Cari Blog Ini

Selasa, 20 Oktober 2020

Musim Kedua

Rubrik cerma Minggu Pagi

(Terbit di Minggu Pagi edisi Kamis, 8 Oktober 2020)

Oleh: Gita FU

"Ge, papaku bilang mau nikah lagi," ungkap Mita. Siang itu mereka duduk di bawah pohon kersen, di belakang rumah Gea.

"Lho, bagus tho? Papamu kan sudah menduda empat tahun," sahut Gea sambil mengudap kersen, "kalau mau nikah lagi, ya, wajar. Beliau butuh pendamping hidup yang bisa diajak berbagi, selaku pria dan wanita dewasa. Sedangkan kamu suatu saat bakal punya kehidupan sendiri."

Mita terdiam. Ia menatap sebal pada cewek berambut ikal sebahu di sampingnya itu. "Iya, Ge, iya! Tapi, mbok, ya jangan wanita itu...."

Gea menatap buah kersen yang hampir habis di mangkuknya. Sebenarnya ia sedang ingin bersantai sambil makan kersen. Mumpung tak ada tugas daring dari sekolah. Namun Mita adalah sahabatnya sejak kecil.

"Ge! Kamu masih nyimak nggak, sih?"

"Eh, apa, Mit? Kamu tadi bilang apa?"

"Aku bilang, seharusnya Papa memilih wanita selain Bu Leyla!"

"Lha, memang ada apa dengan Bu Leyla?" Seingat Gea, Bu Leyla adalah guru TK mereka dahulu. Suami Bu Leyla telah meninggal dunia enam tahun lalu.  Bu Leyla dikenal berperangai lembut. Semestinya, kan, Mita merasa beruntung sudah mengenal karakter calon ibunya.

"Ya, karena Bu Leyla itu ibunya Radit!" sembur Mita. 

Mulut Gea membulat. Ia nyaris lupa.  Mita pernah cerita belum lama ini, bahwa dirinya dan Radit baru  jadian. Pantas saja cewek berpipi kemerah-merahan ini uring-uringan. Tanpa sadar Gea menyeringai lebar. 

"Kenapa kamu kayak ketawa, gitu, Ge?" Mita bersungut-sungut tak suka.

"Soalnya kamu lucu. Penting mana, sih, pacar atau papamu?" Gea mencoba mengingatkan. Di luar dugaannya, Mita malah berdiri dengan marah.

"Kamu memang susah ngerti perasaan orang, Ge. Nyesel aku cerita!" Setelah itu Mita berlari meninggalkan rumah Gea.

 Gea menatap nanar. "Lho, memangnya aku salah ngomong, ya?" ucapnya bingung.

**

Pak Darno sedang berusaha menarik perhatian putri tunggalnya. "Jadi kamu ingin kita makan malam di restoran mana, Sayang?"

Mita belum menjawab. Ia berpura-pura menekuri materi yang dikirimkan gurunya lewat  grup WhatsApp. Sejak marah dengan Gea seminggu lalu, Mita makin galau menghadapi papanya. Sementara Papa terus berusaha meluluhkan hatinya, agar mau menerima Bu Leyla. Contohnya tawaran Papa sekarang: sebuah ajakan makan bersama besok malam.

"Mita," Papa kembali memanggil. Akhirnya Mita mendongak dari layar laptop.

"Apa Radit juga bakal ikut, Pa?" 

Papa mengernyit mendengar pertanyaan Mita. "Kalau tak salah, Bu Leyla bilang Radit akan ikut."

Hati Mita mencelos. Papa masih menunggu jawaban darinya. Mita jadi merasa iba menatap raut penuh harap, orang yang disayanginya tersebut. Ia berusaha mengatur degup jantungnya sebelum menjawab.

"Emh, bagaimana jika di Bangi Cafe, Pa? Kata teman Mita, makanan dan suasananya enak," ucap Mita, menyebut cafe baru di kota Cilacap. Papanya mengangguk lega dan gembira.

"Baik, Sayang. Terima kasih, ya. Papa janji nggak akan mengecewakan kamu. Sekarang Papa pergi sebentar. Ada urusan pekerjaan." Papanya mengacak-acak rambut Mita, penuh rasa sayang. 

Tak lama setelah Papa pergi, Mita menerima pesan WhatsApp baru. "Radit?" gumamnya. Mita berusaha menahan sesak di dada.  Ia menyudahi belajar, dan bersiap menunggu kedatangan Radit.

Tiga puluh menit kemudian Radit datang. Mita menemuinya di gazebo teras. Mereka  duduk berhadapan  dengan kikuk. Cahaya matahari sore menerabas dari sela dedaunan yang merimbuni halaman depan.

"Aku sudah memikirkan perkara hubungan kita, Mit." Cowok bermata elang itu bicara perlahan. Mita masih membisu.

"Ibu telah banyak berkorban untukku. Selain mengajar, Ibu juga membuat kue-kue pesanan orang. Ia begitu larut dalam kesibukannya itu. Setiap aku ingatkan agar beristirahat, ibuku hanya tersenyum." 

Mita menggigit bibir. Papanya pun begitu  larut dalam pekerjaan. Awalnya ia kira hal itu karena semakin banyak klien menggunakan jasa Papa sebagai desainer interior. Belakangan ia menyadari, Papa mencari pelampiasan dari rasa kehilangan Mama.

"Hingga suatu hari Ibu cerita soal gedung TK-nya yang akan direnovasi oleh pihak pengurus yayasan. Ibu pun berkenalan dengan  Pak Darno," lanjut Radit. "Kemudian tahu-tahu aku melihat perubahan itu. Ibu menjadi lebih sumringah." 

Mita ternganga mendengar kisah versi Radit ini. Ah, ia jadi merasa bersalah karena kurang peka terhadap perasaan Papa.

"Waktu itu aku sedang bersiap nembak kamu, Mit. Dan aku belum tahu bahwa Pak Darno adalah papamu. Maafkan aku, Mita. Seandainya bisa mundur ke masa lalu, aku pilih kita berteman baik saja. Aku tetap menjadi kakak kelasmu yang tengil, dan kamu adik kelas bawel," pungkas Adit lirih. 

Mita terisak. Ia memang  sudah mengira, inilah akhir kisahnya dengan Adit. Ia hanya perlu jeda sebentar untuk  menata hatinya lagi. Mungkin lebih baik seperti ini. Ia dan Radit memberi kesempatan kepada orangtua mereka, menjalani musim kedua dalam pernikahan. Mita pun ingin melihat papanya bahagia. (*) 

Cilacap, 140920


Keterangan: ini adalah cerma versi utuh yang saya kirim ke Redaksi. Lalu disunting dan dipangkas beberapa paragraf oleh Redaktur, setelah itu baru ditayangkan di rubrik cerma. Hal ini terjadi karena penyesuaian ruang di Minggu Pagi.