Cari Blog Ini

Jumat, 31 Agustus 2018

[Cerma] Biang Kerok



Terbit di Harian Rakyat Sumbar edisi Sabtu-Minggu, 25-26 Agustus 2018

Oleh: Gita FU



Hana menghempaskan badan ke bangku. Dadanya naik turun tanda menahan emosi. Kelakuannya memancing perhatian Lisa, kawan sebangku Hana.

"Eh, kamu kenapa, Na?"

"Cowok nyebelin itu lagi!" geram Hana.

"Ngapain lagi si Rio?" kejar Lina penasaran.

Hana menunjukkan kedua telapak tangannya yang kotor. "Bayangin, Lin! Tadi aku keluar dari perpus dan sedang jalan ke sini, ada si biang kerok itu lagi ngobrol sama temannya. Sengaja kucepetin jalanku, eh, tiba-tiba dia bilang, 'Awas, Na!' lalu tahu-tahu aku jatuh kepleset kulit pisangnya dia!"

Lina menutup mulutnya, "Ya ampun! Eh, tapi darimana kamu tahu kulit pisang itu punya Rio?"

"Ya dari ketawa jahatnya, lah!" seru Hana berapi-api. "Mau kutonjok dia langsung lari."

Lina menghela napas prihatin. "Sshh, sudah... Mendingan kamu cuci tanganmu, bentar lagi jam istirahat habis. Yuk, kuantar!"

Masih dengan perasaan kesal, Hana mau juga menuruti saran Lina. Tak lama kemudian jam pelajaran terakhir dimulai.

**

Awalnya Hana mengira kehidupan baru keluarganya di kota Purwokerto akan baik-baik saja. Demi mengikuti pekerjaan Papa sebagai kepala cabang sebuah dealer motor, dia rela meninggalkan Bekasi, kota kelahirannya. Saat dia memasuki gedung   SMU Panglima pun rasa optimis masih melingkupinya. Teman-teman barunya di XI-A juga menyambut Hana dengan baik.
Sampai  ketika dia tengah duduk menikmati jajan di depan kelas bersama Lina, muncullah cowok berambut ikal itu bersama dua temannya.

"Wah, anak baru, ya?" sapanya. Hana mendongak lalu mengangguk.

"Iya, dia pindahan dari Bekasi. Kamu kemana aja, kok, baru tahu?" sahut Lina. Cowok itu cengar-cengir, kemudian menyodorkan tangan.

"Kenalin, aku Rio, cowok paling keren dari XI-B," ucapnya.

"Hana." Saat menerima jabatan tangan cowok itu, Hana merasakan sesuatu yang lengket di telapak tangannya sendiri. Cepat-cepat dia menarik tangan dan matanya melotot mendapati segumpal permen karet di situ.

"Ups! Maaf, anak baru. Sekalian tolong buangin sampah, ya?" cetus Rio dengan roman jahil. Dia  kemudian berlalu bersama kelompoknya.

"Riooo!" teriak Lina. Di sebelahnya, wajah ayu Hana terlihat pias menahan marah.

**

Itulah awal mula kejahilan yang dilancarkan Rio. Sejak itu setiap ada kesempatan berpapasan di luar kelas, ada saja cara Rio mengusili Hana. Mulai dari panggilan 'Hansip', menabrak dengan sengaja, hingga yang terjadi kemarin: membuat Hana terpeleset. Hana sungguh tak mengerti apa mau cowok itu. Kata Lina, sepengetahuannya Rio bukan anak jahil.

"Atau jangan-jangan sebenarnya dia naksir kamu, Na?" duga Lina  yakin.

Tentu saja Hana menolak mentah-mentah pikiran itu. Enak saja, gerutunya. Pokoknya Hana merasa sudah waktunya dia melakukan sesuatu. Agar si biang kerok itu berhenti mengganggunya. Apalagi sekarang genap sebulan dia bersekolah di sana. Masalahnya, Hana belum punya ide mengatasi cowok jahil itu.

Tengah asyik melamun, Hana tak mendengar kedatangan Mama di kamarnya. "Hana... Mama panggil dari tadi, lho?"

"Eh, maaf, Ma," sahut Hana kaget. "Ada apa?"

"Mumpung hari Minggu, temani Mama ke pasar, yuk? Kita belanja mingguan. Kamu belum pernah lihat Pasar Wage, kan?" tawar Mama, dijawab anggukan Hana.

Setelah bertukar baju, Hana dan mamanya bermotor menuju pasar.
Pasar Wage adalah pasar tradisional terbesar di Purwokerto. Hari-hari biasa saja kondisinya selalu ramai, apalagi di hari Minggu seperti sekarang. Beberapa kali Hana terpaksa bersenggolan dengan pengunjung lain, padahal jarak antar gang sudah lumayan lebar.

"Ma, beli jajan juga, ya?"

"Boleh. Itu ada penjual pukis, kita ke sana saja, yuk!"

Mereka berjalan ke arah timur. Terlihat sejumlah pembeli mengelilingi gerobak pukis. Lelaki muda bertopi  biru tampak sibuk menuang adonan ke dalam cetakan,  membungkus pukis-pukis matang, lalu menyerahkan ke si pemesan. Mata Hana membulat saat dia mengenali lelaki itu.

"Itu 'kan si biang kerok!" desisnya.

Mama melengak kaget, "Siapa yang biang kerok?"

"Eh, anu. Maksud Hana, itu teman sekolah Hana. Udah, ah, Ma. Batal aja belinya," ralat Hana. Dia  tak sudi bertemu Rio. Cukup sudah kejahilan cowok itu dia rasakan di sekolah.

Mama tentu saja bingung.
"Lho, kenapa batal? Kalau itu teman kamu justru bagus, kan? Kita ikut melarisi dagangannya. Lagipula Mama senang sama anak muda yang kreatif usaha."

Belum sempat Hana menyanggah, Rio telah melihat kehadirannya dan spontan menyapa. "Halo Hana! Kejutan manis jumpa kamu di Pasar Wage! Ayo sini, apa kamu mau beli pukis juga?"

Hana langsung masam. Namun  Mama malah mendekati Rio. "Kamu teman sekolahnya, ya? Duh, salut Tante. Masih remaja sudah mau belajar cari uang."

Rio tertawa sopan. Kemudian di sela melayani pembeli, dia menjelaskan pada Mama bahwa ini adalah kali pertama dia berjualan sendiri. Karena sebelumnya dia hanya membantu kakaknya saja. Kini setelah menguasai cara membuat pukis, dia bertekad rutin berjualan di saat hari libur.

"Belajar wirausaha kecil-kecilan, Tante," pungkas Rio. Mama mengacungkan dua jempol padanya.

Diam-diam Hana menyimak. Diperhatikannya  Rio yang gesit, cekatan, dan ramah. Hilang sudah kesan jahil yang selama ini dia ingat. Rupanya Rio menangkap pandangan mata Hana.

"Tante, maafkan saya, ya. Di sekolah saya sering mengusili Hana. Habis penasaran, ada anak baru cantik, tapi kok, pendiam?" Celetukan Rio sontak memerahkan wajah Hana.

Mama malah tertawa, "Ya ampun! Itu tandanya tak kenal maka tak sayang! Kamu minta maaf sendiri, Nak Rio."

Sembari menyerahkan pukis pesanan Mama, Rio berucap lagi, "Hana maafkan aku, ya. Aku janji nggak jahil lagi sama kamu."

Hana tak menjawab, namun seulas senyum mekar di wajahnya. Mungkin si biang kerok ini pantas diberi kesempatan kedua. (*)

Cilacap, 180718