Cari Blog Ini

Senin, 10 Desember 2018

[Review] Mengapresiasi Parodi dalam Puisi


Oleh: Gita FU

Judul        : Tuhan Tidak Tidur Atas Doa Hamba-Nya yang Begadang
Penulis.    : Maulidan Rahman Siregar
Cetakan.   : Pertama, 2018
Hlm           : x + 90
ISBN.         : 978-602-6506-85-6

"Aku mencintaimu, dan berpikir keras
bagaimana puisi menyelesaikan ini." (Hal. 3).

Seringkali saya mengerutkan dahi ketika membaca kebanyakan puisi. Mencoba memaknai apa yang dimaui sang penyair. Hal itu diakibatkan metafora alias bahasa kiasan tingkat tinggi yang kerap bertebaran di tubuh puisi. Dan katanya itu lumrah. Sebab puisi tak sama dengan cerita pendek. Puisi harus puitis, diksinya pilihan, ada kaidah yang (wajib) diikuti.
Setidaknya itu pelajaran yang saya dapat semasa sekolah. 

Kembali pada persoalan memahami bahasa puisi, dalam buku kumpulan puisi ini saya temukan perbedaan. Alih-alih berdiksi rumit, Maulidan malah menuliskan apa adanya, tanpa kehilangan watak puisi. Meskipun di beberapa tempat cenderung banal. Tema yang diambilnya pun cukup beragam. Mulai dari persoalan cinta, hingga aneka persoalan sosial.

Selain terkesan apa adanya dalam memilih kata, Maulidan pun kerap menggunakan peristiwa Kekinian sebagai pembanding. Sehingga pembaca dapat ikut memaknai pesannya. Misalnya  puisi berjudul 'Rindu Melulu' (hal. 38) ini:

Mencintaimu, kekasih,
lebih pedih dari cerpen
yang tokoh utamanya,
bunuh diri karena tak mampu beli rokok.

Mencintaimu, kekasih,
Lebih baik puisi, dari sajak segala pilu
Lebih sendiri dari malam pekat
Seringkali tak mampu tertulis
Keluar-berlari dari sajak-sajak ini.

 Mencintaimu bahkan
lebih ngilu dari goyangan biduan dangdut semok 
tak ada pilihan bagiku 
selain mabuk dan pulang. 

Hal menarik lainnya adalah unsur parodi pada sebagian besar puisi Maulidan. Dengan teknik interteks penulis menyandingkan puisinya dengan puisi Sapardi Djoko Damono. Misal puisi 'Maaf Sapardi' (hal. 14), di mana dia menukil bait terkenal dari puisi 'Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana', menjadi puisi cinta yang sama sekali berbeda.

Aku ingin mencintaimu dengan ribet
Dengan cerita yang tak sempat dikisahkan air kepada toilet yang menjadikannya mencret.
Aku ingin mencintaimu dengan ribet
Dengan mata pencopet yang tak sempat diceritakan Bayu kepada Slamet yang menjadikannya kepepet.

Mencintaimu bukan soal bagaimana cara bertahan,
Mencintaimu adalah seberapa kuat merawat kehilangan.

Tentunya masih banyak judul lain dalam kumpulan puisi ini yang layak diapresiasi. Maulidan sebagai penyair muda asal Padang telah ikut memberi warna dalam ranah sastra kita.(*)

Cilacap, 101218








7 komentar:

  1. Aih, keren juga. Awen biasa liat orangnya di pesbuk.

    BalasHapus
  2. Saya cinta pada pembacaan pertama untuk kalimat
    "Aku mencintaimu, dan berpikir keras
    bagaimana puisi menyelesaikan ini." 😍😍😍

    BalasHapus