Cari Blog Ini

Kamis, 08 November 2018

[Resensi] Perempuan dan Masalah yang Dihadapinya



(Dimuat  di Harian Jateng Pos edisi Minggu, 4 November 2018)

Oleh : Gita FU

Judul Buku             : Sesuatu di Kota Kemustahilan
Penulis.                  : Rosi Ochiemuh
Penerbit                  : LovRinz Publishing
Cetakan.                 : Pertama, Februari 2018
Halaman                 : 208 hlm, 14x20 cms
ISBN.                       : 978-602-5684-46-3


Cerita yang ditulis oleh penulis perempuan, konon selalu melibatkan emosi dan perasaan yang dalam. Pendapat itu bisa dibenarkan manakala pembaca membuka lembaran-lembaran kisah dalam buku kumpulan cerpen ini. Dari dua puluh satu cerita ada benang merah yang bisa ditarik, yakni sudut pandang perempuan saat menghadapi permasalahan.

Cerita  getir disajikan dalam judul Firasat Hujan. Seorang Paman yang kesehariannya telah lelah oleh beban pekerjaan sebagai kurir di perusahaan penyuplai spareparts, berusaha menyisihkan secuil perhatian untuk keponakan perempuannya. Sang keponakan beranjak remaja, mulai tertarik pada lawan jenis. Sayang, orang tuanya sendiri kurang mengamati perubahan perilaku tersebut. Hingga ketika suatu peristiwa fatal menimpa si gadis, sang Paman yang sebelumnya telah berfirasat jelek, hanya mampu tergugu akibat keterlambatannya memberi peringatan pada orang tua si gadis (hal. 24). Kesan getir itu saya tangkap dari latar cerita ini: kota industri yang ruwet. Bagaimana kehidupan menuntut pergerakan serba cepat dan terburu-buru, agar roda ekonomi terus berputar. Hal itu menjadikan terciptanya kesenjangan bahkan di dalam satu keluarga. Suatu masalah yang semakin marak terjadi kini.

Masih dengan warna kelam dan getir, penulis mengangkat soalan ketimpangan peran dalam rumah tangga melalui cerita 'Hujan Batu di Kepala'.  Vina, seorang pegawai toko kain di Palembang, ia menjadi tulang punggung utama rumah tangga. Suaminya tak pernah menjalankan peran selaku pencari nafkah dan pengayom keluarga, bukan karena cacat fisik melainkan akibat cacat moral. Si suami terus menerus merongrong Vina untuk selalu sedia bekerja demi perekonomian mereka bahkan disaat kondisi kehamilan anak keduanya makin membesar. "Lelakimu bahkan tidak tahu bagaimana cara menafkahi lahir batin. Semua seakan timpang. Belum lagi ibunya itu, hanya membicarakan aib rumah tangga anaknya ketimbang memperbaiki. "Dia bilang, kamu adalah menantu tidak sempurna. Hanya bisa bekerja cari uang tanpa bisa menjadi istri dan ibu yang benar. Omongan yang tidak logis dan tidak berhati. Harusnya anak laki-lakinya mencari uang sejak menikahimu. Bukan menjadikanmu tulang punggung rumah tangga."  (Hal. 49). Ending yang tragis sekaligus membebaskan menanti tokoh Vina di akhir narasi cerpen ini.

Apa yang menimpa tokoh Vina di atas jamak ditemukan pada masyarakat kita. Menyisakan rasa penasaran di benak saya, apakah saat mengawali rumah tangga, sepasang laki-laki dan perempuan tersebut tidak menyamakan visi dan misi? Lalu apa sebenarnya yang terjadi pada pola pikir kaum lelaki, yang dengan seenaknya memperlakukan pasangan hidupnya bak sapi perah? Penulis buku ini memang tidak menyajikan jawaban pertanyaan saya, karena ia semata menyodorkan realitas dibalut fiksi.

Beranjak pada tokoh Mursalina dalam 'Oh, Mursalina' (hal. 95), seorang karyawati di perusahaan penyuplai spareparts. Setiap hari ia berjibaku dengan jalanan yang macet pada jam berangkat-pulang kerja, omelan dari atasan yang tak pandang bulu, hingga pemotongan gaji semena-mena. Mursalina terjebak dalam lingkaran setan, karena meskipun ia tak betah di tempat kerja tapi ia tak bisa keluar begitu saja. Sebab penghasilan suaminya belum mencukupi keperluan rumah tangga mereka. Mursalina mengangankan perlakuan manusiawi serta pemenuhan hak   pekerja perempuan dari perusahaannya.

"Kemacetan masih belum terurai. Dia memandangi wajah orang-orang yang kusut. Tak bisa turun dan tak berdaya di dalam. Tangisan klakson selalu melengking di telinga. Mursalina merasa tubuhnya lungkrah, kakinya pegal, teringat suami yang menunggu bersama buah hati. Mursalina kembali memejamkan mata. Andai saja takdir bisa kutulis sendiri seperti lamunanku tadi dalam mimpi sebentar, gumamnya." (Hal. 102).

Suara hati Mursalina di atas  ibarat suara lirih yang terus mendengung, pelan tetapi nyata adanya. Pusaran problematika sosial di sekitar kita yang kerap kali belum didapatkan solusinya. Melalui sastra si penulis berusaha mengungkapkan keprihatinannya pada pembaca. Pesan yang saya tangkap adalah  agar kita jangan berhenti peduli pada sekeliling. Karena kepedulian pada sesama dapat meringankan beban hati. Tentu saja buku ini tak luput dari kekurangan.  Hal klasik seperti masalah editorial dan EBI adalah minus yang saya temukan. Namun keduapuluh satu cerita di dalamnya tetap layak diapresiasi khalayak pembaca umum. (*)

Cilacap, 150818


2 komentar: