Cari Blog Ini

Kamis, 06 Desember 2018

[Cerita Mini] Cicak dari Langit



Oleh: Gita FU

Belum pernah aku selunglai ini. Tabunganku nyaris tandas, dimakan hari-hari tanpa penghasilan. Semenjak aku keluar dari toko kain Wak Sigi dua minggu lalu, belum ada tempat lain menerima tawaran tenagaku. Tidak toko kelontong Yu Sarmi, laundry Bu Juju, atau warteg Mas Agus; semua  menolakku dengan alasan sudah cukup pegawai. Pilihan terakhir tinggal membabu di rumah orang. Dan itu sedang kupertimbangkan serius.

Omong-omong soal asap dapur, rupanya beras kami sisa dua kaleng saja. Dua kaleng ini akan kumasak separuhnya. Sisanya untuk esok. Yang penting perut anak-anak, aku bisa berpuasa. Urusan lauk, masih ada kecap manis kemasan saset, dan  mendoan di warung Lastri.

"Bu, aku lapar." Hanna mendekat, seragam TK-nya sudah berganti oblong merah dan celana pendek.

"Iya, Na. Ini sedang dimasak. Sebentar lagi matang," tunjukku ke penanak nasi listrik. "Kamu main di depan dulu, ya?" Hanna menurut.

Kulirik jam dinding, menunjuk angka  sepuluh. Dua jam lagi si kakak Fiyan pulang sekolah. Di luar mendung sudah tersibak. Lebih baik kulanjutkan menjemur cucian basah sisa kemarin.
Setengah jam berlalu. Kumatikan penanak nasi dan membuka tutupnya. Aku ingin menggelar nasi di piring untuk Hanna. Baru saja hendak berbalik, tiba-tiba seekor cicak dewasa jatuh tepat di atas nasi panas. Cicak itu segera belingsatan ke sana ke mari. Ya ampun! Sialan betul! 

"Bu, nasinya sudah matang?"

Suara Hanna menyadarkanku. Cepat-cepat kuambil sendok nasi. Lalu kuraup si cicak sial  keluar dari penanak nasi. Seharusnya kubunuh saja hewan itu, tapi urusan perut lebih utama. Anggaplah si cicak masih beruntung kali ini. Selanjutnya kubuang beberapa bagian nasi yang sempat jadi arena berlari cicak.  Akibatnya  jumlah nasi  berkurang lagi. Sudahlah masak sedikit, kini jadi makin sedikit. Namun apa boleh buat, bukan? Kemudian dengan sendok lainnya, kuambilkan Hanna sepiring nasi yang masih beruap, sekalian menutup penanak nasi. Cukup sekali saja kecolongan.

"Sini, Na. Nasi hangat plus kecap dan mendoan sudah siap!"

Putriku makan lahap.  Kuperhatikan tiap kunyahannya yang nikmat, laparku terobati. Tahu-tahu nasinya habis, Hanna mendongak. "Ibu sudah makan?"

"Oh, sudah kenyang, Na. Nah, taruh piringmu di tempat cuci piring, ya?"

"Sudah, Bu," lapor putriku. "Aku mau mengerjakan PR ya, Bu!"

"Ya, Sayang." Aku tetap duduk di dapur. Pikiran melayang pada suamiku. Sebentar lagi akhir tahun. Mas Wardi belum juga mengabari kapan akan pulang dari Kalimantan. Apakah pekerjaannya di proyek perumahan belum selesai? Tak ada yang bisa kutanyai. Padahal suami Wanti sudah kembali seminggu lalu.  Semoga tak ada kejadian luar biasa menimpanya. Semoga.

"Bu, ada tamu!" Seruan Hanna memutus lamunan. Gegas kubuka pintu depan. Oh, rupanya Darmi.

"Ada apa, Mi?"

"Aku punya kabar bagus buatmu," celoteh tetanggaku ini. "Kamu belum dapat pekerjaan, kan?" Aku menggeleng cepat.

"Bagus! Bu Bidan Ratmi sedang membutuhkan orang yang bisa dititipi anaknya selama dia dinas di rumah sakit. Berarti dari pagi sampai jam empat sore. Nanti bayarannya mingguan. Hanna boleh ikut. Terus, ya, makan siangmu ditanggung. Bagaimana? Mau, ya? Kalau mau nanti sore ikut aku ke sana."

Berondongan informasi Darmi sesaat membuatku lupa bernapas. Dia menanti jawabanku dengan ekspresi yakin. Setelah menimbang-nimbang ini memang bagaikan tumbu ketemu tutup, alias pas sekali dengan yang aku butuhkan. Aku pun mengiyakan.

"Eh, tunggu. Tukang momong sebelumnya kemana, Mi?"

"Pindah rumah. Udah, ya, aku pulang. Jangan lupa nanti sore!" Darmi segera berlalu.

"Maturnuwun, Mi!" seruku terlambat. Aku merasa lega penuh syukur. Gusti Allah memang tidak tidur. Di langit-langit seekor cicak berdecak.  Mungkin ia ikut bergembira denganku? Bisa jadi. (*)

Cilacap, 051218

(Ilustrasi: pinterest.id)







4 komentar:

  1. Ih Bugita awea tuh tajut sama cecak.

    Eh, beberapa b


    hari lalu aku menulis juga tentang cecak tapi gak sekeren ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cicak apa tokek yang bikin takut, Wen? 😅

      Hapus