Cari Blog Ini

Sabtu, 23 Maret 2019

Rubrik Sungguh-sungguh Terjadi dan Fakta-fakta yang Menyertainya



Oleh: Gita FU

Halo, Sobat!

Tahu-tahu sudah weekend lagi, ya? Benar-benar nggak terasa. Terkadang saya sedih, karena ingat masih sering menyia-nyiakan waktu saya begitu saja. *Sigh*. Jatuhnya menyesal belakangan, deh. Aelah.
Semoga sobat semua termasuk orang-orang yang mampu memanajemen diri dengan baik, ya. Aamiin.

Now, kembali ke blog.

Di postingan kali ini saya ingin berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang satu rubrik di koran Kedaulatan Rakyat. Sebelumnya saya ingin tahu, apakah Sobat pernah mendengar atau membaca koran ini? Kalau belum saya kasih sekilas info, nih. Kedaulatan Rakyat adalah nama harian umum terbitan Yogyakarta. Koran ini telah terbit sejak 27 September 1945. Wow! Cukup tua juga, ya?

Sebagai koran senior, Kedaulatan Rakyat (selanjutnya disingkat KR) termasuk koran yang mampu eksis dan beradaptasi dengan zaman. KR memiliki grup; di mana selain menerbitkan koran  Kedaulatan Rakyat, grup ini pun menyiarkan koran Merapi, dan Mingguan Minggu Pagi. Pemberitaannya cukup obyektif, rubrik nya variatif, distribusinya lumayan luas hingga daerah Jawa Tengah. Selain versi cetak, KR pun menyiarkan koran digital gratis. Hal lain yang patut diberikan apresiasi adalah komitmennya memberi ruang kepada kontributor dari luar.

Ruang yang saya maksud ialah kehadiran rubrik-rubrik tertentu, baik harian maupun mingguan. Rubrik mingguan ialah: Opini, Budaya, Oase, Mekar sari, Kawanku, Kaca,  Pustaka, dan Sungguh-sungguh Terjadi dalam Sepekan. Rubrik harian ialah Sungguh Sungguh Terjadi. Nah, yang akan saya ceritakan lebih lanjut adalah rubrik Sungguh-sungguh Terjadi, sesuai judul postingan.

Berawal dari postingan teman penulis bernama Heru Prasetyo di laman FB. Ia mengabarkan tulisan humornya dimuat di Sungguh Sungguh Terjadi koran KR. Saya pun penasaran. Singkat cerita saya bertanya-tanya via inbox FB, dan Mas Heru berbaik hati menjawab semuanya. Berikut ini fakta-fakta yang saya rangkum untuk sobat semua:

1. Isi cerita tentang kejadian unik, lucu, nyata, berdasarkan pengalaman pribadi maupun orang lain yang sobat kenal. Nggak perlu panjang lebar, sobat tuliskan saja inti cerita tersebut, mungkin k.l 20-25 kata.

2. Kirimnya pakai kartu pos. Nggak usah bengong, gitu, sobat. Kartu pos itu benda yang masih eksis, kok. Bisa sobat beli di kantor pos setempat. Kalau di tempat saya harganya 500 rupiah selembar. Pakai prangko 3000 perak, terkirim, deh satu cerita.

3. Ini alamat redaksinya Sobat:
Redaktur Sungguh Sungguh Terjadi
Harian Kedaulatan Rakyat
Jl. P. Mangkubumi No. 40-44
Yogyakarta -55232
Untuk alamat kalian pastikan ditulis lengkap dan jelas ya, sobat. Agar memudahkan pengiriman honor jika tulisan kalian dimuat.

4. Ada honornya. Berapa? Lumayan, satu cerita yang berhasil tayang dapat 50 ribu rupiah (belum potong pajak). KR unik, lho. Honor dikirim via wesel pos! Atau kalau data sobat plus no rekening sudah terekam di KR karena biasa tayang tulisannya, bisa juga honor SST ini dikirim via rekening (macam saya. Uhuk!). Oia, lama pencairan honor sejak tayang di koran sekira 1-2 minggu. Alhamdulillah selama ini saya belum pernah kecewa sama KR terkait honor tulisan.

