Cari Blog Ini

Minggu, 07 April 2019

[Resensi] Anak Meniru Perilaku Buruk Orang Tua

Psycho-thriller Humaira Aziza
Kaver depan 

(Terbit di Harian Kabar Madura edisi Kamis, 4 April 2019)

Halaman Opini Harian Kabar Madura

Oleh: Gita FU

Judul Buku.     : Empty Faces Against the Wall
Penulis.            : Humaira Aziza
Penerbit.          : Hazerain Publisher
Cetakan.          : Pertama, 2018
Tebal                : 285 halaman
ISBN.                : 978-602-5684-96-8

Orang tua adalah guru pertama bagi anak, pelukis bagi jiwa yang masih polos tersebut. Sebab anak-anak belajar dengan cara meniru; baik sikap, cara bicara, emosi, hingga tingkah laku orang tua. Jika orang tua ingin anak-anaknya tumbuh baik dan sehat, berikan teladan yang bagus. Pesan itulah yang menurut saya, coba disampaikan oleh penulis novel remaja bergenre psikologi-thriller ini.

Novel yang mengambil lokasi di Amerika ini, tepatnya kota New York, memusatkan kisah pada 5 tokoh utama: Brianna Carpenter, Maura Velcones, Benjamin Saunders, Shelby dan Caleb Hutchinson. Bermula dari kecemburuan yang melanda Brianna, menyaksikan bagaimana pemuda yang ia cintai yaitu Benjamin, ternyata lebih memilih jadi kekasih Shelby. Pasangan Benjamin  dan Shelby adalah pasangan populer di Reagen's Highschool; Benjamin pemain futbol, Shelby gadis pemandu sorak. Sedangkan Brianna sendiri adalah gadis kutu buku cerdas, juara olimpiade sains.

Rasa cinta Brianna beralih rupa menjadi obsesi. Hal ini diketahui oleh Maura si pembawa masalah. Maura membujuk Brianna untuk menguntit Shelby. Dari situlah Brianna tahu tentang saudara kembar Shelby bernama Caleb, yang cacat kakinya dan selalu berkursi roda (hal. 23). Maura sendiri rupanya punya agenda tersembunyi. Ia ingin menghancurkan Shelby, yang dahulu pernah menyebabkan abangnya patah hati lalu bunuh diri.

Berkat rencana Maura, akhirnya Brianna punya kesempatan mendekati Benjamin. Sayang, perasaannya tidak berbalas. Karena Benjamin hanya menganggap Brianna sebagai gadis satu malam seperti gadis-gadis sebelumnya. Agar lepas dari Brianna, Benjamin membuat laporan palsu kepada polisi tentang Maura yang hendak mencelakai Brianna. Padahal itu hanyalah rencana pura-pura antara Maura dan Brianna. Maura pun ditahan karena Brianna memilih bungkam. Di luar dugaan, ayah Shelby dan Caleb menjadi penjamin hingga Maura bisa keluar dari tahanan. Rupanya bibi Maura adalah pembantu rumah tangga keluarga Hutchinson. Namun ayah Shelby mengajukan syarat: Maura harus bisa mendekatkan Brianna ke putranya, Caleb (hal. 65).

Masalah lain menimpa Brianna: ia hamil akibat hubungan intimnya dengan Benjamin. Didorong amarah dan kecewa mengetahui hal itu, Travis kakaknya menuntut tanggung jawab Benjamin. Kejadian itu berujung pada kecelakaan tragis yang merenggut nyawa pemuda itu. Ibu mereka begitu terpukul atas kematian putra sulungnya sehingga menyalahkan Brianna. Di sinilah kepribadian  gelap Brianna makin tersingkap,  karena ia tega mencelakakan ibunya di kamar mandi hingga tewas (hal. 89).

Satu persatu mozaik mengenai latar belakang keluarga para tokoh dimunculkan oleh penulis. Seperti si kembar Shelby dan Caleb Hutchinson, yang memiliki ayah seorang diktator, dan mendiang ibu yang bermasalah kejiwaannya. Benjamin Saunders, berasal dari keluarga broken home meskipun kaya raya. Maura Velcones, ternyata anak seorang psikopat sadis; ayahnya menculik, lalu membunuh dan memutilasi para korban di hadapan Maura dan saudara-saudaranya. Brianna sendiri  bukanlah anak kandung keluarga Carpenter. Sewaktu berumur 5 tahun, ibu kandungnya menyerahkan Brianna yang bernama lahir Jocelyne, pada keluarga Carpenter demi menyelamatkan jiwanya. Karena ayah biologisnya adalah psikopat sadis; ternyata Brianna adalah adik kandung Maura Velcones.

Memiliki orang tua yang bermasalah tentu saja mempengaruhi psikis para remaja itu. Mereka memiliki sifat masa bodoh, anti sosial, manipulatif, hingga tega mencelakai orang lain demi kepentingan diri sendiri. Bahkan secara genetik pun orang tua  yang sakit jiwa bisa menitiskan gangguan mental. Dalam hal ini Brianna contohnya, yang telah didiagnosa sejak kecil mengidap skizoaffectif.  Yaitu gangguan mental berupa delusi, halusinasi, dan perubahan suasana hati yang tiba-tiba (hal. 187).

Kelebihan penulis ialah pada kepiawaiannya menarasikan  emosi para tokoh utama. Saat Brianna mengalami delusi, pembaca seolah-olah menyaksikan sebuah adegan film. Penulis juga cukup cakap menggambarkan budaya  di Amerika.

Sayangnya di beberapa bagian cerita terdapat lubang logika. Ditambah terlalu banyak tokoh pendukung yang muncul di sepanjang cerita. Endingnya pun menurut saya terasa terburu-buru. Andaikata tebal novel ini lebih dari 300 halaman, mungkin porsi antara konflik utama dan pendamping akan seimbang.

Walaupun demikian pesan tentang pentingnya keharmonisan keluarga tetap tersampaikan. Sejumlah kasus kenakalan remaja yang digambarkan penulis pun  mampu menjadi bahan renungan usai membaca buku ini. Sebuah novel yang layak dibaca khalayak umum. (*)

Cilacap, 080319

Gita FU, pembaca buku kelahiran Pontianak 3 Desember 1981. Karya solonya adalah buku  kumpulan cerita anak 'Pekerjaan Rahasia' (JWriting Soul Publishing, Agustus 2018).

5 komentar: