Cari Blog Ini

Minggu, 22 Juli 2018

[Cernak] Rahasia Riku


(Terbit di Harian SoloPos edisi Minggu, 15 Juli 2018)

Oleh: Gita FU


  Kelas bunga Violet  akan menampilkan drama berjudul 'Kehidupan di Lembah Bunga'. Drama itu dalam rangka meramaikan  pentas seni Sekolah Peri Floralia.  Bu Gora sebagai wali kelas, membagi-bagi peran untuk murid sekelas. Riku, Elkei, Rossa, dan Karra menjadi para gadis penjual bunga. Sementara  yang lain  berperan  jadi petani, pejabat desa, pembeli, dan penduduk biasa.

"Kalian harus berlatih menari dan berdialog sesuai naskah ini," perintah Bu Gora sambil melambaikan lembaran naskah. Murid-muridnya mengangguk antusias.

"Bu Gora, bagaimana dengan kostum?" Elkei si peri bersayap hijau bertanya mewakili teman-temannya.

"Oh, untuk penjual bunga, pakai tunik  berwarna cerah dan  stoking hitam," jawab Bu Gora. "Petani pakai tunik berwarna cokelat dan stoking kuning. Untuk pembeli dan penduduk biasa, pakai tunik bermotif dan stoking merah. Khusus pejabat mengenakan tunik dan stoking warna putih. Mengerti semua?"

"Mengerti, Bu!"

"Sip! Aku punya stoking hitam!" seru Karra si peri  ungu.

"Aku juga!" timpal Rossa dan Elkei.

"Kenapa harus stoking hitam, sih?" keluh Riku si sayap merah.

"Kalau kamu tidak punya, boleh pinjam punyaku," balas Karra lembut.

Riku menggeleng kuat-kuat, "Diberi gratis pun aku tak mau!"

Tiga temannya heran, tapi mereka berusaha membujuk Riku. Sayangnya Riku malah semakin marah. "Pokoknya aku nggak mau pakai stoking hitam!"

Bu Gora mendengar keributan di kelompok itu, begitu pun murid-murid lainnya. "Ada masalah, anak-anak?" tanya Bu Gora.

"Riku tidak mau pakai stoking warna hitam, Bu!" lapor Rossa si peri  kuning.

Bu Gora menatap si peri merah, "Benar begitu, Nak?"

"I-iya, Bu," sahut Riku pelan.

"Sayangnya sudah tidak ada waktu lagi untuk mengubah ketentuan. Pentas seninya akhir bulan ini," sesal guru mereka. "Atau begini saja. Coba Riku diskusi dengan teman-teman di kelompok lain. Mana tahu ada yang mau  bertukar peran denganmu.  Ibu pikir itu jalan keluar paling baik."

Riku menyetujui saran Bu Gora. Namun dia terpaksa kecewa, ternyata tak ada yang ingin bertukar peran dengannya. Mengetahui itu, Rossa, Elkei, dan Karra berdiskusi diam-diam.

**

Sore hari  Bu Raya, ibunya Riku, asyik berkebun di halaman rumah. Terkadang Riku pun menemani.  Namun ketika Rossa, Elkei, dan Karra datang berkunjung mereka hanya melihat Bu Raya.

"Sore Bu Raya, Riku ada?" sapa tiga peri itu.

"Sore juga. Aduh, dari tadi siang anak itu mengurung diri di kamar. Entah kenapa. Apa perlu Ibu panggilkan?"

Tiga peri saling bertukar pandangan. Lewat isyarat mata, Elkei ditunjuk mewakili  bicara. "Oh, nanti saja, Bu. Sebenarnya kami ingin menanyakan sesuatu pada Ibu."

"Boleh saja. Mari sambil duduk di pondok," ajak Bu Raya ramah. Mereka menuju gazebo di dekat petak bunga anyelir. Setelah itu Elkei menceritakan tugas latihan drama yang kelas mereka dapatkan. Termasuk soal kostum yang kelak mereka pakai.

"Begini, anak-anak. Riku itu trauma sama stoking warna hitam," jawab Bu Raya.

"Dulu saat Riku tiga tahun, dia pernah dijahili dua kakak sepupunya. Riku dikunci di  lemari baju yang kebetulan di dalamnya tergantung  sebuah stoking hitam. Lalu dua anak nakal itu  bilang stokingnya  hidup. Tentu saja Riku ketakutan."

"Begitulah peristiwanya," tutup Bu Raya. Tiga peri merasa iba pada Riku.

"Berarti kita harus membantu Riku agar keluar dari rasa takutnya," cetus Karra. "Ayo kita pikir bersama, teman-teman!"

Bu Raya senang melihat kesetiakawanan tiga peri tersebut. Dia lalu masuk ke rumah hendak menyuguhkan minuman. Saat kembali lagi dengan tiga gelas es sirsak, para peri itu sudah bersiap mau pulang.

"Ayo diminum dahulu esnya," cegah Bu Raya.

"Terima kasih, Bu. Maaf kami harus segera pulang untuk menjalankan rencana kami," ucap Rossa sopan.

**

Keesokan pagi di sekolah. Elkei, Rossa, dan Karra mengajak Riku ke taman sekolah. Mereka tersenyum-senyum penuh arti.

"Ini bingkisan spesial dari kami untukmu, Ri. Bukalah," ucap Karra sambil menyodorkan sebuah kotak kado. Riku menerimanya dengan bingung.

"Dan jangan marah, ya? Sebab kami sudah diberitahu ibumu, rahasia di waktu kamu kecil," timpal Elkei.

Riku terbelalak  melihat isi kotak. Ternyata itu adalah ... stoking  hitam yang indah. Di seluruh bagiannya dililiti sulur-sulur portulaca¹ yang dikeringkan, lengkap dengan bunga  merahnya. Semua dijahit  amat rapi.

"Cantik, ya? Sekarang kamu bisa pakai stoking hitam tanpa takut lagi," senyum Rossa.

"Ini bagus sekali! Terima kasih kawan-kawan!" seru Riku terharu. "Dengan ini aku akan belajar melawan rasa takutku."

Keempat peri itu kembali tertawa riang. Rasa kesetiakawanan yang kuat mampu memecahkan masalah, yang mereka hadapi. (*)

Cilacap, 060718

Keterangan:
¹ Portulaca: nama latin tanaman krokot

Selasa, 17 Juli 2018

[Cerma] Jangan Jadi Pelari, Erina


(Terbit di Harian Rakyat Sumbar edisi Minggu, 15 Juli 2018)

Oleh: Gita FU

Cewek SMA berambut ikal sebahu masuk ke kios penyewaan bukuku. Aneh, seharusnya pada jam delapan seperti ini cewek itu sedang di kelas, bukan? Kupikir dia pasti tengah bolos.

"Mas, kalau mau sewa di sini syaratnya apa?" tanyanya tanpa sungkan.

"Jadi anggota dulu, Dik," jawabku pendek. Cewek itu manggut-manggut lalu sibuk menekuri judul-judul buku.

"Mas, aku numpang baca di sini, ya?" Tak lama  dia kembali bersuara. Di tangannya sudah tergenggam Breaking Dawn-nya Stephanie Meyer.

"Wah, maaf, Dik. Aturan mainnya nggak begitu. Kalau ingin baca  kamu harus sewa. Dan untuk menyewa, ya daftar dulu," cerocosku.  Aku tak ingin memberi toleransi karena  tak baik buat bisnis.

"Apa syarat pendaftarannya?"

"Cukup isi formulir ini, kasih  fotokopi kartu identitas, bayar uang pendaftaran. Nanti kamu dapat kartu anggota Kios Baca Doraemon, dan  bisa sewa buku  dengan jangka waktu empat hari."

"Duh, ribet!" keluhnya.

"Kalau mau baca di tempat dan gratis, ya  ke perpustakaan sekolah atau daerah," balasku pedas.

Dia terdiam. Setelah itu aku  tidak lagi mempedulikannya. Dan sekira jam sembilan para pelangganku berdatangan. Kebanyakan adalah mahasiswa Unsoed, karena lokasi lapakku memang berdekatan dengan  kampus. Kesibukanku  berlanjut hingga dua jam. Begitu sepi, kuregangkan tubuh. Biasanya lepas tengah hari nanti kios ramai kembali. Sekarang waktunya aku membeli nasi bungkus untuk makan siang.

"Lho! Kamu masih di situ?" Kaget, kudapati cewek SMA tadi sedang berjongkok di pojok sebelah  luar. Apalagi dia tengah asyik membaca novel Twilight. Cewek itu buru-buru berdiri.

"Maaf, Mas! Habis aku penasaran sama endingnya Bella dan Edward."

Aku gemas sekali hingga hilang akal, harus kuapakan kelancangannya? Tiba-tiba dia mengeluarkan dompet, lalu menyodorkan selembar uang lima ribu.

"Ini, Mas. Mohon diterima. Anggap saja aku sudah menyewa novel ini. Tapi tolong biarkan aku selesaikan bacanya di sini, ya. Plis!" Kali ini dia menangkupkan tangan dan memelas.
Setelah pikir-pikir kuterima uangnya, karena  tak mau jadi tontonan orang lewat.

"Oke, aku terima dan catat ini sebagai sewa tak resmi. Siapa namamu?"

"Terima kasih, Mas! Aku Erina," balasnya semringah.

Selanjutnya kubiarkan Erina tetap membaca di kios, bahkan kuberi dia sebuah bangku plastik. Dia terus membaca hingga tamat, bersamaan dengan waktu tutup kios jam empat sore.

Besok paginya, Erina kembali datang. Dia tak mempan dengan pengusiranku. Mau tak mau dari obrolan yang tercipta, sedikit demi sedikit muncul keakraban di antara kami. Aku jadi tahu bahwa dia duduk di kelas XII sebuah SMK, yang letaknya tidak berapa jauh dari kawasan Unsoed. Erina bercita-cita menjadi akuntan seperti jurusan yang diambilnya.

"Tapi kenapa kamu membolos terus, Erin? Bagaimana kalau kamu kena skorsing dari sekolah? Dan orangtuamu pasti sedih kalau tahu kelakuanmu," tegurku di hari ketiga dia datang.

"Ah, Mas Pandu nggak tahu masalahku, sih," sahutnya sengit. "Orang dewasa cuma bisa ngomong tapi nggak bisa ngertiin!"

"Lho, kamu nggak cerita apa-apa, kok!" Setelah kukorek-korek, mau juga cewek itu bercerita. Ternyata dia hanya tinggal dengan ibunya, yang bekerja sebagai penjahit.  Bapaknya sudah meninggal sejak Erina masih SMP. Karena itulah ibunya bersikap amat keras. Bahkan cenderung memaksakan kemauan. Termasuk menginginkan Erina langsung menikah setamat sekolah.

"Lho, kok begitu?" heranku.

"Iya, Mas. Rupanya Ibu punya hutang pada seseorang. Dan sebagai balasan setimpal Ibu berniat menjodohkanku dengan orang yang seumuran bapakku itu," cewek itu bergidik ngeri.
"Makanya aku bingung. Cerita sama teman, eh malah disuruh nurut saja."

Aku termenung sesaat. "Mas Pandu pikir langkahmu ini tetap salah. Jangan jadi pelari, Erina, tapi berhenti dan hadapi."

"Tapi aku harus bagaimana, Mas?"

"Begini, mintalah bantuan mediasi dari guru BK dan kerabat dekatmu. Kamu masih punya kakek-nenek atau paman-bibi bukan? Orang dewasa seperti mereka tentu bisa bicara pada ibumu. Asal kamu bersikap jujur, dan terbuka."

Erina  tercenung lama. Tak lama dia pamit meskipun jam dinding baru menunjuk pukul satu. Saat kutanya, katanya dia mau pergi ke suatu tempat. Aku hanya bisa menghela napas
menatap punggungnya yang menjauh.

Esoknya,  hingga tengah hari pun Erina tak muncul di kios. Aku setengah bersyukur karena ada kemungkinan nasihatku kemarin mengena. Namun sisi hatiku yang lain pun merasa sedikit kehilangan. Mungkin karena aku mulai terbiasa mengobrol dengan Erina? Entahlah.

"Mas, dari tadi lihat jam sama nengok-nengok ke pintu. Lagi nunggu siapa?" tegur seorang pelanggan. Di tangan mahasiswa itu sudah tergenggam dua buah komik yang hendak diserahkan padaku.

"Eh, nggak nunggu siapa-siapa. Maaf, ya. Ini mau dipinjam?" Pertanyaanku dibalas anggukan. Aku berusaha kembali berkonsentrasi pada pekerjaanku.  Sementara pikiran tentang Erina harus disingkirkan dahulu.

**

Dua minggu kemudian barulah aku mendapatkan jawabannya.

 Seorang cewek berkacamata mendatangiku di kios sore hari. Tepat menjelang waktu tutup kios. Sebelum aku bertanya, dia berkata bahwa dia adalah teman sekolah Erina.

"Mas Pandu, saya dititipi surat. Sama permintaan maaf karena Erina nggak bisa datang langsung ke sini," cerocosnya menyodorkan sepucuk amplop.


Dalam hati aku sempat merasa geli sendiri. Surat di zaman ini? Oh iya, memang antara aku dan Erina belum pernah saling bertukar nomor ponsel. Di bagian muka amplop tertera tulisan 'Untuk Mas Pandu'.

"Sama satu lagi, Mas. Kata Erina terima kasih atas bantuan Mas Pandu," tambah cewek itu lagi. "Saya permisi, ya."

Aku menggumamkan ucapan terima kasih kembali yang tak ditanggapi teman Erina itu. Keinginanku menutup kios segera kutunda. Aku lebih penasaran pada isi suratnya.  Usai membaca tulisan tangan Erina hingga akhir, hatiku diliputi kelegaan. Erina telah mengikuti saranku, dan dia berhasil. Masalahnya selesai. Keluarga dari pihak  Erina bersedia membantu ibunya melunasi hutang. Sedangkan pihak sekolah yang diwakili guru BK, telah berbicara pada ibunya  tentang keinginan Erina meraih cita-cita.
Aku tercenung. Berapa banyak remaja di luar Erina yang juga memendam masalah namun memutuskan lari? Sungguh kasihan mereka.(*)

Cilacap, 0503-110718