5. Tidak ada konfirmasi pemuatan. Jadi kita yang harus proaktif. Beri jarak kira-kira satu minggu setelah kalian mengirim tulisan, setelah itu sobat bisa mulai mengecek. Rubrik Sungguh-sungguh Terjadi dalam Sepekan terbit setiap hari Minggu, memuat hingga 6 cerita plus satu cerita yang dimuat di halaman depan. Di hari biasa KR menayangkan satu SST di halaman depan. Jika tak bisa dapat versi cetak, pantaulah e-paper KR.

Berikut ini 2 contoh tulisan saya yang tayang di SST.


Pemuatan di bulan April 2018

Pemuatan di bulan Oktober 2018

Gimana? Tertarik mengirim? Cuss jangan ragu-ragu, ya! Bagikan cerita-cerita unik di sekitar kalian kepada para pembaca KR lainnya.  Fyi, saya mulai kirim ke rubrik SST di bulan-bulan menjelang akhir 2017 hingga sekarang. Alhamdullilah meskipun terkesan 'receh', tapi cukup bisa menjadi pembangkit semangat menulis bagi saya. (*)

Cilacap, 230319



Senin, 18 Maret 2019

[Review] Misi Menyelamatkan Sang Ayah

The arctic incident

Oleh: Gita FU

Hola, sobat!

Saat menulis postingan ini, Cilacap masih diguyur hujan nyaris tanpa jeda. So hawanya sejuk dan bikin pingin melingkar di kasur ato kursi empuk, ngemil, minum cokelat ato kopi susu, plus baca buku. Hmmm... I wish i could. 😅

Bicara soal udara sejuk mengingatkan saya pada janji lama di postingan sebelumnya. Yaitu janji bakal me-review seri Artemis Fowl. Lho, apa hubungannya udara sejuk sama Artemis Fowl? Oh, ada, dong. Karena judul kedua dari seri ini adalah: The Arctic Incident alias Insiden Arktik. See, Arktik kan di Kutub Utara yang beku itu. Brrrr!

Baca juga: Berkenalan dengan Artemis Fowl, Si Jenius Kriminal Cilik.

Buku terbitan Gramedia tahun 2006 ini tebalnya 357 halaman. Kavernya bernuansa biru keputih-putihan, semacam ilustrasi salju menyesuaikan judulnya. Dulu waktu beli buku ini saya sempat rada ilfil, ih kavernya kok terkesan 'mbladus', sih?  Eh, rupanya desain tersebut menyesuaikan tema. Makanya 'don jad e buk bai its kaver' itu ada benarnya, Sobat! Hehe. Lanjut.

Selain misi menyelamatkan Artemis Fowl senior, ada masalah lain yang harus dihadapi para peri LEP yaitu kasus penyelundupan dan perdagangan senjata ilegal! Dikisahkan LEP tengah melacak dan menyelidiki gerombolan goblin pemberontak pimpinan B'Wa Kell, gitu. Para polisi peri ini heran, dari mana para goblin bisa dapat persenjataan ala peri? Apalagi senjata-senjata itu model usang yang sudah dilarang beredar: senapan laser moncong lunak. Dan untuk menggunakan senapan tersebut dibutuhkan sumber daya baterai khusus, yang sudah dihentikan produksinya.

Gara-gara peristiwa baku tembak di suatu lorong peluncuran lama antara kapten Holly Short dengan sejumlah goblin, LEP mengetahui fakta mengejutkan. Ternyata gerombolan goblin itu punya persenjataan dan bisa mengoperasikan kendaraan buangan LEP, serta mengusahakan sumber daya berupa baterai buatan manusia.  Padahal goblin sama sekali bukan kaum cerdas, yang bisa merencanakan hal serumit itu. Fyi, goblin itu fisiknya kayak kadal, gemar berantem, dan tak bisa dipercaya.

Fakta tersebut membuat LEP berkesimpulan ada dalang cerdas di balik kaum pemberontak, dan mereka menuduh Artemis Fowl sebagai biang keladi. Oleh sebab itu LEP melalui Holly, memanggil Artemis dan Butler untuk diinterogasi di dunia bawah.

