk mengelilingi menu nasi timbel dan ayam panggang, di meja lesehan. Tawa dua bocah lelaki kala berebut potongan daging, ditengahi ibu mereka, sementara si ayah  sibuk merekam dengan ponselnya. Betapa hangatnya. Dada Gen sesak.

Di gazebo lain, sepasang muda-mudi saling menancapkan kemesraan sambil mengaduk cairan kuning dan merah dalam gelas masing-masing. Mungkin mereka belum tahu kepahitan hubungan percintaan, batin Gen sedikit miris.

Waktu terus berdetak di pergelangan tangan kirinya. Kali ini dikeluarkannya sehelai uang kertas dua ribuan, dari dompet kulit cokelat. Lembaran yang lusuh dan bertambal isolasi bening pada salah satu sisi. Dengan penuh romansa, pemuda berambut ikal tersebut mengenang sesuatu. Kalau bukan karena benda ini, mungkin ia takkan mengubah sudut pandang tentang ayahnya.

Pada satu hari setelah wisuda sarjananya, eyang putri memanggil Gen ke ruang baca. Di tangan wanita sepuh itu tergenggam sehelai kertas.
Awalnya Gen kira demikian, namun setelah diamati itu bukan kertas kumal biasa, melainkan selembar uang dua ribu yang sobek. Gen mengernyit heran pada eyangnya.

"Tolong ambilkan isolasi bening dan gunting, Gen," pinta eyang. Tak perlu waktu lama bagi cucunya memenuhi permintaan tersebut. Kemudian eyang meratakan kertas kumal itu di atas meja, lalu menyejajarkan bagian yang sobek. Gen masih diam memerhatikan. Eyang menyatukan dua bagian itu dengan isolasi tadi.

"Nah, lihat! Jadi utuh lagi, kan?" Eyang berseru penuh kemenangan. Pemuda di hadapannya garuk-garuk kepala merasa bingung.

"Untuk apa uang lusuh seperti itu, Yangti? Kalau mau, Gen punya yang masih mulus." Eyangnya mengutas senyum. Sepasang mata tua di balik kacamata baca itu berkilat menyiratkan kecerdasan.

"Sini, duduk sebelah Yangti. Dengar ya, Nak. Kamu sudah dewasa dan akan menghadapi hidupmu sendiri. Ingatlah, di balik kerusakan dan kesedihan, tetap ada kesempatan untuk mempebaiki."

"Maksud Yangti?"

"Seperti uang kertas ini. Sekilas menyedihkan, jelek, sobek, dibuang pun tak apa. Tapi sebuah perekat bisa menolongnya. Dia jadi bisa berguna lagi. Simpan uang ini, Nak. Supaya kamu ingat selalu tentang kesempatan kedua." Eyang membelai kepala dan wajah Gen yang masih terpana.

"Yangti percaya, hatimu penuh welas. Nanti kamu akan paham."

Gen menekuri lembaran tersebut. Benar, kesempatan kedua untuk potret keluarganya. Sebentar lagi lelaki itu akan tiba. Gen mempersiapkan diri.

**

Tepat pukul 20.00 WIB.

Wajah ayah tak banyak berubah masih seperti Sean Connery, hanya rambut pendeknya mulai diselingi warna perak, sepasang netra cokelatnya menatap Gen penuh kerinduan.
Setelah memberi pelukan hangat, sang ayah seperti kehabisan kata-kata. Sementara pemuda itu sengaja menunggu. Tuan Danu berdehem, sekadar melonggarkan tenggorokan. Suaranya terdengar parau.

"Well, Ayah senang kita bisa bersua lagi, Nak." Gen mengangguk sopan.

"Kau tahu? Rasanya baru kemarin Ayah lihat kau, dan Joya bermain bola di halaman rumah kita dulu. Eh, sekarang sudah jadi bujang gagah, dan tampan." Ia terkekeh sendiri.

"Apa kabar adikmu?" Gen mengangkat alis. Apa ayahnya benar-benar peduli, atau basa-basi?

"Joya  sedang giat bekerja di Salmiya," jawabnya, menyebutkan nama salah satu perusahaan minyak multinasional.

"Kenapa kau tak banyak bicara, Nak?"

"Mengapa Ayah memilih EO-ku?" tanya Gen tajam.

Pria paruh baya itu terperangah, buru-buru meneguk air mineral.
"Ehem! Begini, ... Ayah tahu betapa besar kesalahan-"

"Cobalah jangan omong klise, Yah. Aku sudah dewasa. Butuh penjelasan yang lebih masuk akal," potong Gen.

"Nak, yang terjadi di masa lampau memang tak mungkin kita perbaiki," ucap Tuan Danu perlahan, "Tapi masa depan masih bisa kita ubah."

"Ayah jangan beretorika, aku bukan kader partai."

Tuan Danu terdiam cukup lama. Sementara Gen pura-pura sibuk menekuri buku menu.

'Ah, seharusnya aku bisa lebih lunak, bagaimanapun aku ingin berdamai,' bisik hati anak muda ini.

"Nak, tolong beri Ayah kesempatan menjadi bagian dari hidup kalian lagi."

Gen menatap mata itu, mencari kesungguhan. Tiba-tiba pria tersebut terlihat begitu rapuh, mengibakan hati. Namun ia masih ingin diyakinkan.

"Bagaimana dengan istri Ayah? Apa dia mau kita dekat kembali?"

"Tentu saja, Nak. Dia tak mungkin mencegah hubungan darah."

"Lalu ibu kami?" Pertanyaan yang sulit dijawab...

"Kita lihat saja nanti, Gen."
Jawaban yang belum memuaskan.

Batin Gen masih bergolak. 'Apakah Ayah bisa dipercaya?' Ia raba uang kertas di saku celana. Mengingat kembali pesan eyang. Untuk beberapa jenak ia bungkam, diikuti pandangan cemas pria di hadapannya. Akhirnya sembari mengembuskan napas, Gen memutuskan ini cukup bagus sebagai permulaan. Kemudian senyumnya terbit untuk pertama kali. Tuan Danu berbinar lega.

***
Sembari berjalan menuju Alphard hitam, sang Politikus men-dial sebuah nomer.

"Bagaimana, kau dapat fotonya? Dengar, aku ingin kau tulis sebagus mungkin. 'Tuan Danu berdamai dengan putra kembarnya'. Mengerti?" 

Di restoran, Gen kembali memandangi uang lusuh tersebut.

**END**

Cilacap, Juni-Oktober 2016

(Keterangan: ini adalah versi asli cerpen sebelum diedit pihak redaksi).








































2 komentar:

  1. Bagus. Pokok men apik, gitu masih di edit, Mb ewahhh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf baru balas :')
      Hahahaha iya tuh, redaksinya punya kuasa mbak.
      Makasih yaa

      Hapus