Cari Blog Ini

Jumat, 21 Desember 2018

[Review] Ove, si Pria Hitam Putih



Oleh: Gita FU

"Ove memahami hal-hal yang bisa dilihat dan disentuhnya. Semen dan beton. Kaca dan baja. Perkakas. Hal-hal yang bisa dicari jawabannya. Dia memahami sudut tegak lurus dan manual instruksi yang jelas. Model dan gambar rakitan. Hal-hal yang bisa digambarkan di kertas. 
Ove adalah lelaki hitam-putih." (Hal. 50)

Secara umum, pria seperti Ove bukanlah jenis orang populer yang ingin kita jadikan teman mengobrol akrab. Dia kaku, pemberang, dan sulit. Dia amat saklek pada aturan. Jika kamu melihat plang dilarang berkendara di atas 40 km/jam, ada kemungkinan kamu akan sedikit melanggarnya. Terutama saat sedang buru-buru. Tapi Ove tidak. Jika dia mempunyai kupon bertuliskan "50 krona 2 tanaman", besar kemungkinan dia siap adu mulut dengan penjaga gerai agar dia hanya membayar 25 krona saja karena hanya butuh satu tanaman. Seperti itu.

Ove sama sekali tidak menaruh simpati pada orang yang tidak bisa membetulkan papan lantainya sendiri, atau kasau rumah yang lepas. Karena dia selalu melakukan semua hal itu dengan amat baik. Ove juga tak bisa mengerti mengapa zaman sekarang orang tergila-gila pada mobil otomatis, berteknologi canggih, yang mengandalkan bantuan radar mundur untuk memundurkan mobil. Menurut Ove orang seperti bitu tak pantas punya SIM. Ove tak menyukai mobil buatan luar. Baginya Saab yang terbaik. Hanya Saab, sebelum diambil alih General Motor.


"Kau merindukan hal-hal teraneh ketika kehilangan seseorang. Hal-hal sepele. Senyuman. Cara perempuan itu berbalik ketika sedang tidur. Kau bahkan rindu mengecat ulang ruangan untuknya." (Hal. 76)

Dan Ove amat merindukan Sonja. Bahkan setelah 6 bulan kepergiannya, Ove masih berkeliling rumah setiap pagi, mengecek apakah Sonja menaikkan suhu radiator diam-diam. Bagi Ove, dia tidak hidup sebelum bertemu dan sesudah ditinggal Sonja. Karena dia memandang semua warna melalui Sonja, istrinya. 

Sungguh novel ini berulang kali berhasil membuat saya tertawa dan menangis bergantian. Cara Fredrik Backman menarasikan kisah sang tokoh utama beserta tokoh-tokoh lainnya, amat membetot hati. Saya bersimpati pada dukacita dan kehilangan yang dirasakan Ove. Saya bisa mengerti kenapa dia ingin menyusul Sonja saja. Karena hidupnya tak sama tanpa wanita itu. Saya tersenyum-senyum bahkan tertawa sendiri ketika perlahan-lahan Ove ditarik keluar dari kesendiriannya oleh kehadiran tokoh lain. Sebut saja: Parvaneh, Patrick, dan dua anak mereka; Anders, Ilalang Pirang dan anjingnya; Jimmy si pemuda obesitas; Adrian si pelayan kafe; Mirsad si gay yang bertengkar dengan ayahnya; Anita dan Rune; Lena si jurnalis; pria berkemeja putih; dan jangan lupakan si kucing setengah botak.

Pada akhirnya Ove yang serba teratur dan taat aturan tak bisa tak peduli pada para tetangga yang melanggar aturan. Dia terlibat begitu saja dengan kehidupan orang lain. Uniknya, semua dia lakukan karena tak mau Sonja marah atau tak ingin ayahnya kecewa; keduanya orang-orang yang amat berpengaruh dalam hidup Ove.

Melalui novel ini saya bukan saja amat sangat terhibur, tetapi juga mendapat banyak perspektif baru tentang kehidupan dan kematian. "Sesuatu dalam diri seseorang akan hancur berkeping-keping jika dia harus menguburkan satu-satunya orang yang selalu memahaminya." (Hal. 426).

Kredit buat mbak Shabrina WS yang telah berbaik hati meminjamkan Ove, hingga saya bisa ikut berkenalan dengannya. Sungguh luar biasa. (*)

Cilacap, 211218

Keterangan foto: 
1. Dok. Pribadi
2. Mobil Saab 9000, sumber Google.



4 komentar:

  1. Waah keren. 😅 memang kalau mahu keren bacaanya juga harus keren ya.

    BalasHapus
  2. Keren banget ya kayaknya, Mbak. Penasaran ini novel terjemahan mana sih??

    BalasHapus