Cari Blog Ini

Senin, 05 Agustus 2019

[Resensi] Resep Keakraban Keluarga Baduy



(Telah dimuat di Rubrik Pustaka Harian Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 26 Mei 2019)



Oleh: Gita FU

Judul Buku.     : Belajar Membaca Kegelapan
Penulis.            : Encep Abdullah
Penerbit.          : Gaksa Enterprise
Cetakan.          : Pertama, Maret 2019
Tebal                : ix+95 halaman
ISBN.                : 978-602-5906-40-4

Apakah  kehadiran sumber energi listrik meningkatkan kualitas hidup? Mungkin sebagian besar kita akan menjawab dengan yakin: ya, tentu saja. Dengan listrik hidup  manusia terasa  makin mudah. Terbukti oleh bermunculannya aneka piranti elektronik yang memanjakan: penanak nasi listrik, mesin cuci  baju,  kompor listrik, sepeda listrik, lemari pendingin, televisi,  dan lain sebagainya. Namun benarkah selalu demikian?

Encep Abdullah seorang guru di SMK Muhammadiyah Pontang, Banten, sekaligus seorang penulis muda, menyenaraikan buah pikirannya  melalui esai-esai yang cukup bernas. Untuk masalah listrik di awal tadi, ia mengajak pembaca melakukan studi kasus (Belajar dari Sekolah dan Suku Baduy, halaman 17).

Suatu ketika terjadi mati listrik di daerah tempatnya tinggal. Kemudian ia berangkat ke sekolah tempatnya mengajar, yang mana hari itu akan ada pembagian rapor siswa. Ternyata di sekolah suasana begitu riuh. Rekan-rekannya sesama guru sibuk menyalahkan PLN, karena menyebabkan tidak selesainya pekerjaan mereka. Mulai dari printer yang mati padahal rapor belum selesai diisi, hingga matinya penanak nasi elektrik sehingga masak nasi menjadi lebih lambat.

"Padahal, bukankah dulu tak ada listrik, hidup terus berlangsung. Tak ada lampu, hidup terus berlangsung" (halaman 19).

Penulis lalu teringat suku Baduy (Rangkasbitung) yang pernah ditandanginya. Di sana tak ada listrik, berkat kearifan lokal yang masih dijaga. Begitu magrib kegelapan menyelimuti rumah-rumah. Hidup mereka sungguh bersahaja. Namun justru kehangatan dalam keluarga muncul. Antar anggota keluarga terasa akrab dan dekat; sehari-hari mereka saling bekerja sama, tiada ketergantungan pada peralatan elektronik.  Sungguh sebuah ironi.

Pada esai berjudul "Anak-anak yang Dewasa Sebelum Waktunya", penulis mengkritisi kelangkaan acara khusus anak di televisi (halaman 12). Acara televisi didominasi sinetron dan hiburan musik dangdut sejak petang hingga pukul sepuluh malam.  Akibatnya anak-anak ikut menonton dan terpapar hal yang belum layak bagi mereka. Solusinya menurut penulis, kembali pada pola pendidikan dalam keluarga.

Empat belas esai lainnya menarik pula disimak. Ada yang menyoal dunia sastra dan literasi, serta dunia pendidikan. Sesuai dengan bidang si penulis: guru dan penulis. Setidaknya buku sehimpun esai ini bisa dijadikan referensi pemikiran bagi pembaca umum. (*)

Cilacap, 180419

4 komentar:

  1. Thank for sharing,. sukses terus ..

    BalasHapus
  2. Iya bener juga, klo di rumah juga kalau lampu mati ya ngobrol sama keluarga. Kehangatan silaturahmi terikat kuat. Salam kenal mbak.

    BalasHapus