Satu peristiwa menuntun pada peristiwa berikutnya. Lewat sejumlah analisa cerdas Artemis, terkuaklah siapa dalang sesungguhnya. Artemis bersedia membantu kaum peri menyelesaikan masalah penyelundupan dari dunia atas ke dunia bawah itu, dengan syarat kaum peri membantunya menyelamatkan sang Ayah yang ternyata masih hidup, dan disandera Mafiya Rusia. Kesepakatan pun terjadi.

Ceritanya makin seru. Melibatkan adu kejeniusan antara Artemis versus Briar Cudgeon dan Opal Koboi, sebagai dalang pemberontakan Goblin B'Wa Kell; dan Artemis versus kaum Mafiya yang terkenal kejam tanpa ampun. Siapa Briar Cudgeon? Dia salah satu personel LEP, yang dendam pada Komandan Root, kapten Holly, dan Foaly, yang dianggap telah merusak karirnya saat kasus pertama dengan Artemis Fowl dahulu. Siapa Opal Koboi? Dia Pixie perempuan jenius, dan megalomaniak, perancang aneka jenis persenjataan canggih milik LEP. Waduuuh, musuh dalam selimut rupanya, Gan, Sis! Ada baku tembak, mesmer peri, teknologi canggih, lengkap! Dan juga  humor-humor  yang diselipkan dalam percakapan antar tokoh.

Ada satu karakter unik di seri ini, yang selalu hadir dengan selera humornya yang tinggi. Dialah  Mulch Diggums. Si kurcaci kriminal ini sempat dianggap mati oleh LEP sewaktu peristiwa di Fowl Manor; dikira mati tertimbun terowongannya sendiri. Di seri ini terkuak fakta bahwa Mulch masih hidup, bahkan menyatu sebagai miliuner manusia di apartemen mewah Beverly Hills, Los Angeles. Meskipun sempat murka setelah tahu dibohongi, komandan Root memutuskan bahwa bantuan Mulch diperlukan demi membobol keamanan gedung Koboi Labs. Mulch bersedia membantu setelah diberi kelonggaran waktu   untuk melarikan diri. Kalau menurut saya, Mulch Diggums ini karakternya seperti si Tengkorak di seri Lockwood & Co., karya Jonathan Stroud itu. Tengil, nyentrik, cerdas, dan dibutuhkan bantuannya.

Singkat cerita setelah LEP berhasil mengatasi pemberontakan Goblin, sekaligus menangkap Opal Koboi (Briar Cudgeon tewas dalam peristiwa penggerebekan), rombongan Artemis, Butler, Holly Short, Julius Root, dengan panduan Foaly, pergi ke Rusia. Kota Murmansk, Rusia Utara, yang menjadi titik penyerahan ayah Artemis ini adalah kota yang sudah terpapar radiasi nuklir. Sebenarnya para peri adalah makhluk rentan radiasi, membuat sihir mereka tak berfungsi. Karena itulah Artemis merancang sebuah misi penyelamatan yang ekstrem dan amat beresiko.

Tentu saja penyelamatan tersebut berhasil, Sobat! LEP dan Artemis Fowl pun seri kedudukannya. Namun tanpa disadari oleh Artemis, misi dan petualangannya kali ini membuat dirinya menjadi lebih peka dan menghargai orang lain. Kualitas yang baru muncul ini perlahan-lahan akan membuat pribadi Artemis menjadi baik.

Ah, sungguh novel yang bikin kecanduan bagi saya. Karena mampu membuat saya ingin terus mengikuti serinya. Farhan sendiri sering kedapatan membaca ulang seri Artemis. 😆
Sampai jumpa di review berikutnya, ya!(*)

Cilacap, 17-180319


Kamis, 14 Maret 2019

[Resensi] Menemukan Buku Bacaan yang Tepat

Kaver depan

(Tersiar di harian Kabar Madura edisi Selasa, 12 Maret 2019)

Sumber: e-paper Kaber Madura


Oleh: Gita FU

Judul            : 35 Buku Paling Inspiratif Pilihan Sam Edy
Penulis         : Sam Edy Yuswanto
Penerbit      : Pasific Press
Cetakan      : Desember, 2018
Isi.                : x+156 hlm
ISBN            : 978-623-7012-00-9

Memilih bacaan berkualitas terkadang cukup merepotkan. Banyaknya pilihan buku yang beredar, membuat kita harus benar-benar mempertimbangkan, mana buku bacaan yang tepat sesuai kebutuhan. Ibarat kita butuh memilih tempat makan dengan menu yang cocok serta harga bersahabat, tentu kita memerlukan bertanya pada orang lain. Dalam hal ini orang yang kita tanyai haruslah orang yang memahami dunia kuliner. Kembali ke masalah mencari buku bacaan yang tepat, maka orang yang layak kita mintai pertimbangan adalah pengulas buku.

Sam Edy ialah seorang pengulas (penulis review) buku yang sering mengisi halaman berbagai media massa. Melalui buku ini Sam Edy memilihkan 35 judul bacaan yang pernah diulasnya, dan sebagian besar telah tayang di media massa, sebagai rekomendasi bagi Anda. Buku-buku dari berbagai penerbit tanah air semisal: Mizan, Mizania, Bentang, Gramedia, Quanta, Diva Press, dan lainnya;  memuat aneka tema menarik dengan umur terbit maksimal tahun 2016.

Tampilan kaver buku ini didominasi warna putih, ditambah ilustrasi seorang pria tengah menyesap minuman dan memangku sejumlah buku. Hal tersebut membuat judul bukunya tampil menonjol; perwajahan buku yang memikat hati, menimbulkan rasa penasaran pembaca.

Sam Edy merangkum  kisah nyata Nyoman Sakyarsih, seorang ibu muda yang berprofesi sebagai dokter hewan dan berpraktik mandiri di Jakarta selama 7 tahun dalam ulasan berjudul "Petualangan Seorang Ibu Mendaki 30 Gunung Bersama Anaknya". Ulasan dibuat dari buku berjudul "Nyomie & Max" karya Nyoman Sakyarsih, terbitan Qanita, Juli 2018 (halamanal 17).  Nyoman  adalah sosok yang sangat mencintai alam pegunungan dan telah berhasil bertualang mendaki 30 gunung bersama Max, buah hatinya yang masih kecil dan begitu aktif.

Dikisahkan pertama kalinya Nyoman membawa Max mendaki Gunung Bromo pada bulan Mei 2013, ketika Max baru berusia 5 bulan. Kepergian Nyoman ke Bromo dikarenakan ia sedang mengalami kegalauan dalam hidup, juga menjadi semacam titik balik baginya untuk kembali mendapatkan esensi kehidupan.
Nyoman pun membagi kiat mendaki bersama buah hati yang masih kecil. Seperti memperhatikan soal keamanan mendaki, mempersiapkan  perbekalan yang penting-penting saja, dan pengetahuan akan medan yang akan ditempuh.

Inspirasi lainnya bisa Anda dapatkan pada ulasan berjudul "Ketika Anak Muda Berbicara Politik" dari buku berjudul "Anak Muda & Masa Depan Indonesia" karya J.J. Rizal, dkk (Mizan, Maret 2018) pada halaman 30. Buku ini berisi kumpulan pemikiran, aspirasi, mimpi, harapan, kritik, dan kegelisahan kaum muda kekinian Indonesia terkait isu-isu sosial, politik, ekonomi, hukum serta sosial budaya yang berlangsung di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Mereka, para pemuda ini, berasal dari berbagai latar belakang sosial, pendidikan, profesi, serta komunitas yang tersebar dari Aceh sampai Papua (halaman 31).

Para pemuda itu antara lain: Dimas Oky Nugroho, pendiri sekolah pemimpin muda Kader Bangsa Fellowship Program (KBFP); Hotmatua Hamonangan Silalahi, pemuda yang aktif dalam berbagai program pengembangan komunitas; Muhammad Adam, pemuda yang saat ini bekerja di Kedutaan Besar Australia Jakarta; Edward Wimon Kocu, pemuda yang menyelesaikan studi S2 di FISIP UGM; dan Dina Dwi Rahayu, alumnus FISIP Universitas Brawijaya.

Masing-masing tokoh pemuda di atas mengungkapkan pemikirannya mengenai peranan pemuda yang dibutuhkan di masa kini, kecakapan yang harus dimiliki, serta bagaimana mengatasi permasalahan di bidang politik dan lainnya. Misalnya untuk mengatasi masalah intoleransi di negara kita yang heterogen, menurut Dina Dwi Rahayu, negara perlu belajar dari Desa Adat Ngadas--sebuah desa adat wilayah asli masyarakat suku Tengger. Di sana umat beragama Hindu, Budha, dan Islam hidup berdampingan, saling menghormati satu sama lain.

Tak hanya inspirasi dan motivasi dari buku bergenre non-fiksi, Sam Edy pun mengulas beberapa buku sastra. Salah satunya adalah ulasan berjudul "Kasih Sayang Ibu pada Anaknya" dari buku kumpulan puisi  anak berjudul "Siapa Mau Jadi Presiden?" karya Faiz ( Dar! Mizan, Maret 2018) di halaman 57. Abdurahman Faiz yang telah dikenal luas sebagai penulis berbakat, menyusun kalimat-kalimat yang  menyentuh hati; temanya pun beragam.

Salah satu puisi Faiz berjudul "Puisi Bunda"  menggambarkan tentang kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, ditulis dengan bahasa sederhana namun sarat makna. 'Bunda hanya sedikit mengarang puisi untukku. Tapi semakin lama kuamati, senyuman bunda adalah puisi, tatapan bunda adalah puisi, teguran bunda adalah puisi, belaian dan doanya adalah puisi cinta yang disampaikannya padaku tak putus-putus, bahkan bila kutidur'.

Tentunya masih banyak ulasan buku yang lain dalam buku ini. Anda tinggal menguliknya sendiri, untuk kemudian dijadikan bekal membeli buku bacaan yang tepat sesuai selera Anda. Di luar beberapa kesalahan ketik  di dalamnya, buku karya Sam Edy ini sungguh bermanfaat. (*)

Cilacap, 190219

Gita FU, pembaca buku kelahiran Pontianak 3 Desember 1981. Karya solonya adalah buku  kumpulan cerita anak 'Pekerjaan Rahasia' (JWriting Soul Publishing, Agustus 2018).

Selasa, 05 Maret 2019

Dia Farhan


Oleh: Gita FU


Ada saat di mana saya merasa ingin 'meletus' kala menghadapi si sulung, Farhan. Anak laki-laki yang tahun ini insyaallah berumur 12 tahun ini makin kerap menguji batas kesabaran saya.

Dimulai dari hal kecil semacam menjaga kebersihan dirinya sendiri, dia sering abai. Saya, suami atau Simbah sering menjadi sempritan agar dia ingat waktu, ya ibadah, ya makan, ya main, ya mandi. Belum lagi soal inisiatifnya membantu meringankan pekerjaan di rumah, harus dikomando berulang-ulang baru mau bergerak. Pun kepemimpinan terhadap adik-adiknya sering bikin geregetan, ini mana yang kakak mana yang adik, sih?

Di luar itu, dia juga makin berani melanggar aturan rumah. Saya nyaris frustasi soal ini. Entah bagaimana berulangkali ditegur, dimarahi dari level halus hingga keras, dia masih saja curi-curi kesempatan untuk melanggar. Contohnya main play station. Mengingat dia sudah kelas 6 dan dekat lagi ujian tentu saja kami selaku ortu wanti-wanti melarangnya ke tempat sewa PS. Tapi memang kuasa permainan dan lingkungan barangkali, ya, sehingga Farhan takluk.

Lama saya merenung perkara sulung kami ini, mengapa bisa begitu? Atau jangan-jangan selama ini kami sudah terlalu keras padanya? Terlalu besar menaruh harapan di pundaknya? Tapi bukankah sebagian besar orang tua pun demikian? Atau karena kami membandingkan Farhan dengan anak lain?

Lalu pagi tadi saya temukan sebuah nasihat yang menyentuh hati saya. Nasihat tentang anak pertama:



Sumber: ig @tipsmpasibayi

Ya Allah, betapa malunya  saya. Benarlah yang sering dinasihatkan Simbah, "Anak mbarep kuwe urip-uripan. Bisa urip be wis Alhamdulillah. Cobaane gede, selalune nggoda atine wong tuwane. Ning kudu bisa sabar." Intinya, hendaknya orang tua jangan terlalu keras pada anak sulung, karena dialah percobaan pertama kali. Sebagai orang tua harus bisa sabar menghadapinya.

