Cari Blog Ini

Jumat, 01 Maret 2019

[Cerpen] Ratmi Among-Among



(Tayang di Harian Radar Banyumas edisi Minggu, 24 Februari 2019)


Oleh : Gita FU

"Mbak, nanti jam dua motornya diantar," lapor Eko.

"Sudah beres sekalian surat-suratnya?" sahut Ratmi.

Eko mengacungkan jempol. "Sekarang aku mau ke rumah Pak Budi. Ada bisnis burung!"

Ratmi menatap punggung kurus pemuda dua puluh tahunan itu. Dia merasa lega, rencana pertama berjalan lancar. Selanjutnya dia akan segera membuka warung kelontong di halaman depan rumah.

 Enam tahun Ratmi merantau ke Hongkong, mengutip rupiah yang sulit dikais di negeri sendiri. Modalnya sudah terkumpul kini, cukup besar sehingga dia bisa usaha mandiri. Ratmi tak perlu ke luar negeri lagi. Tanpa sengaja wanita empat puluh tahun ini menoleh ke cermin hias di dinding ruang tamu. Bayangannya menatap balik, sesosok perempuan berambut keriting sebahu, wajah diisi noda hitam, dan mata besar berkantung. Alangkah tak menariknya!

"Apa kata Eko, Rat?"  Mak Tumini ibunya, muncul mengagetkan dari dapur.

"Oh, itu motornya mau diantar jam dua, Mak." Dia beringsut sedikit di sofa, memberi ruang untuk ibunya duduk.

"Hmm, berarti masih sempat," gumam Mak Tumini.

"Sempat apa, Mak?"

"Belanja buat bikin among-among. Nanti setelah motornya datang, kita undang tetangga dan Pak Misno," balas Mak Tumini penuh kepastian.

Ratmi mengernyit tak suka. Among-among adalah tradisi selamatan di wilayah lembah Serayu. Si empunya hajat memasak nasi dan lauk pauk, lalu mengundang para tetangga. Kemudian seorang yang dianggap ustad akan diminta memimpin doa keselamatan di atas makanan dan segayung air. Usai didoakan makanan segera dibagikan kepada tetangga yang datang,  dalam wujud takiran--mangkok dari daun pisang yang ditekuk atau dari kertas pembungkus makanan. Sedangkan airnya disiramkan pada objek yang didoakan, motor misalnya.

"Buat apa, Mak?" Ratmi merasa gagasan ibunya terlalu kolot dan  merepotkan.

"Biar tidak kena bala, ngerti!" Suara Mak Tumini langsung naik. "Namanya motor mau dipakai setiap hari, bisa kecelakaan. Mulane harus didoakan biar terlindung dari musibah!"

"Mak, asal kita sudah berdoa  sebelum naik motor, dan mengikuti aturan lalu lintas pasti selamat." Ratmi mencoba menyanggah.

Mak Tumini memelotot jengkel, lalu muntab. "Hooo, kamu berani mbantah, ya? Mentang-mentang kerja di luar negeri, trus sok pintar sama orang tua, hah? Mau mengulang kebodohanmu milih suami dulu, gara-gara nggak nurut omonganku?"

Ratmi kelabakan ibunya mulai melantur. Padahal dia hanya ingin meluruskan secara logika saja. "Bukan begitu, Mak...."

"Ya, sudah! Kalau begitu manut saja! Habis ini kamu belanja ke pasar Sangkal Putung. Nanti aku yang manggil Bu Jio sama Lastri buat 'mbantu masak dan bikin takiran," pungkas perempuan tujuh puluh tahun itu.

Ratmi menghela napas panjang. Sungguh ibunya ini perempuan tua keras hati. Dia akhirnya mengalah.

**
"Wah, si Ratmi memang pinter nyimpen duit, ya! Pulang dari Hongkong bisa beli motor baru, kes lagi!" puji Bu Jio.

"Biasa saja Bu Jio. Ini motor juga nantinya buat antar jemput Alda sekolah," jawab Ratmi tersipu.

"Bener kayak gitu, Rat! Daripada pusing-pusing mikirin cicilan," timpal Lastri.

"Iya, Las. Mumpung ada duitnya ngapain utang, kan? Bikin beban pikiran." Ratmi menjawil pipi Lastri, teman sepermainannya.

Mereka mengobrol di dapur sembari mengolah urap, sayur tempe cabe hijau, telur dadar, sayur bihun goreng, beserta kerupuk udang. Kesemuanya menu among-among.

"Tapi terutama Ratmi harus bersyukur ada aku yang bisa dia percaya. Coba kalau masih ada Markum, bisa habis uangnya buat foya-foya!" Mak Tumini menyinyir, mengungkit nama bekas menantunya.

Dua tetangganya terdiam, melirik Ratmi yang berubah masam wajahnya.  Dalam hatinya dia kesal bukan main, tapi jika ditanggapi maka ibunya akan semakin mengoceh. Padahal dia tak mau masa lalunya dibicarakan di hadapan tetangga.

Seolah-olah menjadi penyelamat kebisuan yang kaku tersebut, datanglah dua orang lelaki dari dealer motor. Ratmi semringah menyambut mereka. Tak lama kemudian proses serah terima pun selesai. Kini sebuah motor matic  berdiri gagah di teras rumah. Kesemuanya tak lepas dari pengawasan mata tua Mak Tumini. Diam-diam perempuan tua itu mengagumi kendaraan tersebut.

Menjelang waktu ashar Alda putri Ratmi, yang baru pulang sekolah, disuruh berkeliling menyampaikan undangan among-among kepada para tetangga terdekat. Pak Misno sang imam Mushola pun diundang untuk memimpin doa. Selepas waktu ashar, bersamaan pula dengan rampungnya persiapan among-among di rumah Ratmi. Ramai ibu-ibu dan  anak-anak kecil mendatangi rumah Mak Tumini. Mereka siap mengikuti ritual among-among motor baru Ratmi.

**
Eko tengah asyik menerbangkan burung dara miliknya. Mulutnya bersiul-siul dan berseru-seru disertai gerakan tangan saat memanggil pulang hewan bersayap itu. Dia tak sendirian di lapangan tersebut. Ada tiga lelaki lain yang sama-sama berkencan dengan belasan merpati mereka masing-masing.

Tiba-tiba sebuah motor bebek berhenti di pinggir lapangan. Lalu seorang lelaki turun dan melangkah pasti menuju Eko. Rambut gondrongnya berkibar, jaket kulitnya warna hitam lusuh, dengan celana jeans biru pudar. Tubuh lelaki itu tinggi tegap, wajahnya masih tampan di balik kematangan usia. Dia menepuk keras bahu Eko dari
belakang.

Eko terloncat kaget, lalu berubah gugup. "Eh, Kang Markum? Dari mana saja?"

"Dari rumah. Jadi ikut lomba dara?" Lelaki bernama Markum balas bertanya.

"Ngg, jadi Kang. Makanya kulatih terus daraku biar makin trampil terbangnya," jawab Eko berseri-seri.

Lomba balap dara tiga hari mendatang adalah ajang penting baginya. Selain iming-iming hadiah yang menggiurkan, di tempat itu berkumpul sesama pecinta burung. Amat bagus untuk memperluas koneksi, karena dirinya adalah pemain baru.

Markum manggut-manggut. Sebenarnya dia tak peduli  dengan urusan Eko. Dia punya maksud lain mendatangi Eko di sini. "Kudengar Ratmi sudah pulang dan barusan selamatan motor baru. Benar begitu?"

"Eh, i-iya Kang."

"Kamu 'ndak ngabari aku," tandas Markum kesal.

Eko berpikir cepat, mencari jawaban. "Ya, aku sibuk membantu urusan Mbak Ratmi, Kang. Jadi ndak sempat ngabari." Dalam hatinya  Eko menyumpahi bekas kakak iparnya itu. Bagaimana bisa preman ini bersikap seakan-akan masih berhak mengetahui kehidupan mbakyunya, Ratmi?

"Yah, bukan masalah besar. Besok aku bisa ke sekolah Alda," gumam Markum.

Eko terperanjat, "Buat apa Kang?"

"Lha, dia 'kan anakku. Wajar seorang bapak menemui putrinya, bukan?" seringai Markum. Lelaki ini sedang perlu banyak uang. Suatu kebetulan yang pas  mantan istrinya pulang dalam kondisi berduit.  Dan dia berencana mendapatkan bagian, dengan satu atau dua cara.

"Aku pergi dulu, Ko. Sampaikan salamku buat Mak Tum." Markum tahu, tak mungkin bekas adik iparnya itu berani menyampaikan salamnya barusan. Dia hanya bermaksud mengejek saja. Sambil terkekeh Markum pun berlalu dari tempat itu. Eko mengedik tak peduli.


***

Sejak pulang sekolah wajah Alda terlihat resah. Seperti ada yang dipendam, tapi tak kunjung keluar. Berulangkali lidahnya tergigit ketika makan, tanda hatinya tak tenang. Akhirnya Alda tak tahan lagi.

"Ngg, Bu. Alda mau ngomong, boleh?"

"Masa nggak boleh? Mau ngomong apa?" senyum Ratmi.

"Ta-pi jangan marah ya, Bu. Tadi Bapak menemui Alda di lobi sekolah," urai Alda pelan. Diceritakannya bahwa Markum memohon izin pada gurunya demi bicara berdua Alda. Bapaknya itu terlihat kuyu. Setelah menanyakan kabar Alda, barulah dia mengatakan maksudnya.

"Apa? Berani-beraninya dia menyuruhmu memintakan uang pada Ibu?" Ratmi muntab. Putrinya menunduk, takut.

"Bapak bilang, dia dikejar-kejar tukang pukul, Bu. Alda kasihan. Bagaimanapun dia bapaknya Alda," ucap Alda memelas.

"Tidak! Dia memang bapakmu, tapi bukan siapa-siapa lagi bagi ibu. Jadi jangan harap ibu sudi menolongnya," sanggah Ratmi keras. "Dan kamu, Alda, jauhi bapakmu sebisa mungkin. Percaya sama ibu, dia hanya membawa hal buruk buat kamu!" Setelah mengucapkan itu, Ratmi meninggalkan Alda di ruang makan. Hatinya panas.

Alda tercenung sedih. Tak lama dia masuk ke kamarnya, meraih ponsel. Dia berniat memberi tahu reaksi ibunya pada sang bapak. Semoga bapaknya bisa memahami situasi saat ini.

Keesokan subuh, seperti biasa Mak Tumini keluar kamar hendak mematikan lampu teras. Saklarnya ada di ruang tamu.

"Lha? Ratmi! Ratmi! Motormu kemana?!" pekik perempuan tua itu histeris. Motor yang kemarin baru diselamati lenyap dari tempatnya!
Ratmi dan Alda buru-buru melepas mukena dan keluar dari kamar, memburu Mak Tumini yang masih histeris.

"Alda! Bangunkan Lik Eko, cepat!" Kemudian Ratmi menuntun ibunya untuk duduk tenang di sofa. Dia lalu memeriksa pintu dan jendela depan.

"Motormu hilang, Mbak? Yang benar saja!" Eko muncul, ikut bingung. Dia mengikuti kakaknya, memeriksa pintu dan jendela. Ada bekas congkelan di pintu.

"Polisi, Bu. Kita lapor polisi!" jerit Alda.

"Kita lapor ke Pak RT dulu," tanggap Eko.

"Duh, Gusti! Siapa yang tega nyuri...," isak Mak Tumini. Motor yang baru dibeli dengan hasil jerih payah Ratmi, putrinya. Motor yang telah didoakan. Duh! (*)

Cilacap, 251217-130219

2 komentar: