Cari Blog Ini

Sabtu, 29 Desember 2018

[Memoar] Kuku Simbah



Oleh: Gita FU

Februari 2001

Kabar meninggalnya Mbah Putri disampaikan Papa via telepon. Om Adi dan keluarganya langsung bersiap-siap meluncur ke Purbalingga dengan  sepeda motor. Aku sendiri akan menyusul via bus.

Saat berjalan menuju jalan raya, aku sempat berhenti sejenak di rumah tetangga. Hanya gara-gara menceritakan tujuan kepergianku pada si ibu tetangga, mataku mendadak banjir. Aku terduduk lemas di teras tersebut, tersengguk-sengguk oleh air mata. Si ibu tetangga menatapku prihatin penuh simpati. Setelah  berhasil mengatur napas, tangisku reda, dan kulanjutkan perjalanan.

Di dalam bus kenangan berlesatan muncul. Aku diasuh Mbah saat berusia kurang lebih dua tahun. Kemudian tepat setelah ulang tahun keempat, kedua orang tuaku datang dan membawaku ke Pontianak. Tak banyak kenangan yang berhasil kuingat di rentang waktu itu, hanya berdasarkan cerita Bulik serta beberapa lembar foto kenangan yang menangkap momen-momen tertentu.

Aku kembali tinggal bersama Mbah pada masa kenaikan kelas 6 SD hingga kelas satu SMA. Mbah semakin tua, sedangkan aku beranjak remaja. Itu adalah masa-masa di mana aku merasa sulit. Aku dengan energi yang berlebih, sering bentrok dengan kekolotan Mbah. Aku merasa terkekang, sementara Mbah dibebani tanggung jawab untuk menjagaku. Ah...

Mozaik kenangan makin berjejalan. 

Mbah Putri membekali jiwel, timus, atau mata roda untukku di sekolah. Mbah Kakung yang galak, tapi membukakan jendela kamar di pagi hari agar udara segar masuk, ketika aku terbaring karena tifus. Mbah Putri membuatkan kue lumpur kesukaanku saat aku ulang tahun. Aku dimarahi Mbah gara-gara membeli rok pendek sedikit di atas lutut. Bulikku rela berpanas-panas ke pasar demi membelikan rok panjang semata kaki sebagai gantinya. Aku dan Mbah Kakung terbahak bersama menonton lawak Ngelaba di tivi hitam putih kami. Aku mulai membohongi Mbah demi bisa ikut acara kemah Sabtu-Minggu, hanya karena Mbah mulai merasa aku terlalu banyak ikut kemah....

Mataku panas dan mulai meleleh. Terlalu banyak kenangan. 

Kemudian selepas SMA aku kembali lagi ke rumah Mbah. Dan saat itu pertengkaran mulai sering mewarnai hubunganku dengan beliau berdua. Mendadak aku kesal dengan cara Mbah Putri masak; kuno, tidak higienis. Mendadak aku ingin mengungkit masa lalu orangtuaku lalu menyalahkan Mbah Putri. Mendadak aku merasa lebih superior dari kedua orang sepuh ini. Sedangkan Mbah Putri mulai sakit-sakitan. 

Aku merutuki banyaknya egoisme yang muncul seiring bertambahnya usia seseorang. Dan ternyata itu pun terjadi padaku. Aku kerap menafikan kasih sayang tanpa syarat yang telah diterima semenjak kecil. Setelah dewasa pikiranku hanya tersedot pada  ketidakpuasan; seharusnya dulu jangan begini-begitu. Aku bahkan berani membentak Mbah Putri dalam suatu puncak pertengkaran kami.

Dan sekarang aku sudah sampai. Di depanku ada jenazah Mbah Putri. Dikelilingi para paklik dan Bulik, serta Papa. Mbah Kakung terlihat 'nrimo'. Kutatap wajah sepuh yang telah menutup mata itu. Betapa waktu yang terlewati terasa bagai mimpi. 

Aku ikut memandikan jenazah. Siraman air menyucikan tubuh Mbah untuk terakhir kalinya. Lalu pandanganku tertumbuk pada kuku tangan mbah Putri. Kuku itu panjang-panjang semua. Ya Allah, padahal aku pernah berjanji akan memotong kuku Simbah, saat beliau masih terbaring sakit. Janji yang sudah terlambat ditepati. Dan aku hanya bisa menyesal sedalam-dalamnya.(*)

Cilacap, 281218

(Mengenang alm. Mbah Putri dan Mbah Kakung. Semoga Allah melapangkan kubur mereka berdua).

Sumber gambar : pinterest.id


6 komentar:

  1. Mbak.. Sedih banget mbak. Mbahku dari pihak ibu bapak semuanya telah beepulang. Saya pernah tinggal serumah dengan kakek nenem dari pihak bapak dan ya, merasa begitu kolot tapi saya menangis waktu merema meninggal dan saya tidak pernah melihat bapak saya menangis sekencang itu kecuali ketika hari meninggalnya kakek saya. Foto-foto mereka masih ada dan anak saya sekarang hobi melihatnya. 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya memang sedih, Sab.
      Soal kuku ini masih menghantuiku sampai sekarang.

      Hapus
  2. Ya Allah, sedihny.

    Jadi ingat kit juga sedang menuju ke sana...

    BalasHapus