Seketika kenangan sejak masa kehamilan hingga persalinan Farhan, muncul di ruang benak saya. Rasa bahagia yang muncul saat bisa memberinya ASI pertama di tengah sakit pasca operasi Caesar. Ingatan kala mengajarinya berjalan. Pikiran bahagia ketika menyuapi Farhan. Semuanya muncul ....

Momen bersama Farhan 


Seketika mata saya basah. Dia Farhan, anak pertama yang membuat saya menjadi ibu. I Love him now and then, no matter what. (*)

Cilacap, 050319

Jumat, 01 Maret 2019

[Cerpen] Ratmi Among-Among



(Tayang di Harian Radar Banyumas edisi Minggu, 24 Februari 2019)


Oleh : Gita FU

"Mbak, nanti jam dua motornya diantar," lapor Eko.

"Sudah beres sekalian surat-suratnya?" sahut Ratmi.

Eko mengacungkan jempol. "Sekarang aku mau ke rumah Pak Budi. Ada bisnis burung!"

Ratmi menatap punggung kurus pemuda dua puluh tahunan itu. Dia merasa lega, rencana pertama berjalan lancar. Selanjutnya dia akan segera membuka warung kelontong di halaman depan rumah.

 Enam tahun Ratmi merantau ke Hongkong, mengutip rupiah yang sulit dikais di negeri sendiri. Modalnya sudah terkumpul kini, cukup besar sehingga dia bisa usaha mandiri. Ratmi tak perlu ke luar negeri lagi. Tanpa sengaja wanita empat puluh tahun ini menoleh ke cermin hias di dinding ruang tamu. Bayangannya menatap balik, sesosok perempuan berambut keriting sebahu, wajah diisi noda hitam, dan mata besar berkantung. Alangkah tak menariknya!

"Apa kata Eko, Rat?"  Mak Tumini ibunya, muncul mengagetkan dari dapur.

"Oh, itu motornya mau diantar jam dua, Mak." Dia beringsut sedikit di sofa, memberi ruang untuk ibunya duduk.

"Hmm, berarti masih sempat," gumam Mak Tumini.

"Sempat apa, Mak?"

"Belanja buat bikin among-among. Nanti setelah motornya datang, kita undang tetangga dan Pak Misno," balas Mak Tumini penuh kepastian.

Ratmi mengernyit tak suka. Among-among adalah tradisi selamatan di wilayah lembah Serayu. Si empunya hajat memasak nasi dan lauk pauk, lalu mengundang para tetangga. Kemudian seorang yang dianggap ustad akan diminta memimpin doa keselamatan di atas makanan dan segayung air. Usai didoakan makanan segera dibagikan kepada tetangga yang datang,  dalam wujud takiran--mangkok dari daun pisang yang ditekuk atau dari kertas pembungkus makanan. Sedangkan airnya disiramkan pada objek yang didoakan, motor misalnya.

"Buat apa, Mak?" Ratmi merasa gagasan ibunya terlalu kolot dan  merepotkan.

"Biar tidak kena bala, ngerti!" Suara Mak Tumini langsung naik. "Namanya motor mau dipakai setiap hari, bisa kecelakaan. Mulane harus didoakan biar terlindung dari musibah!"

"Mak, asal kita sudah berdoa  sebelum naik motor, dan mengikuti aturan lalu lintas pasti selamat." Ratmi mencoba menyanggah.

Mak Tumini memelotot jengkel, lalu muntab. "Hooo, kamu berani mbantah, ya? Mentang-mentang kerja di luar negeri, trus sok pintar sama orang tua, hah? Mau mengulang kebodohanmu milih suami dulu, gara-gara nggak nurut omonganku?"

Ratmi kelabakan ibunya mulai melantur. Padahal dia hanya ingin meluruskan secara logika saja. "Bukan begitu, Mak...."

"Ya, sudah! Kalau begitu manut saja! Habis ini kamu belanja ke pasar Sangkal Putung. Nanti aku yang manggil Bu Jio sama Lastri buat 'mbantu masak dan bikin takiran," pungkas perempuan tujuh puluh tahun itu.

Ratmi menghela napas panjang. Sungguh ibunya ini perempuan tua keras hati. Dia akhirnya mengalah.

**
"Wah, si Ratmi memang pinter nyimpen duit, ya! Pulang dari Hongkong bisa beli motor baru, kes lagi!" puji Bu Jio.

"Biasa saja Bu Jio. Ini motor juga nantinya buat antar jemput Alda sekolah," jawab Ratmi tersipu.

"Bener kayak gitu, Rat! Daripada pusing-pusing mikirin cicilan," timpal Lastri.

"Iya, Las. Mumpung ada duitnya ngapain utang, kan? Bikin beban pikiran." Ratmi menjawil pipi Lastri, teman sepermainannya.

Mereka mengobrol di dapur sembari mengolah urap, sayur tempe cabe hijau, telur dadar, sayur bihun goreng, beserta kerupuk udang. Kesemuanya menu among-among.

"Tapi terutama Ratmi harus bersyukur ada aku yang bisa dia percaya. Coba kalau masih ada Markum, bisa habis uangnya buat foya-foya!" Mak Tumini menyinyir, mengungkit nama bekas menantunya.

Dua tetangganya terdiam, melirik Ratmi yang berubah masam wajahnya.  Dalam hatinya dia kesal bukan main, tapi jika ditanggapi maka ibunya akan semakin mengoceh. Padahal dia tak mau masa lalunya dibicarakan di hadapan tetangga.

Seolah-olah menjadi penyelamat kebisuan yang kaku tersebut, datanglah dua orang lelaki dari dealer motor. Ratmi semringah menyambut mereka. Tak lama kemudian proses serah terima pun selesai. Kini sebuah motor matic  berdiri gagah di teras rumah. Kesemuanya tak lepas dari pengawasan mata tua Mak Tumini. Diam-diam perempuan tua itu mengagumi kendaraan tersebut.

Menjelang waktu ashar Alda putri Ratmi, yang baru pulang sekolah, disuruh berkeliling menyampaikan undangan among-among kepada para tetangga terdekat. Pak Misno sang imam Mushola pun diundang untuk memimpin doa. Selepas waktu ashar, bersamaan pula dengan rampungnya persiapan among-among di rumah Ratmi. Ramai ibu-ibu dan  anak-anak kecil mendatangi rumah Mak Tumini. Mereka siap mengikuti ritual among-among motor baru Ratmi.

**
Eko tengah asyik menerbangkan burung dara miliknya. Mulutnya bersiul-siul dan berseru-seru disertai gerakan tangan saat memanggil pulang hewan bersayap itu. Dia tak sendirian di lapangan tersebut. Ada tiga lelaki lain yang sama-sama berkencan dengan belasan merpati mereka masing-masing.

Tiba-tiba sebuah motor bebek berhenti di pinggir lapangan. Lalu seorang lelaki turun dan melangkah pasti menuju Eko. Rambut gondrongnya berkibar, jaket kulitnya warna hitam lusuh, dengan celana jeans biru pudar. Tubuh lelaki itu tinggi tegap, wajahnya masih tampan di balik kematangan usia. Dia menepuk keras bahu Eko dari
belakang.

Eko terloncat kaget, lalu berubah gugup. "Eh, Kang Markum? Dari mana saja?"

"Dari rumah. Jadi ikut lomba dara?" Lelaki bernama Markum balas bertanya.

"Ngg, jadi Kang. Makanya kulatih terus daraku biar makin trampil terbangnya," jawab Eko berseri-seri.

Lomba balap dara tiga hari mendatang adalah ajang penting baginya. Selain iming-iming hadiah yang menggiurkan, di tempat itu berkumpul sesama pecinta burung. Amat bagus untuk memperluas koneksi, karena dirinya adalah pemain baru.

Markum manggut-manggut. Sebenarnya dia tak peduli  dengan urusan Eko. Dia punya maksud lain mendatangi Eko di sini. "Kudengar Ratmi sudah pulang dan barusan selamatan motor baru. Benar begitu?"

"Eh, i-iya Kang."

"Kamu 'ndak ngabari aku," tandas Markum kesal.

Eko berpikir cepat, mencari jawaban. "Ya, aku sibuk membantu urusan Mbak Ratmi, Kang. Jadi ndak sempat ngabari." Dalam hatinya  Eko menyumpahi bekas kakak iparnya itu. Bagaimana bisa preman ini bersikap seakan-akan masih berhak mengetahui kehidupan mbakyunya, Ratmi?

"Yah, bukan masalah besar. Besok aku bisa ke sekolah Alda," gumam Markum.

Eko terperanjat, "Buat apa Kang?"

"Lha, dia 'kan anakku. Wajar seorang bapak menemui putrinya, bukan?" seringai Markum. Lelaki ini sedang perlu banyak uang. Suatu kebetulan yang pas  mantan istrinya pulang dalam kondisi berduit.  Dan dia berencana mendapatkan bagian, dengan satu atau dua cara.

"Aku pergi dulu, Ko. Sampaikan salamku buat Mak Tum." Markum tahu, tak mungkin bekas adik iparnya itu berani menyampaikan salamnya barusan. Dia hanya bermaksud mengejek saja. Sambil terkekeh Markum pun berlalu dari tempat itu. Eko mengedik tak peduli.


***

Sejak pulang sekolah wajah Alda terlihat resah. Seperti ada yang dipendam, tapi tak kunjung keluar. Berulangkali lidahnya tergigit ketika makan, tanda hatinya tak tenang. Akhirnya Alda tak tahan lagi.

"Ngg, Bu. Alda mau ngomong, boleh?"

"Masa nggak boleh? Mau ngomong apa?" senyum Ratmi.

"Ta-pi jangan marah ya, Bu. Tadi Bapak menemui Alda di lobi sekolah," urai Alda pelan. Diceritakannya bahwa Markum memohon izin pada gurunya demi bicara berdua Alda. Bapaknya itu terlihat kuyu. Setelah menanyakan kabar Alda, barulah dia mengatakan maksudnya.

"Apa? Berani-beraninya dia menyuruhmu memintakan uang pada Ibu?" Ratmi muntab. Putrinya menunduk, takut.

"Bapak bilang, dia dikejar-kejar tukang pukul, Bu. Alda kasihan. Bagaimanapun dia bapaknya Alda," ucap Alda memelas.

"Tidak! Dia memang bapakmu, tapi bukan siapa-siapa lagi bagi ibu. Jadi jangan harap ibu sudi menolongnya," sanggah Ratmi keras. "Dan kamu, Alda, jauhi bapakmu sebisa mungkin. Percaya sama ibu, dia hanya membawa hal buruk buat kamu!" Setelah mengucapkan itu, Ratmi meninggalkan Alda di ruang makan. Hatinya panas.

Alda tercenung sedih. Tak lama dia masuk ke kamarnya, meraih ponsel. Dia berniat memberi tahu reaksi ibunya pada sang bapak. Semoga bapaknya bisa memahami situasi saat ini.

Keesokan subuh, seperti biasa Mak Tumini keluar kamar hendak mematikan lampu teras. Saklarnya ada di ruang tamu.

"Lha? Ratmi! Ratmi! Motormu kemana?!" pekik perempuan tua itu histeris. Motor yang kemarin baru diselamati lenyap dari tempatnya!
Ratmi dan Alda buru-buru melepas mukena dan keluar dari kamar, memburu Mak Tumini yang masih histeris.

"Alda! Bangunkan Lik Eko, cepat!" Kemudian Ratmi menuntun ibunya untuk duduk tenang di sofa. Dia lalu memeriksa pintu dan jendela depan.

"Motormu hilang, Mbak? Yang benar saja!" Eko muncul, ikut bingung. Dia mengikuti kakaknya, memeriksa pintu dan jendela. Ada bekas congkelan di pintu.

"Polisi, Bu. Kita lapor polisi!" jerit Alda.

"Kita lapor ke Pak RT dulu," tanggap Eko.

"Duh, Gusti! Siapa yang tega nyuri...," isak Mak Tumini. Motor yang baru dibeli dengan hasil jerih payah Ratmi, putrinya. Motor yang telah didoakan. Duh! (*)

Cilacap, 251217-130219