Cari Blog Ini

Senin, 20 Juli 2020

Uang Tidak Turun dari Langit

Img. Pixabay


Oleh: Gita FU


Orang bilang, peristiwa yang menyakitkan di masa anak-anak akan membekas lebih lama. Itu benar. Sebuah kejadian sepele menimpa saya ketika kelas 3 SD. Dan berhasil menjungkirbalikkan perspektif saya dalam memandang diri sendiri.


Waktu itu keluarga besar dari pihak Bapak tengah berkumpul di rumah Mbah dalam rangka lebaran. Lalu saya, Paklik, Bapak, adik lelaki saya,  dan seorang kakak sepupu duduk-duduk santai di ruang tamu. Kakak sepupu ini umurnya sebaya dengan saya, kita sebut saja namanya Intan.  Paklik, dan Bapak saling melempar guyonan segar, membikin suasana hidup. Mendadak saya teringat satu cerita lucu dan ingin menceritakannya, terutama kepada Bapak. Di saat yang bersamaan Intan pun rupanya ingin bercerita. Akibatnya kami mulai bicara berbarengan. Kemudian apa yang terjadi? Ternyata Bapak memilih mendengarkan cerita Intan, dan mengabaikan saya. Setelah Intan selesai, seisi ruangan (kecuali saya) tertawa terbahak-bahak karena ceritanya.


Saya merasa nelangsa sekali. Segera saya masuk ke kamar Mbah, menyembunyikan air mata. Memang saya akui, Intan pandai memikat lawan bicara karena gaya bicaranya ceplas-ceplos. Suatu kelebihan yang tidak saya miliki. Namun bukankah seharusnya Bapak mau menyediakan telinga untuk cerita saya, putrinya sendiri? 


Kejadian itu membuat saya belajar banyak hal. Di antaranya:

1. Kamu harus menarik agar diperhatikan orang lain;
2. Saudara atau bukan, tak ada hubungannya dengan rasa empati;
3. Lebih baik saya mencari jalur alternatif, agar tidak ditabrak pelintas lain yang punya kendaraan lebih menawan.


Demikianlah, hidup terus berjalan. Saya pun mengamalkan pelajaran nomor tiga. Alih-alih berusaha memperbaiki gaya bicara, atau penampilan misalnya, saya malah menarik diri dari keramaian. Saya lebih suka tenggelam dalam bacaan, apa saja jenisnya. Entah itu komik, novel, cersil, cergam, majalah, buku agama, buku IPA, koran, bahkan bungkus snack yang saya beli di warung. Dengan membaca saya merasa menemukan dunia baru, sensasi pengetahuan baru, mengenal tempat-tempat asing beserta penduduknya; pendek kata saya mendapatkan teman yang tidak akan mengabaikan saya.


Selain membaca ada satu lagi kegemaran saya yang muncul belakangan, yaitu menciptakan cerita-cerita. Awalnya saya tuangkan cerita-cerita itu ke dalam bentuk gambar. Di lembar-lembar buku tulis, saya asyik menggambar bebek-bebek yang saling mengobrol. Setiap kali saya bosan mendengarkan guru di depan kelas, maka saya akan  menggambar. Saya tenggelam ke dalam cerita yang saya ciptakan sendiri. Akibatnya guru-guru tersebut bakal menegur dengan lemparan kapur tulis, agar saya kembali memperhatikan pelajaran. Apakah saya menjadi kapok? Tentu saja tidak.


Beberapa teman sekelas di masa itu menganggap saya aneh dan tukang bikin masalah dengan guru. Mereka yang berpikir seperti itu lalu menjauhi saya. Namun saya tidak begitu memusingkannya. Sepanjang saya punya buku untuk dibaca, dan kertas untuk digambari, tidak mengapa tidak punya banyak teman di kelas. Begitulah cara saya membangun pertahanan diri.


Ketika memasuki masa remaja, kebiasaan membuat cerita bergambar pun surut. Sebagai gantinya saya mengenal buku diary. Karena tidak setiap masalah yang saya alami bisa saya katakan dengan bebas kepada orang tua, buku diary itu menjadi tempat bercerita yang paling baik. Saya merasa amat nyaman dan lancar ketika menuliskan yang ada di pikiran saya. Ajaib sekali, betapa banyak kata-kata yang mengalir keluar melalui goresan pena, lalu memenuhi lembar-lembar diary saya. Setiap usai menulis, saya merasakan kelegaan yang paling plong. 


Di SMP, bacaan  saya meluas. Beruntung sekolah saya memiliki perpustakaan yang cukup lengkap. Di situ saya menemukan buku-buku sastra angkatan balai pustaka, bersanding dengan majalah MOP,  majalah Anita Cemerlang, dan  bahan ajar lain. Selain itu, ada klub drama yang diampu guru bahasa Indonesia. Saya bergabung di klub ini, dan mendapatkan banyak ilmu baru tak hanya terbatas pada drama. Sebab guru kami mengajarkan pula prosa lama dan baru.


Terkait prosa baru, khususnya cerpen, saya punya pengalaman tak terlupakan. Ketika saya duduk di kelas 2, sekolah kami merayakan ulang tahunnya dengan berbagai lomba internal, salah satunya ialah lomba menulis cerpen. Saya merasa tertantang mengikutinya. Terutama karena di masa itu, saya banyak menjejali diri dengan membaca aneka cerpen remaja di majalah Anita Cemerlang, Aneka Yess, Gadis, dan Hai. Jadi mengapa saya tidak mencoba membuat cerita sendiri? Kemudian saya mulai menulis, setelah selesai langsung saya kirimkan ke posko pengumpulan naskah di perpustakaan.


Ketika diumumkan hasilnya, cerpen saya yang berjudul "Ketika Kamu Sakit" tersebut,  keluar menjadi juara.    Saya tidak tahu  bagaimana cara juri menilai   sehingga menganggap karya saya  itu yang terbaik. Dalam angan-angan saya,  mungkin karena jalan ceritanya yang dramatis, atau dialog-dialog nan puitis, atau penokohan yang sempurna. Semua kemungkinan ini membuat saya berbunga-bunga; ternyata saya punya bakat terpendam. (Baru belakangan saya mengetahui faktanya: cerpen saya adalah satu-satunya peserta dalam lomba itu. Apakah saya jadi merasa malu? Tidak juga. Itu, kan, bukan urusan saya).


Sayangnya, setelah menjuarai lomba di SMP tersebut, semangat menulis saya byar-pet, byar-pet, di tahun-tahun selanjutnya. Meskipun begitu, saya tetap membaca banyak buku. Itu tamasya tidak tergantikan. Barulah di tahun 2004 saya kembali tergugah untuk menulis. Saya bergabung dengan Forum Lingkar Pena cabang Purwokerto yang baru mulai didirikan. Kali ini saya bertekad untuk mempelajari cara-cara menulis yang baik dan benar. Terutama menulis fiksi, karena saya menyukai cerita.


Di tahun itu pula, ketika warnet sedang menjadi tren, saya memberanikan diri mengikuti Close Up Movie Planet Competition. Sebuah kompetisi  menulis ide cerita unik dan segar, yang lalu akan diwujudkan menjadi karya film pendek. Tawaran hadiahnya amat menggiurkan. Saya suka membayangkan diri saya menang, lalu terbang ke Australia untuk mengikuti pelatihan membuat film pendek. Pasti 'wow' sekali. Maka saya pun bersemangat mengikuti kompetisi itu. Usai mengirimkan karya, saya tidak mengikuti lagi berita dari Close Up Movie Competition. Entah siapa juaranya, yang jelas bukan saya.


Saya bertahan ikut FLP cabang Purwokerto selama tiga bulan saja. Penyebabnya karena saya mulai kuliah D3 di kampus swasta, ditambah membantu usaha orang tua, dipungkasi memberi les-les privat. Jadi terpaksa saya menyisihkan keinginan belajar menulis cerpen hingga waktu yang saya sendiri tidak tahu.


Di tahun 2006 saya kembali menulis cerpen. Awalnya saya tulis di buku, lalu saya pindahkan ke komputer di kampus, dan dibaca beberapa teman. Mereka menyatakan apresiasinya terhadap kisah itu. Saya juga menulis sebuah cerita anak untuk dikirimkan ke majalah Bobo via pos. Tak disangka, cerita berjudul "Didi dan Sepiring Nasi" itu dimuat beberapa minggu kemudian. Kala itu Bobo terbit satu pekan sekali. Betapa bahagia hati saya, mendapat kiriman bukti terbit, dan wesel berisi honor. Teman-teman di kampus yang mengetahui hal ini ikut mengucapkan selamat atas pemuatan karya saya.


Namun setelah itu saya kembali vakum. Apalagi di tahun 2006 itu pula saya menikah. Dan kesibukan baru setelah berkeluarga berhasil membuat saya lupa pada cerpen. Saya masih menulis diary, sesekali di waktu luang, berkomunikasi dengan diri sendiri. Hanya itu saja.  Tahun-tahun yang berlalu menyisakan kenangan samar belaka perkara dunia cerpen.


Tahun 2015 menjadi awal baru. Bermula dari HP Nokia C3 milik Ibu, saya terkoneksi kembali dengan internet. Saat membuka-buka akun Facebook saya menemukan informasi tentang grup-grup kepenulisan. Hal tersebut membuka lagi kenangan samar sekaligus kerinduan pada dunia menulis. Saya segera memilih bergabung dengan salah satu grup kepenulisan, yang didirikan seorang penulis wanita terkenal. Di situ saya kembali belajar menulis yang baik dan benar. Saya merasa telah lama berkarat, perlu diasah lagi.

Dari satu grup ke grup, membuka jalan saya untuk berkenalan dengan penulis-penulis yang lebih dulu eksis. Banyak dari mereka yang bersikap rendah hati, mau berbagi ilmu tentang kepenulisan yang mereka miliki. Sungguh suatu keberuntungan bagi saya.


Begitulah hingga hari ini, detik saya membuat tulisan ini. Saya selalu merasa berkarat dalam hal ilmu menulis. Ibarat uang tidak turun dari langit, begitu pun kemampuan manusia yang tidak serta merta mahir atau mumpuni; butuh belajar terus menerus, selama hayat dikandung badan. Jika saya berhenti maka saya akan tamat. Seringkas itu. (*)


Cilacap, 18-200720

(Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Catatan Pringadi bekerjasama dengan Tempo Institute).


Sabtu, 04 Juli 2020

[Resensi] Kisah Cinta yang Muram dan Melukai Diri




(Tersiar di Harian Bhirawa edisi Jumat, 3 Juli 2020)

Oleh: Gita FU



Judul : Pirgi dan Misota
Penulis         : Yetti A. KAn
Penerbit : Diva Press
Cetakan  : Pertama, September 2019
Tebal : 132 hlm
ISBN : 978-602-391-753-2

Kisah cinta tidak selalu manis dan berakhir bahagia, ada pula yang mengalami kepahitan. Bahkan pada level yang parah ada sebagian orang yang menjalani 'toxic relationship', alias hubungan yang tidak sehat, tidak menyenangkan, dan merugikan bagi diri sendiri. Patut disayangkan kaum perempuan kerap terjebak di dalamnya, tak mampu atau tak mau keluar dari kondisi tersebut, meskipun dirinya makin terluka. Biasanya alasan yang dijadikan pembenaran adalah karena cinta.

Dalam novela ini Yetti A. KA mengetengahkan jalinan kisah nan muram dari tiga perempuan yakni Pirgi, ibunya, dan Misota.  Pirgi  seorang perempuan muda  naif yang punya sifat obsesif. Ayahnya adalah pensiunan pegawai kantor pos, tak pernah ikut mengurus  Pirgi semenjak  kecil. Sikapnya selalu masam dan tak banyak bicara kepada anak dan istrinya. Sedangkan ibu Pirgi wanita yang keras kepala, ia memiliki usaha rumah jahit dengan penghasilan lebih tinggi ketimbang  sang ayah. Ibunya mendominasi kehidupan Pirgi. Ia kerap bersikap keras dan memarahi apapun tindakan Pirgi yang tak berkenan di hatinya (hal. 26).

 Sejak kecil cita-cita Pirgi ingin menjadi penjaga toko roti dengan topi jamur di kepala. Ia mendambakan profesi itu semenjak di TK, walaupun ibunya habis-habisan mencela. Bahkan sang ibu mengarahkan cita-cita Pirgi agar menjadi seorang sekretaris di perusahaan besar. Pada akhirnya Pirgi berhasil mendapatkan yang ia inginkan: menjadi penjaga di toko roti, yang seragam karyawan perempuannya adalah baju dan rok selutut, lengkap dengan topi jamur berwarna putih. Di toko itu Pirgi bertemu Nodee, lelaki yang usianya bahkan lebih tua dari ibunya, dan ia seorang penulis. Pria itu bersikap manis dan perhatian padanya. Dua hal tersebut cukup membuat Pirgi dimabuk cinta, padahal ibunya tidak menyukai pria berumur itu.
 “Aku gadis muda berusia 22 tahun, bekerja di toko roti, terancam putus kuliah di jurusan sosiologi. Lelaki itu 45—satu tahun lebih tua dari ibuku—seorang penulis, tapi kata ibuku itu sama dengan pengangguran. Aku tak boleh menyukainya. Ibuku pasti murka.” (hal. 32).  

Atas dorongan perasaan, Pirgi mengambil keputusan nekat dengan menikahi Nodee dan keluar dari rumah ibunya. Ia lalu mengikuti Nodee yang memilih tinggal di sebuah rumah kontrakan sempit di kawasan padat penduduk (hal.47). Pernikahan tanpa restu itu berjalan hingga tahun kedua. Dari situ terkuak bahwa Nodee   mempunyai masalah  keseimbangan mental.  Pria itu selalu mengurung diri di ruangan sempit dengan alasan menulis novel, ia senang mengoleksi suvenir dari para penggemar perempuan, dan kerap mengabaikan keberadaan Pirgi. Ia pun sering tiba-tiba marah dan bersikap kasar. Hal-hal tersebut lambat laun mempengaruhi kejiwaan Pirgi. Ia bahkan percaya saja pada sugesti Nodee bahwa  dirinya adalah jamur raksasa yang memiliki kekuatan penghancur (hal. 58).    

Pirgi yang tengah dibelit masalah dalam pernikahannya tak bisa meminta bantuan pada orangtuanya. Maka ia berpaling pada Misota, yang dianggap sebagai sahabat baiknya. Misota sendiri adalah perempuan penuh masalah, sehari-hari bekerja sebagai operator telepon di rumah bordil. Meskipun tak bisa memberikan bantuan atas masalah Pirgi, Misota selalu bersikap ceria dan membesarkan hati. Sikapnya amat bertolak belakang dengan ibunya, sehingga Pirgi merasa nyaman berbicara pada Misota.

Namun akhirnya pernikahan mereka  berantakan saat Nodee memutuskan untuk berpisah. Beban psikis Pirgi tak tertanggungkan lagi sehingga ia mengamuk di toko roti tempatnya bekerja; ia berilusi dirinya betul-betul berubah  jamur raksasa.  Akibatnya Pirgi mendapat perawatan di rumah sakit jiwa selama tiga bulan. Setelah keluar dari sana, kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya pulih kembali. Ibarat gelas, Pirgi telah retak. 

Di sisi lain Misota menghadapi terornya sendiri. Ia yang sebelumnya dikenal Pirgi sebagai perempuan tangguh dan ceria, nyatanya punya masa lalu gelap; pria yang pernah memperkosa dan menjadikannya budak seks bertahun lampau berhasil menemukan tempat kerjanya. Ironisnya, jangankan melaporkan si pria kepada pihak berwajib, Misota bahkan tidak bisa membenci pria itu, karena ia mencintainya.   Pirgi yang baru keluar dari rumah sakit jiwa ingin bercengkrama seperti biasa dengan Misota. Namun kali ini Misota tak mampu lagi bersikap tegar dan memilih pergi (hal. 126).

Mau tidak mau Pirgi kembali berada dalam rengkuhan ibunya. Ibu Pirgi yang kerap menyebalkan, tapi tetap peduli padanya. Tanpa sepengetahuan Pirgi, Ibu pun menyimpan luka dari masa lalu yang membentuk karakternya menjadi keras dan kaku. Sejak Pirgi kecil, Ibu mengaku sebagai anak petani di kampung. Namun ternyata hal itu bohong belaka.  

“Aku ditinggalkan oleh ibuku, setelah ayahku lebih dahulu pergi. Jangan kau bayangkan bagaimana aku melewatinya. Umurku baru enam tahun. Aku belum mengerti apa-apa selain banyak menangis. Seseorang jatuh kasihan melihat tubuh kurus keringku di jalanan. Ia memang orang baik. Selain aku, ia membesarkan anak lain.” (hal. 128).

Berbagai peristiwa tidak menyenangkan telah dialami Ibu semenjak kecil,  beranjak remaja hingga dewasa. Bahkan Ibu pernah pula terjerumus ke pergaulan bebas. Karena itu setelah menikah lalu  membesarkan Pirgi, ia memutuskan menjaga putrinya dengan ketat. Rupanya Ibu ingin memperbaiki banyak bagian yang salah di hidupnya dahulu. 

Kisah dalam novela ini adalah kisah muram di dunia perempuan yang banyak terjadi di luar sana. Seyogyanya para perempuan menjadi lebih bijak dalam menjaga kewarasan dirinya sendiri, dan peran keluarga pun penting. Pesan ini menjadikan buku ini layak dibaca pembaca dewasa. (*)

Cilacap, 120320