Cari Blog Ini

Selasa, 30 Maret 2021

Kritik Sosial dalam Novel Anak

 
Novel Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko
Novel Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko (dok. Gita FU) 


Oleh: Gita FU 


Judul      : Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko

Penulis   : Yosep Rustandi

Penerbit : Indiva Media Kreasi

Cetakan : Pertama, Juli 2020

Hal         : 160 hlm

ISBN       : 978-623-253-002-7

Harga     : Rp 40.000 (P. Jawa) 


Kompetisi Menulis Novel Anak Indiva 2019 telah menahbiskan karya Yosep Rustandi ini sebagai jawara. Tentu saja hal ini memancing rasa penasaran yang membuncah dalam dada saya, apa keistimewaannya? Maka begitu novelnya terbit, saya tak menyia-nyiakan kesempatan untuk segera mendapatkannya. 

Ternyata begitu saya mulai membaca, saya tak bisa berhenti sebelum selesai. Alur ceritanya terasa mengalir, ditambah penokohan yang kuat, serta setting yang amat realistis. Setidaknya, itulah kesan pertama saya terhadap novel ini. 

Sebenarnya tema yang diangkat oleh sang penulis terhitung berat untuk kalangan pembaca anak; yakni masalah ketimpangan sosial, ekonomi, dan pendidikan di masyarakat. Saya yakin ada tantangan tersendiri bagi penulis guna membahasakannya sesuai alam pikiran anak-anak. 


Bermula dari Apel

 Di kota kecil Cibening, ada sebuah gang sempit berisi rumah-rumah kumuh. Di sana warganya sebagian besar berprofesi sebagai pemulung, pengamen, pengemis, pedagang kecil, tukang jamu, tukang parkir, kuli serabutan, calo, hingga preman. Mulai dari anak kecil hingga orang dewasanya terlalu sibuk berjuang mencari sesuap nasi. Termasuk Alin, dan Jiko yang kesehariannya menjadi loper koran atau pemulung cilik. Padahal mereka baru berusia delapan tahun. 

Tidak jauh dari gang kumuh tersebut, ada kompleks perumahan Beautiful Garden.  Kondisinya amat kontras, jalan dan rumah-rumah di sana selalu bersih. Warganya berpendidikan, serta memiliki strata sosial yang lebih baik. Kakak beradik Doni dan Dini adalah  tokoh-tokoh yang mewakili kalangan berada ini. Doni sudah kuliah semester dua, sedangkan Dini pelajar di SMA Harapan Hati. 

Di antara dua kutub yang bertolak belakang tersebut, ada sekelompok orang yang berusaha membuat jembatan penghubung. Mereka diwakili oleh tokoh Yasmin, remaja SMA Harapan Hati sekaligus volunter di Sanggar Hati. Serta Ibu Rara, Ketua LSM Sanggar Hati, sebuah LSM yang peduli terhadap anak-anak jalanan dan anak-anak miskin perkotaan. 

Emak Alin sakit yang lebih parah dari sebelumnya. Terpaksa emak libur kerja sebagai buruh cuci, dan sepenuhnya tergantung pada Alin. Di awal sakit emak pernah mengucapkan keinginan  makan apel impor besar dan harum dari negeri Cina. Dulu emak pernah diberi apel semacam itu oleh majikannya. Dalam pikiran Alin yang polos, emak pasti sembuh jika sudah makan apel.

Namun harga apel merah itu tak terjangkau oleh Alin. Penghasilannya hanya cukup untuk makan amat sederhana berdua emak. Maka suatu hari ia terpaksa menjambret seplastik apel merah dari Dini, yang baru saja menyelesaikan transaksi dengan si pedagang apel di pasar. 

"Gila kamu, akhirnya mencuri juga!" seru Jiko setelah napasnya mulai teratur. Alin memandang Jiko kecut. "Kata buku, kalau mau jadi pencuri, jadilah pencuri besar!" kata Jiko lagi. (Halaman 20).

Kisah lalu bergulir ke arah yang tak pernah Alin duga. Untung saja ada Jiko, si kutu buku sahabatnya. Berkat pengetahuannya yang luas dari buku bacaan, Jiko memberi saran-saran untuk Alin. Akan tetapi daya mereka  terbatas. Pada akhirnya Alin dan Jiko tetap membutuhkan pertolongan dari orang-orang dewasa yang mau peduli pada masalah mereka. 


Pelajaran Hidup yang Tersirat dalam Cerita

Dialog-dialog antar tokoh dalam novel ini tak jarang mengundang tawa saya. Kepolosan anak-anak terlukis begitu nyata. Narasinya lincah, peristiwa demi peristiwa terjalin runtut dan logis. Yang paling disukai oleh anak saya Hanna (pembaca berumur delapan tahun) ialah adegan kejar-kejaran antara Alin, Jiko, Atan, Sura, dan Wira hingga ke tebing di pinggir sungai. Seru, katanya. 

Di balik petualangan Alin dalam mengusahakan kesembuhan untuk emaknya, tersirat berbagai pelajaran hidup. Antara lain kejujuran, kepedulian, kebaikan hati, dan kehangatan keluarga. Saya menyusut air mata haru ketika membaca tentang emak Alin. Dikisahkan meski berada pada kondisi paling terdesak sekalipun, emak tetap kukuh tak mau makan barang hasil curian. Bahkan emak melarang Alin mengutil makanan dari tempat syukuran perkawinan. 

"Nilai hidup tidak ditentukan dari mana kita berasal dan di mana kita mati. Nilai hidup ada dalam proses menjalani. Siapa yang bisa menjalani hidup lebih baik, lebih bijak, lebih berguna, lebih ikhlas, lebih bertakwa, itulah orang-orang yang berbahagia." (hal. 157).

Lalu di manakah narasi kritik sosial tersebut? Secara tersurat ada pada penjelasan Ibu Rara di depan siswa SMA Harapan Hati mengenai tujuan LSM Sanggar Hati (hal. 18-20). Pada bagian ini mau tak mau terasa menceramahi pembaca dan sedikit membosankan. Selebihnya berkelindan bersama jalinan cerita sehingga lebih natural. 

Jika diibaratkan menu makanan, boleh dikata novel ini adalah paket komplit, sesuai misi pendidikan karakter untuk anak. Orang dewasa pun layak membacanya, untuk turut memetik inspirasi dari kisah Alin dan Jiko. Akhir kata saya ucapkan, selamat membaca! (*)

Cilacap, 300321

#lombaresensibukuindiva2020


Catatan tambahan: Alhamdulillah resensi ini masuk ke dalam 10 Resensi Terfavorit dalam Lomba Resensi Buku Indiva 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar