Cari Blog Ini

Jumat, 13 Desember 2019

[Cerpen] Orang-orang Gila

(Tayang di Radar Banyumas edisi Minggu, 8 Desember 2019). Dokpri.

Oleh : Gita FU

Tak pernah terpikirkan oleh Sarwono, dari mana datangnya orang-orang gila itu. Jika adiknya bertanya, ia hanya akan mengangkat bahu. Ia terlalu malas mencari tahu Sepanjang ingatannya, sejak ia masih bocah SD hanya si Pur dan si As  yang biasa berkeliaran di kampungnya. Mereka kini menua, tapi masih setia mengorek-ngorek sampah, bicara sendiri, makan, minum, dan tidur di sembarang tempat. Ya, itulah si Pur dan si As yang ia kenal. Tapi sekarang agaknya ia harus meralat jumlah orang gila di lingkungannya.

"Mas, kemarin waktu aku ngejar layangan liwung, aku lihat ada laki-laki kelihatan anunya, duduk di bawah pohon petai Pak Pono," lapor adiknya, si Tono.

"Masa? Terus layangannya dapat?" tanggap Sarwono.

"Ya, batal! Wong aku takut sama orang gila itu!" Bocah kelas lima SD itu bersungut-sungut. Sarwono terkekeh-kekeh.

"Ya, kamu jangan dekat-dekat, Ton!" sembur ibu mereka, Sarmiyah. Kedua tangannya sibuk  mengadon bakwan jagung di baskom besar.

"Makanya aku lari, Bu! Oh iya, pas lari itu aku lihat di pinggir lapangan bola ada lagi," cerocos Tono bersemangat, "perempuan, badannya dikerubungi laler! Lagi jongkok sambil makan sisa nasi dari tempat sampah!"

Sarwono berhitung, "Kenapa jadi banyak orang gila di daerah kita, ya? Ckckck. Mengkhawatirkan." Ia lalu teringat seorang laki-laki aneh yang mengamuk di depan pos ronda.

"Jaman susah gini, bikin orang  banyak yang sinting. Persoalan ekonomi lah, keluargalah. Amit-amit jangan sampai ada keturunanku yang gila," timpal Sarmiyah. "Kalian harus tetap eling sama Gusti Allah, ya. Walau hidup miskin, kepala kita tetap waras!"

Sarmiyah berkata demikian bukan tanpa alasan. Ia adalah janda ditinggal mati suaminya lima tahun silam. Kalau ia tak berpikiran sehat, tentu sudah kelimpungan memikirkan sumber nafkah. Padahal suaminya dulu cuma penjaga sekolah, tidak meninggalkan warisan. Dan saat itu Sarwono masih butuh biaya sekolah, demikian pula  Tono yang baru masuk SD.

"Tapi jadi orang gila kan enak, Bu. Nggak usah mikirin belajar tiap hari kayak aku," cengir Tono menggoda ibunya.

"Hush! Sudah sana mandi! Minyaknya sudah panas, No? Ibu mau nggoreng bakwan, kamu siapin mendoannya." Sarmiyah menutup obrolan.

Sarwono sigap melaksanakan tugasnya. Ia sudah piawai urusan menggoreng mendoan, tempe tipis dan lebar khas Banyumasan itu, berkat pengalaman menjadi asisten ibunya sejak tamat madrasah aliyah dua tahun lalu. Di luar sana matahari mulai rebah, warung gorengan mereka akan didatangi  pembeli yang mencari lauk makan malam.

Di sela-sela menggoreng mendoan, ponsel Sarwono di atas meja dapur berdering; tanda ada pesan masuk. Sarwono membaca isinya, dan air mukanya berubah gelap. Namun sedapat mungkin disembunyikannya dari tatapan ibunya.

Usai waktu isya Sarwono pamit membeli rokok. Kesibukan menggoreng pun telah purna, sehingga ibunya sama sekali tidak keberatan. Ia sengaja berjalan kaki  menuju warung yang jauh dari rumah. Semata-mata ia bermaksud melerai kekusutan pikiran yang ditimbulkan pesan yang masuk ke ponselnya tadi. Karena si pengirim pesan itu adalah kekasihnya, Ningsih.

Mereka adalah pasangan kekasih sejak bangku Aliyah. Sarwono  telah merasa mantap ingin melamar Ningsih. Tetapi gadis itu keberatan dan malah ingin merantau ke luar negeri. Alasannya, Ningsih ingin mengumpulkan modal sebelum menikah. Sarwono terang-terangan tidak setuju. Ia khawatir hal-hal buruk bisa saja menimpa gadis manis itu di negara orang. Tetapi gadis itu tetap bersikeras.

'Kecuali kamu punya banyak uang dalam waktu singkat, maka aku bersedia mengubah keputusanku.' Itulah syarat dari Ninggsih di akhir pesan.

Sarwono marah pada Ningsih. Apakah gadis itu menyuruhnya mencuri, atau menyupang pesugihan? Mana ada uang banyak dalam waktu singkat! Jelek-jelek begini, Sarwono masih punya iman. Berjualan gorengan memang tidak serta merta membawanya kaya raya, tapi pasti cukup untuk memulai hidup baru yang bersahaja. Gila! Kekasihnya telah menjadi gila karena silau harta.

Terbawa pikiran yang kusut, tanpa sengaja Sarwono salah  membelok ke tanah kosong yang cukup lebar. Tak ada bangunan apapun di situ, kecuali semak-semak dan beberapa pohon pisang. Cahaya lampu  jalan pun tidak mampu menerangi seluruh areal tersebut. Mendadak matanya menangkap sesosok manusia,  duduk bersila di bawah salah satu pohon pisang. Sarwono menelan ludah. Manusia itu terlihat tak waras, dengan pakaian  berantakan. Sarwono berhenti melangkah, lalu putar badan. Di saat itulah ia mendengar orang itu bicara pada seseorang.

"Ya, Pak. Sebagian besar buruh, pedagang, penerbang dara, dan tukang main. Di sini juga gudang TKW. Ya, banyak balita juga, Pak. Baik, Pak. Saya tunggu perintah selanjutnya."

 Sarwono mengernyit heran. Percakapan itu terdengar waras sekaligus ganjil. Di balik punggungnya, orang itu tengah menyimpan ponselnya ke saku baju.

"Kamu mau ke mana, No? Kemarilah! Aku kawan lamamu." Sarwono terkejut setengah mati. Merasa penasaran, ia  berpaling penuh selidik pada orang tersebut. "Apa kamu sudah lupa pada  si Cacing?"

Julukan itu memunculkan satu nama di benak Sarwono. Si Cacing adalah olok-olokan untuk teman sekelasnya di masa SMP dulu. Temannya itu begitu kurus kerempeng sehingga sering jadi sasaran empuk berandal sekolah. Sarwono ingat, ia pernah beberapa kali membela anak itu. "Cahyo? Benarkah kamu adalah Cahyo? Kenapa kamu jadi begini?"

Laki-laki itu tergelak. Ia mengajak Sarwono duduk di dekatnya. "Jangan takut, No. Aku masih waras, kok. Ini cuma pekerjaan saja." Sarwono masih bergeming.

"Aku serius, No. Buktinya, aku masih mengenalimu. Hanya orang waras yang  memiliki ingatan jernih, bukan?" Akhirnya Sarwono mau juga duduk di dekat laki-laki  itu.

Mulanya Sarwono lebih banyak diam dan menyimak saja cerita Cahyo. Katanya, selulus SMP kedua orangtuanya meninggal mendadak. Ia lalu diasuh salah satu paman dari ibunya di luar pulau, dengan janji akan disekolahkan. Sedangkan rumah warisan orang tuanya segera dijual Paman dari pihak ayah; uangnya konon akan didepositokan di bank hingga Cahyo lulus SMA kelak.

"Tapi Pamanku pembohong semua. Ternyata mereka telah janjian membagi uang hasil penjualan rumah, tanpa menyisakan untukku. Alih-alih disekolahkan, aku malah disuruh kerja rodi di perkebunan sawit." Cahyo berkisah  perihal nasib malangnya.

Untunglah, kata  Cahyo, ada tetangga pamannya yang kasihan pada nasibnya. Ia diselamatkan dari perbudakan, dengan jalan kembali ke tanah Jawa. Sampai di sini ia terdiam. Sarwono pun masih tak berkomentar. Baginya, cerita Cahyo mirip lakon sinetron; meskipun bisa jadi benar-benar terjadi.

"Kamu diam karena masih ragu padaku, ya, No? Mari kutunjukkan sesuatu. Sebenarnya ini rahasia, tapi kamu dulu baik padaku." Cahyo mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari balik baju. Lalu ia menunjukkan isinya. Di bawah penerangan jalan yang remang, Sarwono bisa membaca bahwa itu adalah surat kontrak. "Aku tahu kamu cuma jualan gorengan bersama ibumu. Memang berapa duit yang bisa kamu hasilkan? Ayo bergabung bersamaku! Bayarannya besar, yang penting kamu tahan malu."

Cahyo kembali bertutur. Orang yang dulu menyelamatkannya telah mengenalkannya  pula pada pekerjaan tak lazim: menyaru sebagai orang gila. 
Untuk pekerjaan aneh ini, Cahyo harus mendaftar pada sebuah agensi rahasia. Agensi ini hanya bisa dimasuki berbekal rekomendasi dari anggota lama. Setelah diterima sebagai anggota baru, Cahyo diberi pelatihan rupa-rupa teknik penyamaran, dan ilmu bela diri. Ia akan diberi orderan oleh agensi, jika dianggap telah siap.

"Kamu tahu, No? Banyak orang penting yang jadi klien agensiku. Mereka yang butuh informasi detail suatu daerah, gemar memakai jasa kami sebagai orang gila gadungan. Mereka pun berani membayar mahal. Bagaimana? Kamu pasti tertarik! Uang, No, bayangkan uang yang banyak! Bukankah kamu butuh itu?" Cahyo terus membujuk Sarwono. Matanya berkilat-kilat, mulutnya menyeringai.

Sarwono gemetar hatinya. Kepalanya terasa berputar-putar oleh kata-kata teman lamanya. Semua terdengar gila baginya. Gila! (*).

Cilacap, 0310-121119

Selasa, 26 November 2019

Kisah-kisah Hewan Piaraan yang Bakal Menghangatkan Hati Kita

Me and My Pet with Ciput. Dokpri

Oleh: Gita FU

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

 Semangat pagi sobat kopidarigita! 😍 Jumpa lagi di postingan terbaruku. Kali ini aku akan mengulas sebuah  kumpulan kisah nyata para penyayang binatang piaraan. Lebih tepatnya ini adalah buku  antologi para pemenang  lomba yang diadakan Diva Press setahun lalu, bertajuk Me and My Pet.

Aku antusias melihat kavernya yang 'eye-catching'. Ilustrasinya melukiskan kucing, anjing, kura-kura, burung, ikan, dan tikus--eh, kok, ada tikus? Hahaha, tambah penasaran, kaan? Sabaaar. Setelah kubuka, rupanya ada 23 kisah mengisi buku. Tapi tidak terlampau tebal, cuma 148 halaman saja.

Mengingatkan aku pada seri Chicken soup for the soul, kisah-kisah yang tersaji cukup seru, ada yang lucu, inspiratif, dan juga kontemplatif. Terlihat dari sini seleksi yang dilakukan Diva Press, memilih kisah-kisah yang mewakili pesan-pesan tersebut di atas. Mari lanjut. 😉

Aku menyukai beberapa cerita dengan pesan yang cukup menohok hati, yaitu: Prasangka (Titien Setyarini), Suara Sumbang tentang Kucing (Fadilah Jaa), One Eye Cat (Reni Soengkunie), Me and My Little Rat (Muhammad Getar), Kesetiaan Raka (Nikmal Abdul), Kelinci Baru untuk Si Sulung (Muyassarah), dan Me and Dinky (Maitra Tara). Kenapa? Karenaaa:

1. Prasangka, hal. 19

Dengan gaya bahasa 'gue', Titien curhat tentang seekor kucing gendut bernama Sunyuk. Kucing jantan berwarna belang hitam putih ini kata Titien aslinya adalah kucing milik tetangga. Tetapi lebih betah main ke rumahnya, sampai nginap segala. Awalnya semua baik-baik saja. Antara Titien dan Sunyuk berjalan suatu hubungan akrab antara manusia dan kucing, hingga suatu ketika terjadi sesuatu. Jreng jreeenggg.

Waktu itu Titien mandi seperti biasanya. Tiba-tiba dari celah dinding kamar mandinya yang berhadapan dengan taman belakang, terdengar suara mencurigakan. Spontan Titien menoleh, dan dia kaget begitu tahu itu adalah Sunyuk yang sedang mengintipnya mandi! 😨😨 Titien reflek membanjur segayung air mengusir si kucing.

Setelah kejadian Sunyuk mengintip, Titien mengalami hal lain yang bikin dia dag-dig-dug: dia belum haid padahal sudah lewat 2 Minggu dari siklus! 😨😨 Nah, mulailah dia menghubung-hubungkan semuanya dengan kehadiran Sunyuk. Jangan-jangan itu karena dia dan Sunyuk terlalu dekat.

Endingnya sedih, sih. Karena prasangka itu, Sunyuk pergi dan tak kembali lagi ke rumah Titien ataupun rumah majikan aslinya. Makanya, meskipun pada hewan piaraan ya, kita nggak boleh asal curiga dan menuduh yang bukan-bukan. 😩 Tabayun, cek dan ricek, riset, atau apalah dahulu, gitu. Karena kalau yang kita sayangi telanjur pergi, barulah penyesalan itu datang (eaaaaak).

2. Suara Sumbang tentang Kucing, hal. 25

Teman-teman pasti pernah dengar omongan orang, "Ih, jangan dekat-dekat kucing! Ada virus toksonya! Bisa bikin mandul!" Ya, soal virus toksoplasma yang dibawa kucing, emang, sih, ada benarnya. Karena kucing adalah hewan berdarah panas yang merupakan tempat kesukaan si virus. Tapi untuk bisa menulari manusia, tetap membutuhkan persyaratan alias nggak semudah mengoleskan roll on ke ketek.

Si penulis kisah ini membantah suara-suara sumbang tersebut. Dia menceritakan sejak menikah, hamil, lalu melahirkan, dirinya tak bisa benar-benar menjauhi makhluk berbulu lembut, dan imut tersebut. Karena dia sudah kadung menjadi penyayang kucing semenjak kecil. Walaupun dia tak memungkiri, sempat terselip perasaan khawatir jika mendengar suara-suara sumbang tentang kucing.

Demi mengatasi kekalutannya, sewaktu hamil Fadilah berusaha mencari informasi-informasi valid tentang kucing, dan kaitannya dengan kesehatan manusia. Dari situ dia jadi tahu bahwa penularan virus toksoplasma ke manusia terjadi melalui feses kucing. Dia pun lalu menghindari interaksi langsung dengan kotoran hewan itu.

Selain itu Fadilah pun menuliskan, asalkan si pemilik merawat secara baik dan benar serta menjaga kebersihan kucingnya, maka inisyaallah kucing tersebut akan terbebas dari virus toksoplasma.

Akhirnya Fadilah berhasil mengatasi suara-suara sumbang tentang kucing. Karena Alhamdulillah bayinya lahir sehat, bahagia, hingga kini telah berusia satu tahun. Bahkan kesukaan Fadilah pada kucing telah menurun pula ke anaknya itu. Tuh, kan, jangan langsung termakan katanya sebelum kita cari tahu kebenarannya.

3. One Eye Cat, hal. 32

Kisah yang mirip dituliskan oleh Reni. Ia pun penyayang kucing sejak kecil, berkebalikan dengan sang suami.

Tiga tahun lalu ia menemukan kucing telantar tengah meringkuk kedinginan di dekat pintu gerbang, di bawah guyuran hujan deras. Tanpa pikir panjang ia memungut dan menolong si kucing. Hati Reni semakin terenyuh setelah mengetahui bahwa satu mata si kucing tertutupi nanah.

Ia kemudian berhasil meyakinkan suaminya untuk memperbolehkan si kucing menjadi bagian dari mereka. Hari-hari berlalu, kucing yang dinamai Jeni itu menjadi hiburan tersendiri bagi mereka berdua.

Di tahun keempat pernikahan, Reni dan suaminya belum dikaruniai anak. Suara miring pun sempat menerpa mereka, karena lebih memilih memelihara kucing padahal belum punya anak. Mungkin orang-orang itu ikut khawatir terhadap kemungkinan virus toksoplasma yang bisa menjangkiti Reni.

Tetapi bagi Reni, masalah anak adalah hal yang berbeda. Baginya, Jeni telah membawa kebahagiaan tersendiri, dan keberadaannya bukanlah musibah.

4. Me and My Little Rat, hal 57

Penulisnya mengisahkan satu kejadian tak terlupakan, ketika ia dan keluarganya masih tinggal di suatu perumahan milik sekolah, kala ia masih kelas 4 SD. Mereka selalu diganggu oleh tikus-tikus nakal. Telah bermacam cara diupayakan untuk meredam gangguan makhluk pengerat itu, mulai dari memasang racun hingga perangkap tikus.

Suatu siang bapaknya Getar (si penulis) melakukan tindakan kekerasan: beliau memukul tikus-tikus yang berkeliaran itu dengan pemukul kayu. Getar pun turut mengambil kayu. Ada seekor tikus kecil yang berhasil terkena pukulannya hingga tak berkutik. Tetapi ia malah jadi tak enak hati melanjutkan pukulannya.

Kemudian tikus kecil itu ia tempatkan di sebuah kardus, dan ia rawat sampai sembuh. Ya, Getar menjadikan tikus kecil itu hewan piaraan. Setelah itu selayaknya anak-anak, ia pun memamerkan si tikus di depan teman-temannya di sekolah.

Sayang, bapaknya menjadi hilang kesabaran menghadapi polah Getar. Beliau menyuruh anaknya untuk membuang tikus itu. Walaupun Getar menyukainya, faktanya tikus tetaplah tikus; hewan yang kotor dan membawa penyakit.

5. Kesetiaan Raka, hal. 91

Kata orang, kelinci jantan itu playboy. Tapi tidak berlaku untuk Raka, hewan piaraan Nikmal Abdul. Kelinci jantannya ini sudahlah mudah diurus, setia pada satu betina pula.

Ceritanya sekian lama Raka dipiara seorang diri, abangnya Nikmal berinisiatif membelikan kelinci betina sebagai teman. Betina berbulu putih itu dinamai Lily. Reaksi Raka terlihat amat senang dengan si betina. Bahkan jatuh cinta. Ini ditunjukkan dengan tingkahnya yang selalu mengekori Lily, mengendus-endus pipi, dan badannya. Sayang, cinta Raka bertepuk sebelah tangan. Namun Raka tak menyerah, terus berjuang mendapatkan perhatian si Lily.

Hingga di hari keenam, sesuatu terjadi pada Lily. Si betina tergolek lemah, tak merespon sedikit pun pada sentuhan Raka. Setelah diperiksa, ternyata Lily telah mati. 😖 Saat proses penguburan Lily, Raka terlihat tidak terima. Sampai-sampai ia harus digendong supaya tidak mengganggu.

Pasca kepergian Lily, keluarga Nikmal mengupayakan kelinci betina lain sebagai pengobat kesedihan Raka. Tapi apa yang terjadi? Meskipun mereka membelikan 2 betina baru, yang dinamai Lea dan Lily (baru), Raka tetap adem saja. Cintanya tetap untuk Lily (lama). 😩
Luar biasa.

6. Kelinci Baru untuk si Sulung, hal. 97

Kisah dari Muyassarah ini mengandung pelajaran buat para ibu termasuk aku. Terutama dalam hal menunjukkan dukungan moral dan material terhadap kegiatan positif sang buah hati.

Ketika sulungnya menginginkan hewan piaraan, sisi egois penulis membuatnya menolak mentah-mentah keinginan itu. Dalam pikirannya, anak kecil umur 6 tahun tentu belum bisa mengurus hewan tanpa melibatkan dirinya. Padahal ia sudah merasa cukup repot dengan urusan pekerjaan rumah tangga sehari-hari, tanpa harus ditambah merawat hewan yang hanya menyumbang kotoran saja.

Namun di luar dugaan. Setelah sang suami mengizinkan si sulung memiliki kelinci dengan syarat harus mau ikut mengurusnya, bocah lelaki itu mampu menepati tugasnya. Setiap hari putranya yang pendiam dan pemalu, antusias pergi sendiri ke tukang sayur membawa catatan dari orang tuanya, demi membeli pakan si kelinci. Putranya pun mau ikut membersihkan kandang kelinci. Semuanya karena si sulung tampak benar-benar menikmati interaksinya dengan si kelinci putih.

Hingga di suatu hari yang berhujan angin, si ibu ini enggan membawa masuk kandang kelinci tersebut. Alasannya karena malas membersihkan air kencing yang pasti akan tetap mengenai lantai rumah. Akibatnya keesokan harinya kelinci itu sakit, lalu mati. Dan berdukalah putra sulungnya. Ia yang menyaksikan kesedihan si sulung pun menyesal teramat sangat. 😣😥

7. Me and Dinky, hal. 145

Maitra Tara mengisahkan tentang Dinky, anjing berbulu hitam putih yang ia adopsi dari jalanan. Meskipun Dinky telah dua tahun menjadi temannya berlari-lari pagi dan sore hari, kebiasaan menggonggong anjing itu tetap menjengkelkan baginya. Ya, kebayang, sih. Wong apa aja digonggongi: anjing lain lewat, tukang pos masukin surat, tamu datang, panci dan blender tetangga berbunyi karena sedang dipake. 🙄

Nah, suatu malam si Dinky ini berisik terus, padahal anak-anak pemilik rumah sedang les. Jengkellah ia pada si anjing. Mula-mula ia hanya berseru menyuruh Dinky diam, tidak digubris. Lempar sandal ke hadapan Dinky, cuma diam sebentar terus menggonggong lagi. Puncaknya, ia memukul kepala si Dinky, barulah diam.

Tapi ada yang berubah dari Dinky. Setelah kepalanya dipukul, besoknya ia diaaaam saja. Dipanggil, nggak bereaksi. Disodori makanan dan air, nggak disentuh. Ketika Maitra memanggilkan dokter hewan, diagnosanya sehat, hanya kemungkinan si Dinky trauma karena habis dipukul.

Malam itu juga sebelum tidur, Maitra meminta maaf atas tindakan kasarnya pada Dinky. Ia elus-elus bulunya, sekaligus berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Ajaib, esok hari Dinky pulih seperti sedia kala.

Makanya, hewan pun punya perasaan ya, sobat. Mereka bisa marah, sedih, bahka merajuk jika kita bersikap kasar. Duh, aku jadi inget kisahku sendiri yang pernah membentak dan memukul Jepri waktu dia beol sembarangan di dapur. 😔 Jepri langsung kabur nggak pulang 2 hari. Aku cemaaas banget plus nyesel. Pas dia mau pulang aku segera minta maaf. Baru setelah itu tingkah Jepri normal kembali, dalam artian nggak takut sama aku.

Nah, demikian ulasanku kali ini. Selain 7 kisah di atas, tentu saja masih banyak kisah lain di buku ini yang tak kalah menarik. Semoga bermanfaat ya buat sobat semua. 😁 Oiya, berikut data bukunya:

Judul.      : Me and My Pet
Penulis   : Muhammad Getar, dkk
Penerbit : Diva Press
Cetakan. : Pertama, Februari 2018
Isi            : 148 hlm
ISBN        : 978-602-391-509-5
Harga      : Rp 38.000 (P. Jawa)

Happy reading!

#review
#ragam

Senin, 18 November 2019

Mastitis (Pernah) Menyerangku

Alat Pompa ASI biasa
Contoh Alat Pompa ASI. Dokpri


Oleh: Gita FU

Assalamu'alaikum. Semangat pagi, sobat kopidarigita!

Lama kita tak bersua, aku berdoa kalian semua dalam kondisi kesehatan yang terbaik. Mengingat kini kita tengah mengalami musim peralihan dari kemarau ke penghujan, kita wajib jaga kondisi tubuh biar nggak gampang sakit. Ya, kaaan? Aamiin.

Kali ini aku ingin bahas mastitis, terkait ceritaku bulan lalu soal eklamsia pasca persalinan Hanif. Kalo kalian belum baca, silakan cek di sini. Tapi sebelumnya, sudah tahukah kalian apa itu mastitis?

Kulansir dari situs alodokter.com, mastitis ialah pembengkakan pada jaringan payudara; terjadi pada ibu menyusui, sehingga mengakibatkan terhambatnya pemberian nutrisi pada bayi karena si ibu merasakan sakit pada payudaranya. Ditandai dengan:
  1. Payudara memar kemerahan.
  2. Sering terasa gatal di payudara.
  3. Payudara terasa perih saat menyusui.
  4. Terdapat benjolan menyakitkan di payudara.
  5. Ukuran salah satu payudara lebih besar karena pembengkakan.
  6. Puting mengeluarkan nanah.
  7. Sering merasa lelah.
  8. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening di ketiak.
  9. Demam.
Infeksi pada payudara atau mastitis bisa disebabkan oleh beberapa hal. Berikut penyebab mastitis paling umum:
a. Infeksi bakteri
    Bakteri penyebab mastitis umumnya adalah Staphylococcus dan Streptococcus yang menginfeksi jaringan payudara melalui luka di puting maupun saluran air susu. Biasanya bakteri ini berasal dari mulut bayi dan permukaan kulit payudara.

b. Saluran aliran ASI yang tersumbat
    Penyumbatan yang dimaksud adalah ketika ASI yang tersisa mengendap di dalam saluran susu. Komplikasinya dapat berupa infeksi payudara

Selain kedua penyebab di atas, beberapa faktor berikut bisa meningkatkan risiko terjadinya mastitis:
  1. Luka pada puting payudara.
  2. Menyusui hanya dengan satu payudara.
  3. Memakai bra yang terlalu ketat.
  4. Kelelahan.
  5. Gizi kurang.
  6. Frekuensi menyusui yang tidak teratur.
  7. Pernah mengalami mastitis di masa lalu.
Bagaimana, sudah dapat gambaran ya, tentang apa itu mastitis. Kalau bahasa Jawa-nya lebih dikenal dengan istilah 'mrangkaki' yang bikin meriang. Benar-benar luaarr biasssaa enaknya! Dan aku pernah merasakan nikmatnya terkena mastitis itu. Kapan? Ketika terbaring di ranjang rumah sakit akibat terkena eklamsia. 😐

Ritual Baru: Memompa ASI


Bayi Hanif terpaksa diberi minum sufor selama terpisah dariku. Padahal produksi ASI-ku sedang lancar-lancarnya. Terus bagaimana, dong? Seorang perawat di ICU memberikan saran: perah ASI-nya lalu dibuang, memakai pemompa ASI. Mendapat saran itu, suamiku segera ke apotik membeli alat pompa ASI model klasik (seperti pada gambar di atas). Lantas di bawah pengarahan sang perawat, suamiku membantu memerah ASI, lalu menampungnya ke gelas plastik. Aku cuma bisa terdiam ketika ia melakukan hal itu. Karena untuk memerah sendiri aku belum sanggup, posisiku yang setengah rebahan plus selang infus di tangan kanan, betul-betul menghalangi gerakan.

Ketika aku melihat banyaknya ASI yang tertampung di gelas, dan membayangkan itu terpaksa dibuang, benar-benar membuat hatiku sedih. Ya, Rabb....

Jadi begitulah rutinitasku selama rawat inap. Setiap beberapa jam Pak suami akan mengingatkan bahkan membantuku untuk memompa ASI. Aku sungguh bersyukur atas ketelatenan suami. Jika tak ada dia, kemungkinan besar aku sudah menyerah. Karena proses memompa itu begitu membosankan dan melelahkan. Belum ditambah rasa nyeri akibat kateter, atau jarum infus yang tak sengaja tertarik. 😥

Bagaimana Mastitis Menyerangku


Waktu itu aku dilanda perasaan sedih, dan gulana. Aku ingat bayiku, serta Farhan dan Hanna di rumah. Aku juga merasa kasihan melihat wajah lelah dan kurang tidur suamiku. Belum lagi terbayang Simbah, adik-adik ipar, yang ikut kurepoti. Aih, pokoknya mellow. Dan perasaan negatif ini sungguh tak terbendung. Padahal tinggal dua hari lagi aku (katanya) akan diperbolehkan pulang dan rawat jalan. 

Perasaan negatif tersebut membuatku abai  memompa ASI, padahal sudah waktunya. Ndilalahnya, tak ada Pak suami yang biasanya mengingatkan. Kalau nggak salah ingat, dia sedang pulang menengok anak-anak. Maka terjadilah....

Tiba-tiba aku merasa kedinginan hingga menggigil dan meringkuk. Selimut kutarik menutupi seluruh tubuh, tapi tetap terasa dingin. Payudaraku mengeras, sakit sekali.  Alhamdulillah, tak lama kemudian suamiku masuk ke ruangan. Dia kaget melihat kondisiku. Apalagi setelah meraba dahiku yang panas. Bergegas dia memanggil perawat.

Mbak suster sigap memeriksa keadaanku. Lalu dia bertanya, "Ibu sudah memompa ASI?" Kujawab dengan gelengan. "Pantas! Ibu terkena mastitis ini!" Lalu mbak suster menerangkan pada kami, sambil menyuntikkan obat.

"Sudah saya kasih obat, Pak. Tapi nanti tetap dipompa ya, Bu, ASI-nya. Dikompres air hangat juga boleh, Pak. Biar cepat reda demamnya," saran mbak suster.

Tanpa menunggu lama, Pak suami segera mencari air panas ke ruang ICU. Dia ingat sewaktu aku dirawat 2 hari pertama, di kamar mandinya ada shower air panas. Berbekal 4 botol Aqua dia menampung air panas secukupnya. Setelah itu botol-botol itu dikompreskan ke punggung, dada, perut, dan telapak kaki. Alhamdulillah setelah beberapa waktu, suhu tubuhku normal kembali dan demamnya reda.

Kemudian sambil menahan nyeri, ASI-ku kembali dipompa. Pak suami sempat mengomeliku yang katanya 'nglalu'. "Ingat Hanif, Mi, jadi ayo semangat biar cepat sembuh," begitu katanya. Aku cuma bisa terdiam malu.

Syukurlah drama mastitis tersebut tak berlangsung lama, berkat kesigapan Pak suami dan tenaga medis di bangsal Mawar RSUD Cilacap. Aku tidak akan mampu membalas semua kebaikan yang telah mereka berikan. Biarlah itu menjadi urusan Allah yang Mahacinta. 

Demikianlah kisahku, semoga sobat kopidarigita bisa mengambil hikmah dan pelajarannya, yaa. Sampai jumpa di postingan berikutnya. Salam! (*)

Cilacap, 181119

#kontemplasi
#memoar


Rabu, 25 September 2019

Eklamsia, 2 Minggu Pasca Persalinan Hanif

papan informasi di Ruang ICU RSUD Cikacap. foto: dokpri



Assalamualaikum. Semangat pagi, Sobat semua!

Ada kalanya pengalaman yang tidak menyenangkan meninggalkan semacam trauma dalam benak kita. Wujud trauma itu bisa macam-macam, ada yang jadi parnoan--alias paranoid, ada yang jadi amnesia sementara, ada juga yang denial--alias sibuk menyangkal pengalaman itu, dan lain-lain. Sebenarnya mengatasinya itu 'mudah', yaitu dengan bercerita. Karena saat bercerita, sesungguhnya kita sedang mengurangi kengerian/ketakutan/kesedihan pribadi, supaya lebih ringan ditanggung. Iya, nggak?
Tapiiiii, bercerita pun butuh keberanian. *Ahelaah, jadi gimana, dong? Yaaaa, harus diberani-beraniin. Cari orang yang mampu menumbuhkan keberanian kita. Hehehe. Maaf, ya, sobat kalau aku mbulet. Aku kan bukan motivator. :p

Aku sendiri butuh waktu cukup lama untuk pikir-pikir sebelum menuliskan pengalaman ini di blog. Kalau cerita ke teman yang dipercaya sih, udah, ya. Dia juga sih yang ngedorong aku buat sharing. Katanya, siapa tahu pengalamanku bermanfaat buat orang lain.  *sigh. Saking lamanya mikir dan maju mundur, nggak terasa sudah lewat setahun. *Tepok jidat.
Jadiii, inilah dia pengalamanku setahun lalu. Semua berhubungan dengan kelahiran anak nomor tiga, si bontot Hanif. Disimak ya, Sobat!

Awal Mula

Kita mulai dari kisah persalinan Hanif.
Aku mulai rawat inap sejak Rabu, 5 September 2018. Sementara jadwal operasinya hari Kamis, 6 September 2018. Dokter kandungan yang menanganiku adalah Dr. Supadmi, Sp. Og. Beliau orang Sampang, Cilacap, masih tetangga desa dengan mbak Erin Cipta. Usia kandunganku 38 Minggu 4 hari, Alhamdulillah sudah pas menurut pemeriksaan dokter. Dan insyaallah dengan kelahiran si bontot ini maka jadi penutup kehamilan pula bagiku. Karena riwayat persalinanku by Cesar semua, maka 3 kali operasi adalah batas maksimalnya. Kondisiku akan kian menurun dibanding yang dulu. (Ini bakal terbukti kemudian).

Singkat kata, aku pulang membawa bayi Hanif pada tanggal 10 September 2018. Setelah di rumah drama baru sudah menunggu.
Punya bayi lagi tentu saja menguras fisik dan emosiku. Semua itu ditambah ada dua anak yang sedang pinter-pinternya bikin ngelus dada: Farhan kelas 6, Hanna baru TK. Masih bersyukur ada Mbah buyut uti yang meringankan pekerjaan rumah, dan suami yang kerjanya fleksibel sehingga bisa membantu, tapi tetap saja aku mengalami shock. Kurang tidur, ditambah spaneng, ditambah ini-itu akhirnya membuat kepalaku sakit.

Aku ingat, hari Rabu 19 September itu kepalaku mulai pening kayak mau pilek. Tapi masih kuabaikan. Eh, Kamisnya makin parah. Rasanya seperti dipalu kepalaku, sakiiit banget. Sempat mengira ini cuma masuk angin biasa, jadi saat suami istirahat pulang siangnya aku minta dikerokin. Setelah  itu dia berangkat jualan lagi. Tapi meski sudah dikerokin, tetap nggak ilang sakit kepalaku.  Malah semakin parah. Bersyukur sekali paksu pulang jualan  jam 5, karena biasanya habis magrib baru selesai. Si Mbah langsung melaporkan sakit kepalaku ini ke paksu. Tanpa ba-bi-bu dia langsung nurunin gerobak leker, terus ngajak aku ke klinik Pratama di jalan Krawang Sari. Anak-anak ditinggal semua sama Simbah. Duh, sepanjang perjalanan aku cuma bisa menelungkupkan muka ke punggung paksu.

Sampai di klinik aku antri sebentar, sekira seperempat jam. Tiba giliranku diperiksa, aku ceritakan sakit kepala hebat disertai pandangan memburam. Aku  juga bilang bahwa dua minggu sebelumnya operasi Caesar. Bu mantri menyuruhku baring di dipan, terus aku dikasih obat pereda  sakit via anal. Anehnya, sakit kepalaku makin menjadi-jadi. Tak lama aku seperti hilang kesadaran.

Sudah di Rumah Sakit

Aku siuman kala mendengar samar-samar percakapan orang-orang di sekelilingku. Lalu seperti ada yang memanggil-manggil namaku. Kala kubuka mata, rupanya itu suara paksu dan adik iparku Santi. Kemudian ada beberapa orang lagi, mereka tengah melepas jaketku. Spontan aku ingat bayi dan anak-anakku. Langsung kutanyakan pada Santi dan dijawab semua baik-baik saja, sudah ada yang bantu menangani di rumah, jadi aku tak usah khawatir. Lalu rasa sakit di kepalaku datang lagi. Selanjutnya aku kembali tak sadarkan diri.

Beberapa saat berlalu, aku sadar kembali. Kali ini suasana gelap. Rupanya aku sedang berada di dalam mobil ambulans didampingi paksu, yang tak henti-hentinya berzikir di telingaku sembari memanggil-manggil namaku. Katanya, "Kuat, ya, Mi. Insya Allah kamu kuat. Sabar ya, kamu mau ditolong. Kita mau ke ICU naik ambulans. Istighfar, Mi."
Aku hanya diam, lalu kembali tak sadar.

Ketika kembali siuman, aku sudah di atas ranjang ruang ICU. Ada selang oksigen di hidung, lalu alat entah apa menempel di dada, infus yang berbeda dari yang pernah terpasang saat aku operasi cesar, dan pemindai entah apa dijepitkan di ibu jariku; belum lagi kateter yang sudah terpasang, mengganggu gerakku. Suara-suara statis dan dengungan mesin semakin menambah perbedaan ruangan ICU dengan ruang rawat inap biasa. Aku bingung, kenapa kondisiku jadi begini. Sakit di kepalaku pun masih terasa kuat. Suamiku banyak tersenyum menenangkan sambil terus melantunkan  zikir. Aku kembali memejamkan mata.

Beberapa kali aku terbangun akibat sakit yang masih mendera. Suamiku sigap membantu membenarkan posisi bantal. Belakangan aku baru ngeh, bantal itu dibawakan oleh Aa', anak sulung Santi. Sempat pula suamiku bertanya, dari keluargaku siapa yang patut dikabari. Kujawab, lebih baik mengabari Agung terlebih dahulu. Aku khawatir reaksi orang tuaku jika diberi tahu kondisi saat itu; pasti panik, dan makan pikiran mereka. Setelah itu aku tertidur lagi.

Lewat tengah malam, kalau nggak salah jam 2 dini hari, barulah aku bisa mengobrol lebih enak Karena sakitku  mulai reda. Aku minta diceritakan apa yang telah terjadi. Paksu pun menjelaskan kejadian sejak di klinik. Setelah Bu mantri menyuruhku berbaring miring usai diberi obat, tiba-tiba aku mengalami kejang-kejang lalu koma di sana. Bu Mantri panik, buru-buru menyuruh paksu membawaku ke IGD. Suamiku berpikir dan bergerak cepat. Ia langsung menuju rumah salah satu pakliknya yang masih di sekitar klinik itu.

Ketika itu pakliknya--Lik Adman--beserta istri tengah menghadiri undangan pernikahan (untunglah masih di dekat-dekat klinik). Begitu paksu mendatangi dan meminta tolong, sontak beliau berdua bergegas menyiapkan mobil angkotnya  lalu menjemputku ke klinik. Sementara paksu buru-buru pulang ke rumah, memberitahu Simbah apa yang terjadi sekaligus meminta tolong Santi untuk ikut ke rumah sakit.

Aku dibawa ke IGD RSUD Cilacap. Di situ para perawat memberi pertolongan pertama, berupa suntikan lewat infus. Seperti kutulis di atas, aku sempat siuman dan mendengar suara Santi dan suami. Namun aku kembali kejang-kejang disusul jatuh koma. Hal tersebut membuat dokter memutuskan aku harus menginap di ICU. Ya Allah...


infus dan pemindai detak nadi di tangan saya

"Bagaimana dengan Hanif, Bi?" tanyaku lirih. Kasihan sekali bayiku. Padahal dia masih butuh ASI.

"Sudah nggak usah khawatir. Hanif dirumat Santi. Farhan dan Hanna sama Mbah uti," balas suamiku. "Yang penting kamu cepat sehat, ya."

"Tapi Hanif kan masih mimik ASI? Apa ASI-nya Az diperah terus kasih ke dia?"

"Nggak usah, Mi. Kata dokter ASI-mu mengandung obat. Udah nggak apa-apa, ya? Bayi kita minum sufor sementara ini." 

Duh, sedihnya aku. Terpisah dari si bayi seperti ini... Suamiku terus menenangkan dan menguatkan hatiku. Ia menyuruhku banyak zikir supaya tenang. 

"Memangnya Umi kenapa, Bi?" tanyaku lagi. 

"Kata dokter kamu kena eklamsia, Mi."

"Lha? Tapi kan Umi udah lewat 2 minggu dari persalinan, Bi!"

"Ya nggak tahu, Mi. Abi nggak tanya-tanya. Udahlah kamu istirahat lagi, ya?"

Aku diam. Ketika melirik jam dinding, baru ingat ini sudah amat larut. Suamiku pun perlu tidur, karena wajahnya terlihat sangat lelah. Akhirnya kuminta paksu tidur. Tubuhnya perlu dijaga kondisinya.

Mengenal Eklamsia 

Aku berusaha mencari tahu apa itu eklamsia dari perawat yang datang memeriksa. Singkatnya, eklamsia adalah kegawatdaruratan medis berupa kejang dan koma yang dialami bumil. 

Sobat mungkin pernah membaca atau mendengar atau melihat, bumil dengan riwayat darah tinggi atau kakinya bengkak dikategorikan kehamilan risiko tinggi. Karena memang itu ciri-ciri pre-eklamsia secara umum. Tapi pre-eklampsia nggak selalu diikuti kejang. Sedangkan yang kualami justru terjadi setelah melahirkan. Saat diperiksa kemarin di IGD, tensiku tinggi, 160/80-an. Itu terlalu tinggi buatku karena  biasanya aku hipotensi (tensi rendah).  Apa penyebab pastinya? Hingga sekarang belum diketahui secara pasti.

Oh, satu lagi. Penderita eklamsia pun dikenali lewat kadar protein yang tinggi di dalam urin-nya. Itulah sebabnya aku dipasangi kateter dan air seniku diperiksa secara berkala, demi memantau si protein yang nggak seharusnya ada di situ.

Mungkin itu pula penyebab aku dipantau ketat oleh tiga dokter spesialis: obgyn, saraf, penyakit dalam. Dua hari dua malam di ICU, dua hari dua malam berikutnya aku dipindahkan ke bangsal pengawasan kebidanan,  dan tiga hari sisanya kuhabiskan di ruang rawat inap biasa (bergabung dengan para bumil dan yang baru melahirkan). Untuk memastikan tak ada masalah di syaraf otak, aku pun sempat menjalani satu kali CT Scan.

Ada banyak kisah haru, senang, gembira, kualami selama mondok gara-gara eklamsia ini. Pinginnya sih kutulis terpisah, mungkin kapan-kapan, yaaa.
:)

Hikmah di balik Musibah

Hmm, yang jelas aku merasa masih diberi kesempatan kedua untuk membersamai keluarga. Kesempatan untuk melihat serta mengasuh anak-anak; menghargai arti kehidupan; memperbaharui ikatan kasih sayang dengan paksu, setelah melihat sendiri bagaimana ia berjuang untuk menjaga kami sekeluarga; dan memandang positif pada siapa pun. Sobat, orang-orang berhati emas itu banyak, lho, di sekitar kita. Kita cuma perlu membuka mata, hati, dan telinga saja buat mengetahui itu semua. Kalau boleh meminjam kalimat Dea Anugrah: 'Hidup ini begitu indah dan hanya itu yang kita punya'. Yes, it's true.
Alhamdulillah ala kulli hal.

Dan Salman Hanif Rosyid, kamu spesial, Nak.

Sampai di sini dulu cerita yang bisa aku bagikan, sobat. Semoga bermanfaat. Sampai jumpa di postingan berikutnya. Insya Allah.

Ps: thanks Rain Fello, chat kita di messenger setahun lalu jadi modal tulisan ini. Thanks Aci 'Maitra Tara' untuk keberanian yang kamu tularkan. Thanks buat teman-teman di WAG Sastra Populer: Mbak Ajeng, mbak Lusi, Mbak Riku, mbak Arum, dan Mbak Rosi. Tak ketinggalan Makasih buat Arwen.

Senin, 05 Agustus 2019

[Resensi] Resep Keakraban Keluarga Baduy



(Telah dimuat di Rubrik Pustaka Harian Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 26 Mei 2019)



Oleh: Gita FU

Judul Buku.     : Belajar Membaca Kegelapan
Penulis.            : Encep Abdullah
Penerbit.          : Gaksa Enterprise
Cetakan.          : Pertama, Maret 2019
Tebal                : ix+95 halaman
ISBN.                : 978-602-5906-40-4

Apakah  kehadiran sumber energi listrik meningkatkan kualitas hidup? Mungkin sebagian besar kita akan menjawab dengan yakin: ya, tentu saja. Dengan listrik hidup  manusia terasa  makin mudah. Terbukti oleh bermunculannya aneka piranti elektronik yang memanjakan: penanak nasi listrik, mesin cuci  baju,  kompor listrik, sepeda listrik, lemari pendingin, televisi,  dan lain sebagainya. Namun benarkah selalu demikian?

Encep Abdullah seorang guru di SMK Muhammadiyah Pontang, Banten, sekaligus seorang penulis muda, menyenaraikan buah pikirannya  melalui esai-esai yang cukup bernas. Untuk masalah listrik di awal tadi, ia mengajak pembaca melakukan studi kasus (Belajar dari Sekolah dan Suku Baduy, halaman 17).

Suatu ketika terjadi mati listrik di daerah tempatnya tinggal. Kemudian ia berangkat ke sekolah tempatnya mengajar, yang mana hari itu akan ada pembagian rapor siswa. Ternyata di sekolah suasana begitu riuh. Rekan-rekannya sesama guru sibuk menyalahkan PLN, karena menyebabkan tidak selesainya pekerjaan mereka. Mulai dari printer yang mati padahal rapor belum selesai diisi, hingga matinya penanak nasi elektrik sehingga masak nasi menjadi lebih lambat.

"Padahal, bukankah dulu tak ada listrik, hidup terus berlangsung. Tak ada lampu, hidup terus berlangsung" (halaman 19).

Penulis lalu teringat suku Baduy (Rangkasbitung) yang pernah ditandanginya. Di sana tak ada listrik, berkat kearifan lokal yang masih dijaga. Begitu magrib kegelapan menyelimuti rumah-rumah. Hidup mereka sungguh bersahaja. Namun justru kehangatan dalam keluarga muncul. Antar anggota keluarga terasa akrab dan dekat; sehari-hari mereka saling bekerja sama, tiada ketergantungan pada peralatan elektronik.  Sungguh sebuah ironi.

Pada esai berjudul "Anak-anak yang Dewasa Sebelum Waktunya", penulis mengkritisi kelangkaan acara khusus anak di televisi (halaman 12). Acara televisi didominasi sinetron dan hiburan musik dangdut sejak petang hingga pukul sepuluh malam.  Akibatnya anak-anak ikut menonton dan terpapar hal yang belum layak bagi mereka. Solusinya menurut penulis, kembali pada pola pendidikan dalam keluarga.

Empat belas esai lainnya menarik pula disimak. Ada yang menyoal dunia sastra dan literasi, serta dunia pendidikan. Sesuai dengan bidang si penulis: guru dan penulis. Setidaknya buku sehimpun esai ini bisa dijadikan referensi pemikiran bagi pembaca umum. (*)

Cilacap, 180419

Rabu, 24 Juli 2019

[Cerma] Tanpa Ibu



(Terbit di Mingguan Minggu Pagi--KR Grup)


Oleh: Gita Fetty Utami

Pembacaan tahlil dan doa selepas isya belum lama  usai. Para tetangga telah berpamitan pulang semua. Menyisakan Ayah bersama beberapa kerabat yang masih bercakap-cakap di ruang tamu. Kiara segera beranjak masuk ke kamarnya. Ia rebahan menatap langit-langit dengan mata sembab, sembari memeluk bantal guling. Rasa-rasanya ia sulit percaya Ibu telah tiada dan dimakamkan tadi siang.

"Ibu," rintih remaja kelas dua SMP ini.

Benaknya kembali memutar rekaman peristiwa, saat tadi pagi Om Tanto ke sekolah dan meminta ijin ke kantor guru untuk menjemputnya. Kiara cemas karena adik ibunya itu memasang raut wajah tegang. Namun tak ada penjelasan lebih jauh ketika ia bertanya, selain mengatakan Ibu ingin bertemu.

Sepanjang perjalanan bermotor dari kompleks sekolah berasrama menuju rumah, Kiara terpaksa menebak-nebak sendiri. Apakah kondisi Ibu melemah lagi? Namun  jika demikian, seharusnya Ibu dibawa  ke rumah sakit, bukan? Kenapa Ibu malah memintanya pulang? Aduh, hati Kiara seperti digoreng minyak panas saking gelisahnya. Kemudian baru ia sadari Om Tanto mengebut dan mengambil jalan-jalan pintas agar lekas sampai.

Di jalan masuk menuju rumah, Kiara melihat beberapa tetangga duduk di teras rumah. Mendadak Kiara disergap ketakutan tak bernama. Begitu motor berhenti, Kiara langsung meloncat turun, masuk terburu-buru.

Di kamarnya Ibu terbaring dengan mata terpejam. Ayah tak henti-henti membisikkan kalimat syahadat ke telinga kanan Ibu, menuntun beliau mengucapkannya. Andini, kakak Kiara, terisak-isak di kaki ranjang. Menyaksikan pemandangan itu membuat tubuh Kiara kehilangan bobot. Ia segera menubruk  wanita yang melahirkannya itu.

"Ibu kenapa?" pekiknya. "Bangun, Bu! Ini Kia!"

Ajaib. Mata Ibu membuka, lalu menatap Kiara. Dengan terpatah-patah ibu bicara. "Ki-a. Nak, ka-mu yang kuat, ya? Ja-ga iba-dah-mu. Ibu sa-yang Ki-a." Setelah itu mata Ibu kembali menutup meskipun Kiara dan Andini bergantian memanggil.

"Innalillahi wa innailaihi rajiun," ucap Ayah lirih. "Ibu sudah pergi, anak-anak." Pecahlah tangisan mereka sekeluarga.

Kiara mengusap lelehan air matanya yang semakin membanjir. Kata Ayah, tiga hari sebelumnya dada Ibu sesak. Namun Ibu sama sekali bergeming saat hendak dibawa kontrol ke rumah sakit. Ibu bersikeras tetap di rumah dan minum obat rutin seperti biasa. Hingga akhirnya tubuh Ibu ambruk. Kiara sama sekali tak diberitahu justru atas permintaan Ibu. Beliau mempertimbangkan persiapan Kiara menghadapi ujian akhir semester.

"Ibu, Kia sebatang kara sekarang," isaknya lagi. Gadis ini makin tenggelam dalam kesedihan. Ia sibuk meratapi nasib. Hingga tak mendengar suara ketukan di pintu.

"Kia, rupanya kamu di sini," sapa Andini. Gadis yang lebih tua dua tahun dari Kiara ini duduk di pinggir ranjang, menatap prihatin pada adiknya. Kiara langsung menutupi wajah dengan bantalnya.

"Kia, Kakak paham kamu sedih. Kakak juga amat kehilangan Ibu...."

"Mana mungkin Kak Dini paham! Kia bukan cuma sedih Ibu meninggal, tapi juga kecewa nggak ada di samping Ibu saat sakit! Kenapa, sih, Kia jadi orang terakhir yang dikabari? Padahal yang anaknya Ibu, tuh, Kia, bukan Kak Dini!" sembur Kiara tiba-tiba. "Dan sekarang Kia jadi yatim piatu, tahu!"

Andini terperenyak. Ia menghela napas, meredakan gejolak perasaannya sendiri. Adiknya sedang emosi, percuma dilawan dengan kata-kata. Andini membenahi rambut panjangnya, sebelum mulai bicara lagi.

"Kamu ingat pertama kali kita bertemu? Saat itu kamu kelas 1 SD dan Kakak kelas 3. Tiap melihat Kakak, kamu seperti malu-malu. Kakak juga bingung mau ngobrol apa. Sedangkan Ayah menyuruh Kakak untuk akrab denganmu. Eh, untung ada si Sentaro, ya?"

Kiara tetap membisu. Namun diam-diam ia pun mengenang masa itu, ketika ibunya baru menikah lagi dengan ayahnya Andini. Sentaro kucing belang tiga milik Andini menjadi pencair kecanggungan mereka. Lambat laun Kia dan Andini akrab selayaknya saudara kandung.

"Kamu tahu nggak, Kia? Waktu ayah menyatakan hendak menikah lagi, sebetulnya aku takut! Orang-orang bilang ibu tiri kejam, hanya sayang sama ayah saja. Tapi Ayah meyakinkanku akan kebaikan hati Bu Tyas, ibumu. Ayah bilang nggak mungkin menikahi wanita yang nggak sayang sama anak. Dan ternyata Ayah benar," ucap Andini lagi. "Kasih sayang ibu yang tulus mampu menyembuhkan trauma akibat perlakuan kasar mama kandungku."

Kiara terperangah. Ia tak tahu bagian itu. Ibu hanya mengatakan bahwa Kak Andini anak yang tabah, dan patut disayangi sepenuh hati. Cara Ibu memperlakukan mereka begitu luwes, sehingga Kiara tak merasa keberatan berbagi kasih sayang. Demikian pula sikap Pak Rinto, ayahnya Andini, kepada Kiara, penuh perhatian dan pengayom. Pendek kata mereka berempat dapat saling berbaur dan mengisi tanpa kesulitan berarti, selayaknya keluarga utuh.

Tangis Kiara  berhenti. Andini menyadarinya. Lembut disentuhnya bahu adiknya itu. Kiara tak menampik.
"Kia, tanpa Ibu, kamu tetap adikku,  Ayah tetap ayahmu. Kita satu keluarga. Ya?" Andini merengkuh tubuh Kiara ke dalam pelukan. Mereka kini berbagi kekuatan. (*)

Cilacap, 270519

Catatan penulis: cerma ini saya tulis setelah ibu saya Anneke Dewi meninggal tanggal 3 Mei. Meskipun beliau bukan ibu kandung saya, tetapi segala kebaikannya tersimpan rapi dalam ingatan saya.

Kamis, 11 Juli 2019

Radio Yes FM Cilacap Peduli pada Gerakan Literasi



Assalamu'alaikum, apa kabar sahabat kopidarigita? Semoga kita semua selalu dalam kondisi terbaik untuk beraktivitas positif, yha. Aamiin.

Hari Sabtu, 6 Juli 2019 lalu, radio Yes FM Cilacap mengudarakan edisi perdana program terbarunya: Suara Literasi dari jam 9-10 pagi. Program ini bertujuan untuk mendukung gerakan literasi di Cilacap dan mengapresiasi karya-karya para pegiat literasi. Acaranya dikemas dalam bentuk dialog interaktif yang santai, serta membuka keran tanya jawab dari pendengar kepada narasumber.

Saya mendapat kehormatan untuk tampil di edisi pertama tersebut, selaku penulis dan blogger. Selain saya, telah diundang juga pihak Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah (Arpusda) Cilacap, serta Toko Gramedia Cilacap; masing-masing diwakili oleh Pak Budi Setyono, pustakawan berprestasi, dan Mbak Mahayanti, Head Outlet Gramedia Cilacap. Dipandu Mas Sandy sang penyiar, kami memperbincangkan literasi dari sudut pandang Arpusda, toko, dan penulis. Sungguh luar biasa.

Dari ki-ka: saya, mbak Yanti, Mas Sandy, Pak Budi. Dok. Sandy

Tapi sebenarnya saya grogi, lho! Iya, saya biasa berada di balik layar, berkutat dengan kata-kata. Eh, tiba-tiba berada di balik mikropon dan didengar banyak orang. 🙈. Untunglah suara saya cukup merdu. *Hahaha!* Sahabat bisa melihat cuplikan siaran kami di tautan ini: rekaman siaran suara literasi.

Baca juga: Geliat Pegiat Literasi Cilacap.

Usai siaran, saya sempat melakukan wawancara mini dengan Mas Sandy, perihal radio Yes FM ini. Ya, kan saya penasaran ingin tahu profil radio keren ini. Apalagi saat Mas Sandy menyebut usia stasiun radio ini sebentar lagi 41 tahun! Sahabat sekalian so pasti sama penasarannya dengan saya, kan? Yuk, simak terus.

Sejarah Singkat Radio Yes FM Cilacap


Profil Yes FM. Sumber: Google

PT. Radio Swara Yasfi Indah adalah nama perusahaan yang menaungi radio ini. Radio Yasfi, itulah namanya semula, resmi beroperasi pada tanggal 10 Oktober 1978 sebagai radio swasta pertama di Cilacap. Kantor pertamanya berada di Jl. Kalimantan, dan masih memakai frekuensi AM.

Tahun 1992 kantornya pindah ke Kawasan Industri. Lalu dua tahun berselang radio Yasfi mulai memakai frekuensi 103, 35 FM.

Mereka semakin mendapat penggemar setia, hingga nama 'Yasfi' dirasa perlu diganti. "Kalau orang Sunda sering terpeleset menyebut 'Yaspi'," urai Mas Sandy.

Di tahun 2005 manajemen akhirnya memutuskan nama baru, yaitu Yes FM dengan tagline: Kebanggaan Cilacap, sekaligus pergeseran frekuensi menjadi 104, 2 FM. Kedua hal itu bertahan hingga sekarang.

Pada tahun 2008, sekali lagi radio Yes FM pindah alamat. Kali ini mereka pindah ke Jl. MT. Haryono, berseberangan dengan Komplek Pertamina/Komperta Donan. Lalu menyusul diversifikasi usaha, bangunan tersebut dibagi 2 lokal. Ruangan yang lebih lebar digunakan sebagai toko retail berbasis kemitraan. Sedangkan sisanya dipergunakan untuk stasiun radio hingga kini.

Kantor dan studio Yes FM Cilacap.


Program-program Radio Yes FM Cilacap

Siaran radio berlangsung sejak pagi hingga malam. Sementara acara-acara yang mereka jalankan dibagi 3 kelompok: reguler, Sabtu, dan Minggu. Ini dia susunannya:

1. Hari Senin-Jumat/Reguler
MQ pagi*, semangat pagi, beranda keluarga, yes talkshow, Gendu2 Rasa, Digoda Pantun, Cilacap Hari ini, Kajian Islam, Salam Sahabat, Goyang Gayeng;

(Keterangan: program MQ Pagi merupakan siaran relay dari MQ FM Bandung, tiap jam 5-6 pagi).

2. Hari Sabtu
Semangat Pagi, Salam Literasi*, YeSinema**, Gita Nostalgia, Kidung Pasundan, Goyang Tarling, Pesan Sang Dai (Zainuddin MZ), Gudril Banyumasan, Wayang Kulit;

 (Keterangan: * dan ** adalah program terbaru)

3. Hari Minggu
MQ Pagi, Dunia Anak, 100% Iwan Fals, Keroncong Kita, Dasa Tembang Jawara, Minggu Mandarin, 1 jam bersama, Rock Indo, Share & Relax.

Membicarakan radio dan programnya tentu tak lengkap tanpa sang penyiarnya. Sosok di balik ruang siar yang setiap hari menyapa pendengar setia. Saya pun menyempatkan untuk sedikit mengulik profil Mas Sandy.

Pria asli Bumiayu kelahiran tahun 1981 ini mengakui nama aslinya ialah Slamet Riyadi. Ia mengawali karirnya di radio Bumiayu Swara Indah pada tahun 2001. Dua tahun kemudian saat radio Yasfi Cilacap membuka lowongan kerja sebagai penyiar, ia ikut melamar dan bersaing dengan +/- 50 orang lainnya. Ajaib, ia satu-satunya yang diterima.

"Ternyata dari semua pelamar, cuma saya yang (berinisiatif) menyertakan kaset berisi rekaman suara," terang Mas Sandy perihal keajaiban itu. Hmm, pantaslah diterima. Karena apa yang dulu dilakukannya mengisyaratkan keseriusan bekerja, serta sisi kreativitas yang diperlukan di bidang penyiaran. Begitulah kata batin saya dengan sok tahu.

Di Cilacap inilah Mas Sandy menemukan belahan jiwanya, Titis Tri Hapsari. Ia lalu menikah pada tanggal 26 September 2009. Kini ia dan istrinya dikaruniai 2 orang anak berusia 9 dan 4 tahun.

Mas Sandy dan keluarganya. Foto: profil WA


Ia sempat memutuskan off dari Yes FM di tahun 2016. Kemudian pria ini bergabung dengan sebagai kontributor berita di RRI Purwokerto-Banyumas. Tetapi tak lama kemudian, tepatnya di tahun 2018 ia kembali ke radio Yes FM Cilacap. Kali ini ia memegang posisi sebagai station manager. Sedangkan posisinya di RRI Purwokerto tak berubah, masih sebagai kontributor.

Selama belasan tahun menjadi 'orang radio' tentulah ada suka dan duka yang dialami Mas Sandy. Yang paling diingatnya sebagai masa duka adalah saat-saat menjadi penyiar baru di Yasfi Cilacap.

"Saya waktu itu masih culun, grogi ketika on air. Bahkan pernah juga ditelpon Bos supaya turun dari ruang siar. Katanya siaran saya jelek banget!" kenangnya. "Tapi bagaimanapun karrna profesi penyiar memang sesuai passion, ya saya bisa melewati semua dengan rasa suka yang lebih besar!"

Nah, kan, Sahabat, sekali lagi passion alias hasrat berbicara banyak jika menyangkut pilihan pekerjaan. Apapun rintangan insyaallah bakal terasa ringan atau bisa dihadapi dengan enjoy, asalkan sejak semula selaras dengan pilihan hati. *Tsssaah!* Saya setuju ini. 😄.

Demikianlah cerita saya kali ini. Semoga ada manfaatnya, entah banyak, entah sedikit, bagi pembaca. Salam literasi! (*)


Keterangan:
Instagram radio Yes FM: @yesradiocilacap
Facebook: Yes Radio Cilacap.




Senin, 01 Juli 2019

Gramedia Cilacap yang Dirindukan

Logo Toko
Logo Toko Gramedia Cilacap. Foto: Lina Sophy

Pada hari Sabtu, 29 Juni 2019, saya dan teman-teman perwakilan Blogger Cilacap--mbak Lina Sophy, mbak Sukarni, mbak Betty, Mas Victor, dan Kak Ojo--diundang dalam acara pembukaan resmi toko Gramedia Cilacap. Saya pribadi merasa antusias. Maklumlah, sebelum ini kami warga Cilacap harus pergi ke kota tetangga jika ingin menyambangi toko ini. Dan itu lumayan jauh, Markonah! Makanya tak berlebihan rasanya kalau saya bilang toko Gramedia sudah lama dirindukan kehadirannya.

Nah, gerai di Cilacap ini merupakan gerai ke-118 dari seluruh cabang Gramedia yang berpusat di Jakarta ini. Kota Cilacap dipandang memiliki banyak potensi dari sisi ekonomi, pariwisata, dan pendidikan. Sehingga membuat pihak Gramedia tak ragu membuka tokonya di sini. Lokasi yang dipilih adalah ruko 2 lantai jalan Gatot Subroto no 49 C-D, diapit BTPN dan Aromania cafe and resto.

Selain itu pembukaan gerai juga sejalan dengan misi Gramedia; yaitu berperan dalam usaha mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan bangsa melalui penyebaran informasi dan pengetahuan. Atau lebih ringkasnya: memajukan literasi di Cilacap. 

Sebagai sebuah toko, Gramedia kini tak hanya menyediakan buku-buku baik fiksi dan non fiksi. Mereka juga menambah lini penjualan: alat-alat tulis, barang-barang TI, hingga tas dengan label privat. Kesemuanya merupakan barang berkualitas baik. 
"Kami menjual palu gada, 'apa lu mau gua ada'", ucap Bapak Guntoro selaku General Manager area Jateng dan DIY, dalam kata sambutannya.

Jajaran direksi PT Gramedia Asri Media dan tamu undangan. Foto: Victor


Bapak Supriyanto, Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Cilacap. Foto: dokpri.



Bapak Supriyanto, kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Cilacap, dalam sambutannya menitipkan harapan semoga kehadiran Gramedia dapat menjadi daya ungkit bagi gerakan literasi di masyarakat saat ini.  Karena dari hasil survei minat baca masyarakat Infonesia masih diangka 0,05. Dan informasi literasi sebagian besar diakses dari berita elektronik yang tingkat kevalidan masih dipertanyakan. Kita tidak bisa menutup mata dari banyaknya berita hoaks dan karena itulah butuh media fisik seperti buku untuk dijadikan sumber informasi.

Sementara itu  puluhan bahkan ratusan orang datang berkerumun di lokasi. Pihak Gramedia sendiri rupanya menyiapkan kejutan; sebanyak 150 lembar voucher senilai Rp 100.000 dan Rp 50.000 dibagikan saat acara opening toko. Ditambah ratusan kupon Flash sale untuk empat item khusus, makin menambah kemeriahan suasana.

Antusiasme warga. Foto: dokpri.

Selain itu, untuk menyemarakkan acara, Gramedia Cilacap berkolaborasi dengan pelajar dan komunitas lokal. Yaitu: pawai kendaraan hias dari alun-alun Cilacap ke halaman toko, penampilan suara merdu oleh dua penyanyi belia dari Harmoni Musik, serta musikalisasi puisi oleh Nevvin dari Mengkaji Pustaka. Tak lupa pula penyerahan bantuan buku bacaan kepada Forum Literasi Cilacap, yang diterima oleh Bapak Supriyanto secara simbolis.








Dan akhirnya toko pun resmi dibuka. Jajaran rak-rak rapi serta karyawan toko yang ramah menyambut kedatangan pengunjung. Ada 2.204 koleksi buku baik fiksi maupun non fiksi, serta 2.164 item aneka stationaries dan barang-barang IT. Banyak, kan?

 Satu lagi yang sayang dilewatkan: aneka promo yang berlaku tanggal 29 Juni- 7 Juli 2019. Seperti hadiah voucher Rp 100.000 untuk 100 orang yang beruntung, hadiah langsung bagi yang berbelanja minimal Rp 250.000, diskon 30% bagi member My Value (aplikasi bisa diunduh di Google Play), dan diskon 10% bagi pengunjung yang membawa brosur opening Gramedia Cilacap.

Voucher saat opening.


Pojok kasir.


Rak-rak di lantai 1.

Antrian pembeli.

Rak-rak di lantai 2.


So, tunggu apalagi wahai warga Cilacap? Ayo, buruan ke Gramedia! Salam literasi dan salam inspirasi! (*)

Ki-ka: Kak Ojo, mbak Sukarni, mbak Betty, saya, mbak Lina, Mas Victor.


#GramediaBooks
#GramediaCilacap
#LiterasiCilacap

Senin, 22 April 2019

[Cermin] Kampanye




Oleh: Gita FU

"Besok ada kampanye di mana, No?" Tukijo menepuk bahu Pono yang bersandar terkantuk-kantuk. Dua lelaki ini adalah pedagang makanan keliling, yang tengah berteduh di gardu ronda.

Pono tak langsung menjawab, berusaha mengingat-ingat potongan informasi.
"Kalau tak salah si Diwan bilang di lapangan Semen, Jo. Ada pertunjukan dangdutnya juga."
Tukijo girang. "Wah, aku pasti kesana besok. Dari pagi, 'kan? Pasti ramai!"

"Ramai ya sudah pasti, Jo. Penontonnya 'kan, datang dari mana-mana," dengus Pono, "tapi apakah mereka bakal bikin dagangan  laris atau tidak, itu yang kita 'ndak tahu!"

"Jadi orang harus yakin, No! Cuma itu sumber kekuatan orang kecil macam kita ini!" sembur Tukijo.

"Ah, terserah kamu kalau mau sok-sokan yakin. Aku, sih, besok mending jualan keliling seperti biasa. Kapok aku jualan di tempat caleg kampanye!"

Pono teringat dua pengalamannya. Pertama ia berjualan di sebuah posko seorang caleg yang tengah menggelar pengajian; dagangan ciloknya laku tipis. Kedua di lapangan desa saat seorang caleg menggelar pasar murah; lagi-lagi dagangannya tak begitu laku.

"Ya, aku ikut prihatin dengan nasibmu saat itu, No. Tapi mana tahu besok
sebaliknya, kan?" hibur Tukijo.

"Aku tak mau untung-untungan lagi, Jo. Kamu tahu apa pendapatku tentang para caleg  itu? Seharusnya mereka  memperhatikan nasib pedagang kecil. Misalnya, memborong dagangan kita selama kampanye. Pasti kupilih yang begitu!" Pono terbahak sendiri. Tukijo hanya cengengesan.

**

"Pokoke joget! Pokoke joget! Pokoke joget! Serrr!"

Musik  membahana dari atas panggung. Penonton menyemut, berjoget dan bernyanyi. Sesekali yel-yel partai diserukan. Setelah penampilan si biduan seksi,  seorang pria  maju berorasi.  Pria itu sibuk meyakinkan orang-orang akan deretan  program kerjanya. Suaranya penuh tekad dan keyakinan.

Di bagian pinggir lapangan, Tukijo pun tak kalah sibuk. Laki-laki bertubuh tipis  ini sibuk melayani pengunjung, yang nyaris tak putus membeli es kelapa darinya. Mungkin mereka kecapaian terus bernyanyi dan berteriak dari tadi, pikir Tukijo. Ia teringat Pono, apa yang bakal dikatakan bakul cilok itu jika melihat dirinya  diserbu pembeli?

"Jangan lupa besok coblos nomor dan nama saya, bapak-ibu sekalian!"

Sang caleg  masih berorasi. Sedangkan Tukijo mulai berkemas. Dagangannya habis, ia mau pulang. Semoga besok rejekinya selancar sekarang, walau musim kampanye berlalu. (*)

Cilacap, 040419

Minggu, 07 April 2019

[Resensi] Anak Meniru Perilaku Buruk Orang Tua

Psycho-thriller Humaira Aziza
Kaver depan 

(Terbit di Harian Kabar Madura edisi Kamis, 4 April 2019)

Halaman Opini Harian Kabar Madura

Oleh: Gita FU

Judul Buku.     : Empty Faces Against the Wall
Penulis.            : Humaira Aziza
Penerbit.          : Hazerain Publisher
Cetakan.          : Pertama, 2018
Tebal                : 285 halaman
ISBN.                : 978-602-5684-96-8

Orang tua adalah guru pertama bagi anak, pelukis bagi jiwa yang masih polos tersebut. Sebab anak-anak belajar dengan cara meniru; baik sikap, cara bicara, emosi, hingga tingkah laku orang tua. Jika orang tua ingin anak-anaknya tumbuh baik dan sehat, berikan teladan yang bagus. Pesan itulah yang menurut saya, coba disampaikan oleh penulis novel remaja bergenre psikologi-thriller ini.

Novel yang mengambil lokasi di Amerika ini, tepatnya kota New York, memusatkan kisah pada 5 tokoh utama: Brianna Carpenter, Maura Velcones, Benjamin Saunders, Shelby dan Caleb Hutchinson. Bermula dari kecemburuan yang melanda Brianna, menyaksikan bagaimana pemuda yang ia cintai yaitu Benjamin, ternyata lebih memilih jadi kekasih Shelby. Pasangan Benjamin  dan Shelby adalah pasangan populer di Reagen's Highschool; Benjamin pemain futbol, Shelby gadis pemandu sorak. Sedangkan Brianna sendiri adalah gadis kutu buku cerdas, juara olimpiade sains.

Rasa cinta Brianna beralih rupa menjadi obsesi. Hal ini diketahui oleh Maura si pembawa masalah. Maura membujuk Brianna untuk menguntit Shelby. Dari situlah Brianna tahu tentang saudara kembar Shelby bernama Caleb, yang cacat kakinya dan selalu berkursi roda (hal. 23). Maura sendiri rupanya punya agenda tersembunyi. Ia ingin menghancurkan Shelby, yang dahulu pernah menyebabkan abangnya patah hati lalu bunuh diri.

Berkat rencana Maura, akhirnya Brianna punya kesempatan mendekati Benjamin. Sayang, perasaannya tidak berbalas. Karena Benjamin hanya menganggap Brianna sebagai gadis satu malam seperti gadis-gadis sebelumnya. Agar lepas dari Brianna, Benjamin membuat laporan palsu kepada polisi tentang Maura yang hendak mencelakai Brianna. Padahal itu hanyalah rencana pura-pura antara Maura dan Brianna. Maura pun ditahan karena Brianna memilih bungkam. Di luar dugaan, ayah Shelby dan Caleb menjadi penjamin hingga Maura bisa keluar dari tahanan. Rupanya bibi Maura adalah pembantu rumah tangga keluarga Hutchinson. Namun ayah Shelby mengajukan syarat: Maura harus bisa mendekatkan Brianna ke putranya, Caleb (hal. 65).

Masalah lain menimpa Brianna: ia hamil akibat hubungan intimnya dengan Benjamin. Didorong amarah dan kecewa mengetahui hal itu, Travis kakaknya menuntut tanggung jawab Benjamin. Kejadian itu berujung pada kecelakaan tragis yang merenggut nyawa pemuda itu. Ibu mereka begitu terpukul atas kematian putra sulungnya sehingga menyalahkan Brianna. Di sinilah kepribadian  gelap Brianna makin tersingkap,  karena ia tega mencelakakan ibunya di kamar mandi hingga tewas (hal. 89).

Satu persatu mozaik mengenai latar belakang keluarga para tokoh dimunculkan oleh penulis. Seperti si kembar Shelby dan Caleb Hutchinson, yang memiliki ayah seorang diktator, dan mendiang ibu yang bermasalah kejiwaannya. Benjamin Saunders, berasal dari keluarga broken home meskipun kaya raya. Maura Velcones, ternyata anak seorang psikopat sadis; ayahnya menculik, lalu membunuh dan memutilasi para korban di hadapan Maura dan saudara-saudaranya. Brianna sendiri  bukanlah anak kandung keluarga Carpenter. Sewaktu berumur 5 tahun, ibu kandungnya menyerahkan Brianna yang bernama lahir Jocelyne, pada keluarga Carpenter demi menyelamatkan jiwanya. Karena ayah biologisnya adalah psikopat sadis; ternyata Brianna adalah adik kandung Maura Velcones.

Memiliki orang tua yang bermasalah tentu saja mempengaruhi psikis para remaja itu. Mereka memiliki sifat masa bodoh, anti sosial, manipulatif, hingga tega mencelakai orang lain demi kepentingan diri sendiri. Bahkan secara genetik pun orang tua  yang sakit jiwa bisa menitiskan gangguan mental. Dalam hal ini Brianna contohnya, yang telah didiagnosa sejak kecil mengidap skizoaffectif.  Yaitu gangguan mental berupa delusi, halusinasi, dan perubahan suasana hati yang tiba-tiba (hal. 187).

Kelebihan penulis ialah pada kepiawaiannya menarasikan  emosi para tokoh utama. Saat Brianna mengalami delusi, pembaca seolah-olah menyaksikan sebuah adegan film. Penulis juga cukup cakap menggambarkan budaya  di Amerika.

Sayangnya di beberapa bagian cerita terdapat lubang logika. Ditambah terlalu banyak tokoh pendukung yang muncul di sepanjang cerita. Endingnya pun menurut saya terasa terburu-buru. Andaikata tebal novel ini lebih dari 300 halaman, mungkin porsi antara konflik utama dan pendamping akan seimbang.

Walaupun demikian pesan tentang pentingnya keharmonisan keluarga tetap tersampaikan. Sejumlah kasus kenakalan remaja yang digambarkan penulis pun  mampu menjadi bahan renungan usai membaca buku ini. Sebuah novel yang layak dibaca khalayak umum. (*)

Cilacap, 080319

Gita FU, pembaca buku kelahiran Pontianak 3 Desember 1981. Karya solonya adalah buku  kumpulan cerita anak 'Pekerjaan Rahasia' (JWriting Soul Publishing, Agustus 2018).

[Resensi] Menjalin Kedekatan Anak dan Orangtua

Kaver buku


(Terbit di Harian Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 24 Maret 2019)

Rubrik Pustaka KR, 24/3/2019

Oleh: Gita FU

Judul Buku  : Impian Maya
Penulis.       : Sam Edy Yuswanto
Penerbit      : Pasific Press
Cetakan      : Pertama, Februari 2019
Isi.                : v+159 hlm
ISBN            : 978-623-7012-01-6

"Tuhan, aku ingin sekali memiliki keluarga utuh. Ayah ibu yang rukun dan tak pernah bertengkar. Sebagaimana orang tua teman-temanku di sekolah." (Impian Maya, hal. 4).

Usia remaja adalah usia peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Sebagaimana musim yang hendak beralih umpama dari musim hujan ke musim kemarau maupun sebaliknya, tentulah muncul semacam gejolak atau kelabilan. Demikian pula masa remaja. Mereka bingung dengan identitas diri, sehingga mencari perhatian dari lingkungan guna menyalurkan kelebihan energi. Pada masa ini mereka butuh peran orang tua; untuk menjaga, membimbing, memberi teladan, dan sebagai muara keluh kesah.  Maka dari itu amat penting menjalin kedekatan  antara anak dan orang tua.

Pesan itu tersirat dalam buku kumpulan cerita remaja ini. Melalui 17 judul cerita yang sebagian besar pernah tersiar  di berbagai media cetak dan daring, kita diharapkan mendapat perspektif obyektif mengenai dunia remaja. Apalagi penulisnya mengemas aneka kisah tersebut dengan bahasa yang  ringan.

Dalam cerpen "Impian Maya", tokohnya seorang remaja kelas tiga SMP bernama Maya. Ia tak pernah mengecap kedamaian di dalam rumah, akibat pertengkaran tanpa henti orang tuanya.  Akibatnya Maya merasa minder dalam pergaulan sehari-hari. Impiannya memiliki keluarga harmonis seolah-olah maya alias semu belaka (hal. 3).

Sementara dalam cerpen "Perawan" penulis mengangkat isu prostitusi di kalangan remaja. Dikisahkan melalui tokoh 'aku' yang ingin menginvestigasi kebenaran isu tersebut. Ia mewawancarai Nurma, remaja SMA yang menjual diri melalui media sosial. Awal Nurma terjun ke dunia hitam adalah karena gaya pacaran yang 'kebablasan'. Namun setelah dikulik lagi, rupanya Nurma kurang mendapat perhatian, kasih sayang, dan bimbingan  dari kedua orang tua semenjak kecil (hal. 21).

Cerpen berjudul "Kehilangan" mengajak kita merenung; sudahkah kita menghargai kasih sayang ibu? Fitri, gadis kelas satu SMA, acapkali kesal pada mamanya yang dirasa terlalu cerewet. Ia bahkan berani bersikap kasar atau membentak  kala berseberangan pendapat. Semua berubah ketika Mama meninggal akibat sakit mendadak. Fitri baru menyesal atas sikapnya semasa Mama hidup, dan kini barulah ia merasa kehilangan (hal. 90).

Secara keseluruhan cerita-cerita remaja dalam buku ini tidaklah klise dan layak mendapat perhatian pembaca. Kalaupun ada kekurangan, itu hanyalah persoalan salah ketik yang tidak terlalu mengganggu kenyamanan membaca. (*)

Cilacap, 190319

Gita FU, pembaca buku kelahiran Pontianak 3 Desember 1981. Karya solonya adalah buku  kumpulan cerita anak 'Pekerjaan Rahasia' (JWriting Soul Publishing, Agustus 2018).

Keterangan tambahan: judul saya mengalami penyesuaian dari redaktur.

Sabtu, 23 Maret 2019

Rubrik Sungguh-sungguh Terjadi dan Fakta-fakta yang Menyertainya



Oleh: Gita FU

Halo, Sobat!

Tahu-tahu sudah weekend lagi, ya? Benar-benar nggak terasa. Terkadang saya sedih, karena ingat masih sering menyia-nyiakan waktu saya begitu saja. *Sigh*. Jatuhnya menyesal belakangan, deh. Aelah.
Semoga sobat semua termasuk orang-orang yang mampu memanajemen diri dengan baik, ya. Aamiin.

Now, kembali ke blog.

Di postingan kali ini saya ingin berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang satu rubrik di koran Kedaulatan Rakyat. Sebelumnya saya ingin tahu, apakah Sobat pernah mendengar atau membaca koran ini? Kalau belum saya kasih sekilas info, nih. Kedaulatan Rakyat adalah nama harian umum terbitan Yogyakarta. Koran ini telah terbit sejak 27 September 1945. Wow! Cukup tua juga, ya?

Sebagai koran senior, Kedaulatan Rakyat (selanjutnya disingkat KR) termasuk koran yang mampu eksis dan beradaptasi dengan zaman. KR memiliki grup; di mana selain menerbitkan koran  Kedaulatan Rakyat, grup ini pun menyiarkan koran Merapi, dan Mingguan Minggu Pagi. Pemberitaannya cukup obyektif, rubrik nya variatif, distribusinya lumayan luas hingga daerah Jawa Tengah. Selain versi cetak, KR pun menyiarkan koran digital gratis. Hal lain yang patut diberikan apresiasi adalah komitmennya memberi ruang kepada kontributor dari luar.

Ruang yang saya maksud ialah kehadiran rubrik-rubrik tertentu, baik harian maupun mingguan. Rubrik mingguan ialah: Opini, Budaya, Oase, Mekar sari, Kawanku, Kaca,  Pustaka, dan Sungguh-sungguh Terjadi dalam Sepekan. Rubrik harian ialah Sungguh Sungguh Terjadi. Nah, yang akan saya ceritakan lebih lanjut adalah rubrik Sungguh-sungguh Terjadi, sesuai judul postingan.

Berawal dari postingan teman penulis bernama Heru Prasetyo di laman FB. Ia mengabarkan tulisan humornya dimuat di Sungguh Sungguh Terjadi koran KR. Saya pun penasaran. Singkat cerita saya bertanya-tanya via inbox FB, dan Mas Heru berbaik hati menjawab semuanya. Berikut ini fakta-fakta yang saya rangkum untuk sobat semua:

1. Isi cerita tentang kejadian unik, lucu, nyata, berdasarkan pengalaman pribadi maupun orang lain yang sobat kenal. Nggak perlu panjang lebar, sobat tuliskan saja inti cerita tersebut, mungkin k.l 20-25 kata.

2. Kirimnya pakai kartu pos. Nggak usah bengong, gitu, sobat. Kartu pos itu benda yang masih eksis, kok. Bisa sobat beli di kantor pos setempat. Kalau di tempat saya harganya 500 rupiah selembar. Pakai prangko 3000 perak, terkirim, deh satu cerita.

3. Ini alamat redaksinya Sobat:
Redaktur Sungguh Sungguh Terjadi
Harian Kedaulatan Rakyat
Jl. P. Mangkubumi No. 40-44
Yogyakarta -55232
Untuk alamat kalian pastikan ditulis lengkap dan jelas ya, sobat. Agar memudahkan pengiriman honor jika tulisan kalian dimuat.

4. Ada honornya. Berapa? Lumayan, satu cerita yang berhasil tayang dapat 50 ribu rupiah (belum potong pajak). KR unik, lho. Honor dikirim via wesel pos! Atau kalau data sobat plus no rekening sudah terekam di KR karena biasa tayang tulisannya, bisa juga honor SST ini dikirim via rekening (macam saya. Uhuk!). Oia, lama pencairan honor sejak tayang di koran sekira 1-2 minggu. Alhamdulillah selama ini saya belum pernah kecewa sama KR terkait honor tulisan.

5. Tidak ada konfirmasi pemuatan. Jadi kita yang harus proaktif. Beri jarak kira-kira satu minggu setelah kalian mengirim tulisan, setelah itu sobat bisa mulai mengecek. Rubrik Sungguh-sungguh Terjadi dalam Sepekan terbit setiap hari Minggu, memuat hingga 6 cerita plus satu cerita yang dimuat di halaman depan. Di hari biasa KR menayangkan satu SST di halaman depan. Jika tak bisa dapat versi cetak, pantaulah e-paper KR.

Berikut ini 2 contoh tulisan saya yang tayang di SST.


Pemuatan di bulan April 2018

Pemuatan di bulan Oktober 2018

Gimana? Tertarik mengirim? Cuss jangan ragu-ragu, ya! Bagikan cerita-cerita unik di sekitar kalian kepada para pembaca KR lainnya.  Fyi, saya mulai kirim ke rubrik SST di bulan-bulan menjelang akhir 2017 hingga sekarang. Alhamdullilah meskipun terkesan 'receh', tapi cukup bisa menjadi pembangkit semangat menulis bagi saya. (*)

Cilacap, 230319